POTENSI WISATA SULAWESI UTARA
Analisis Penjelajahan Awal
1. PENDAHULUAN
- Gambaran Umum
Kota Manado terletak di ujung jazirah utara pulau Sulawesi, pada posisi geografis 124°40' - 124°50' BT dan 1°30' - 1°40' LU. Iklim di kota ini adalah iklim tropis dengan suhu rata-rata 24° - 27° C. Curah hujan rata-rata 3.187 mm/tahun dengan iklim terkering di sekitar bulan Agustus dan terbasah pada bulan Januari. Intensitas penyinaran matahari rata-rata 53% dan kelembaban nisbi ±84 %.
Luas wilayah daratan adalah 15.726 hektar. Manado juga merupakan kota pantai yang memiliki garis pantai sepanjang 18,7 kilometer. Kota ini juga dikelilingi oleh perbukitan dan barisan pegunungan. Wilayah daratannya didominasi oleh kawasan berbukit dengan sebagian dataran rendah di daerah pantai. Interval ketinggian dataran antara 0-40% dengan puncak tertinggi di gunung Tumpa.
Wilayah perairan Kota Manado meliputi pulau Bunaken, pulau Siladen dan pulau Manado Tua. Pulau Bunaken dan Siladen memiliki topografi yang bergelombang dengan puncak setinggi 200 meter. Sedangkan pulau Manado Tua adalah pulau gunung dengan ketinggian ± 750 meter.
Sementara itu perairan teluk Manado memiliki kedalaman 2-5 meter di pesisir pantai sampai 2.000 meter pada garis batas pertemuan pesisir dasar lereng benua. Kedalaman ini menjadi semacam penghalang sehingga sampai saat ini intensitas kerusakan Taman Nasional Bunaken relatif rendah.
Jarak dari Manado ke Tondano adalah 28 km, ke Bitung 45 km dan ke Amurang 58 km.
- Sejarah Sulawesi Utara
Propinsi Sukawesi Utara secara astronomis terletak antara 12301230 B.T. - 127012 B.T. dan 002830 L.U. 2025. Adapun batasnya adalah: sebelah Utara dibatasi oleh laut Sulawesi dan laut Minandao, sebelah timur dibatasi laut Pasifik dan laut Maluku, sebelah selatn dibatasi oleh laut Maluku dan teluk Tomini, sedang sebelah barat berbatasan dengan propinsi Sulawesi Tengah . Sulawesi Utara mempunyai latar belakang sejarah yang cukup panjang sebelum daerah yang berada di paling ujung utara Nusantara ini menjadi Daerah Propinsi. Dalam sejarah pemerintahan daerah Sulawesi Utara, seperti halnya daerah lainnya di Indonesia , mengalami beberapa kali perubahan administrasi pemerintahan, seiring dengan dinamika penyelenggaraan pemerintahan bangsa.
Pada permulaan kemerdekaan Republik Indonesia , daerah ini berstatus keresidenan yang merupakan bagian dari Propinsi Sulawesi. Propinsi Sulawesi ketika itu beribukota di Makassar dengan Gubernur yaitu DR.G.S.S.J.Ratulangi.
Kemudian sejalan dengan pemekaran administrasi pemerintahan daerah-daerah di Indonesia, maka pada tahun 1960 Propinsi Sulawesi dibagi menjadi dua propinsi administratif yaitu Propinsi Sulawesi Selatan-Tenggara dan Propinsi Sulawesi Utara-Tengah melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 1960.
Untuk mengatur dan menyelenggarakan kegiatan pemerintahan di Propinsi Sulawesi Utara-Tengah, maka berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor.122/M Tahun 1960 tanggal 31 Maret 1960 ditunjuklah A. Baramuli, SH sebagai Gubernur Sulutteng.
Sembilan bulan kemudian Propinsi Administratif Sulawesi Utara-Tengah ditata kembali statusnya menjadi Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1960. Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Sulutteng meliputi; Kotapradja Manado, Kotapraja Gorontalo, dan delapan Daerah Tingkat II masing-masing; Sangihe Talaud, Gorontalo, Bolaang Mongondow, Minahasa, Buol Toli-Toli, Donggala, Daerah Tingkat II Poso, Luwuk/ Banggai. Sementara itu, DPRD Propinsi Sulawesi Utara-Tengah baru terbentuk pada tanggal 26 Desember 1961.
Dalam perkembangan selanjutnya, tercatat suatu momentum penting yang terpatri dengan tinta emas dalam lembar sejarah daerah ini yaitu dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 tanggal 23 September 1964 yang menetapkan status Daerah Tingkat I Sulawesi Utara sebagai daerah otonom Tingkat I dengan Ibukotanya Manado.
Momentum diundangkannya UU Nomor 13 Tahun 1964 itulah yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya Daerah Tingkat I Sulawesi Utara. Sejak itulah secara de facto wilayah Daerah Tingkat I Sulawesi Utara membentang dari utara ke selatan barat daya, dari Pulau Miangas ujung utara di Kabupaten Sangihe Talaud sampai ke Molosipat di bagian barat Kabupaten Gorontalo. Adapun daerah tingkat II yang masuk dalam wilayah Sulawesi Utara yaitu; Kotamadya Manado, Kota Madya Gorontalo, Kabupaten Minahasa, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Bolaang Mongondow, dan Kabupaten Sangihe Talaud. Gubernur Propinsi Dati I Sulawesi Utara yang pertama adalah F.J. Tumbelaka.
Dalam perjalanan panjang Propinsi Sulawesi Utara tercatat sejumlah Gubernur yang telah memimpin daerah ini yaitu : F.J.Tumbelaka (Pj.Gubernur 1964-1965); Soenandar Prijosoedarmo (Pj.Gubernur 1965-1966); Abdullah Amu (Pj.Gubernur 1966 - 1967); H.V. Worang (1967 - 1978); Willy Lasut.G.A (1978-1979); Erman Harirustaman (Pj.Gubernur 1979-1980); G.H. Mantik (1980-1985); C.J. Rantung (1985-1990); E.E.Mangindaan (1995-2000); Drs. A.J. Sondakh (2000-2005); Ir. Lucky H. Korah, MSi (Pj. Gubernur 2005) dan Drs.S.H.Sarundajang (2005-2010).
Sementara yang pernah menduduki posisi Wakil Gubernur yaitu; Drs. Abdullah Mokoginta (1985-1991); A. Nadjamuddin (1991-1996); J. B. Wenas (Wagub Bidang Pemerintahan dan Kesra, 1997-2000); Prof. Dr. Hi. H. A. Nusi, DSPA (Wagub Bidang Ekonomi dan Pembangunan, 1998-2000 ), dan Freddy H. Sualang (2000-2005) dan terpilih kembali untuk periode 2005-2010.
Selanjutnya, seiring dengan nuansa reformasi dan otonomi daerah, maka telah dibentuk Propinsi Gorontalo sebagai pemekaran dari Propinsi Sulawesi Utara melalui Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000. Dengan dibentuknya Propinsi Gorontalo tersebut, maka wilayah Propinsi Sulawesi Utara meliputi; Kota Manado, Kota Bitung, Kab. Minahasa, Kab. Sangihe dan Talaud dan Kab. Bolaang Mongondow. Pada Tahun 2003 Propinsi Sulawesi Utara mengalami penambahan 3 Kabupaten dan 1 Kota dengan Kabupaten Minahasa sebagai Kabupaten induk yaitu Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Utara dan Kota Tomohon serta Kabupaten Kepulauan Talaud. Kemudian tahun 2007 ketambahan lagi 4 lagi Kabupaten/Kota yakni Kab. Minahasa Tenggara, Kab. Bolmong Utara, Kab. Sitaro dan Kota Kotamobagu.
2. SITUS-SITUS SEJARAH
2.a Situs Eksitu
o Museum Negeri Provinsi Sulawesi Utara
A. Selayang Pandang
Museum juga menampilkan serta menyampaikan sesuatu pada pengunjung baik melalui bukti-bukti nyata (tangible) berupa kebendaan (artefak-artefak) maupun hal-hal yang tidak nyata (intangible) berupa pesan-pesan, mitos-mitos, atau cerita-cerita tentang daerah tertentu yang biasanya dicantumkan pada label benda yang dipamerkan.
Hal-hal di atas berlaku juga pada Museum Negeri Provinsi Sulawesi Utara atau yang sering disebut juga National Museum of Manado. Museum ini merupakan museum umum karena apa yang ditampilkan merepresentasikan kebudayaan dan sejarah masyarakat lokal Sulawesi Utara, sejarah pra dan pascakolonialisme, percampuran budaya dengan masyarakat Cina dan Belanda yang menetap di Sulawesi Utara, dan sebagainya. Oleh karenanya, museum ini merupakan sebuah wahana pendidikan yang cukup berharga bagi Sulawesi Utara lantaran ia berupaya mendokumentasikan hal-hal penting di Sulawesi Utara melalui benda-bendanya yang terancam dari kepunahan.
B. Keistimewaan
Jika seorang wisatawan hanya mengalokasikan waktu kurang dari seminggu untuk menjelajahi Sulawesi Utara, maka hendaknya mampir ke Museum Negeri Provinsi Sulawesi Utara untuk melihat seperti apa sejarah dan kebudayaan masyarakat di wilayah itu.
Museum Negeri Provinsi Sulawesi Utara bila ditilik dari namanya merupakan museum yang ingin mendokumentasikan segala hal yang berkaitan dengan Provinsi Sulawesi Utara. Karena dibangun untuk merepresentasikan kebudayaan, sejarah, dan seni wilayah Sulawesi Utara, maka keunggulan museum ini ialah pada cakupan koleksinya. Kemudian bila dilihat dari desain dan struktur bangunannya, museum ini mengadopsi model rancang-bangun rumah adat Minahasa.
Di museum ini, pengunjung dapat melihat dan mendengar penjelasan dari pemandu museum tentang apa yang ditampilkan di ruang-ruang ekshibisi. Ruang-ruang ekshibisi tersebut dibagi ke dalam tiga lantai yang semuanya mengeksposisi segala hal yang terkait dengan masyarakat Sulawesi Utara.
Wisatawan dapat menyaksikan replika maupun benda-benda otentik di museum berstatus negeri ini. Misalnya, replika waruga atau peti kubur batu yang merupakan ciri khas budaya material masyarakat Minahasa masa lampau hingga kini. Selain itu, di taman museum juga diletakkan beberapa contoh batu sarkopagus yang merupakan peninggalan peradaban masyarakat kuno di Sulawesi Utara. Pengunjung museum juga akan mendapati display tata pelaminan beserta pakaian yang dikenakan dalam perkawinan adat orang Minahasa. Kemudian, wisatawan bisa mendapati meriam peninggalan tentara Belanda dan Portugal serta keramik-keramik khas bangsa Cina di lantai tiga.
○ Monumen Bukit Kasih di Desa Kanonang
A. Selayang Pandang
Tak ada yang patut disesali ketika kita mengunjungi desa Kanonang. Masyarakatnya terkenal ramah dalam menyambut kedatangan siapa pun, termasuk para turis. Memang masyarakat Kawangkoan sudah sejak dulu kala terkenal dengan masyarakat yang penuh kasih dan damai.
Di desa ini terdapat Bukit Kasih sebagai salah satu kebanggaan mereka. Obyek wisata rohani di Bukit Kasih ini bahkan sudah terkenal hingga ke mancanegara.
B. Keistimewaan
Satu hal yang menarik dari desa Kanonang di antara kemenarikan lainnya adalah Bukit Kasih. Di bukit ini, tampak sebuah tugu yang berfungsi sebagai monumen. Ia adalah Monumen Bukit Kasih. Monumen ini adalah simbol dari kerukunan antar umat beragama di Sulawesi Utara. Di tiap sisi monumen, tertera pahatan sebuah ajaran kasih sayang dari masing-masing agama besar yang ada di Indonesia. Dari puncak bukit ini, kita dapat menyaksikan panorama alam yang mengelilinginya. Begitu indah. Utamanya, di kala fajar dan senja.
o Monumen (Tugu ) Perang Dunia Kedua
Bangunan pertahanan sisa Perang Dunia II ditemukan di peisisir pantai Desa Buku Buku, Kecamatan Belang. Keadaan bangunan tidak terawat dan sebagian sudah rusak karena abrasi air laut. Masyarakat sekitar mengenal bangunan tersebut dengan istilah stelling.
o TOLOLIU TUA PATUNG DIATAS KUBURAN
Karena ketenarannya, Tololiu tua akhirnya diabadikan menjadi monumen yang dibuat pada tahun 1974 oleh seorang pematung lokal Tarsi Paat. Menariknya, Patung Tololiu ini ternyata dibangun di atas kuburannya sendiri. Jelasnya, letak dari Kubur Tololiu Tua berada di bawah patung tersebut. Selain patung, Tarsi Paat juga membuat Monumen Palar yang lokasinya berada di tepi jalan berdekatan dengan patung Tololiu Tua. Patung Tololiu Tua diresmikan oleh Letkol JF Lumentut selaku kepala daerah Kabupaten Minahasa pada tahun 1974.
2.b Situs Insitu
○ Waruga
A. Selayang Pandang
Waruga ialah salah satu bentuk budaya materi yang telah berusia ratusan tahun. Ia menandai kekhasan masyarakat Sulawesi Utara. Ia merupakan peti berbahan batu yang berfungsi sebagai tempat penguburan jasab orang meninggal. Peti kubur batu ini terdiri dari dua bagian, yakni: badan dan tutup. Batu utuhlah yang menjadi bahan di tiap bagian peti. Bentuk waruga umumnya menyerupai kubus pada bagian badannya. Sebagai gambaran, di dalam waruga terdapat rongga sebagai kubur jasad. Posisi jasad dalam keadaan jongok, seperti posisi bayi dalam rahim ibu. Kemudian, posisi tangan jasad laki-laki seperti mengunci dan perempuan mengepal. Posisi mayat tersebut bagi adat Minahasa terkait dengan fisafat hidup masyarakat setempat yang berpandangan bahwa manusia mengawali kehidupan dengan posisi jongkok, maka semestinya mengakhiri hidup dengan posisi yang sama. Filosofi ini dikenal dalam bahasa lokal dengan istilah whom.
B. Keistimewaan
Menyaksikan waruga berarti menyaksikan salah satu kekayaan yang terkandung di jantung kebudayaan masyarakat Sulawesi Utara. Waruga di Sawangan ini memang bukan satu-satunya komplek pekuburan berpetikan batu. Namun, ketakjuban pengunjung akan peti-peti itu baru akan terasa ketika telah sampai di sana . Pada tiap batu itu terdapat ukiran dengan corak yang beragam, misalnya: tumbuh-tumbuhan, hewan, ataupun motif geometri tradisional. Komplek waruga di Sawangan merupakan komplek waruga yang paling terkenal. Sebelum sampai ke lokasi dan jika berangkat dari Manado , peminat wisata ini akan melalui kota kecil bernama Airmadidi dimana ini adalah kawasan pegunungan yang sangat indah panorama alamnya. Kawasan ini terkenal dengan hasil kerajinannya, yakni pakaian khas Minahasa.
o Menhir
Dalam masyarakat Minahasa batu menhir dikenal dengan nama batu baranak atau pasak wanua yang merupakan asal mula pendirian atau pentasbihan suatu desa. Menhir ditemukan di wilayah kecamatan Ratahan sebanyak 7 lokasi, sedangkan di kecamatan Tombatu 1 lokasi. Sebagian menhir masih digunakan dalam upacara hari jadi desa. Umumnya desa yang terdapat temuan menhir merupakan desa - desa tua di wilayah Minahasa Tenggara.
Dalam masyarakat Minahasa batu menhir dikenal dengan nama batu baranak atau pasak wanua yang merupakan asal mula pendirian atau pentasbihan suatu desa. Menhir ditemukan di wilayah kecamatan Ratahan sebanyak 7 lokasi, sedangkan di kecamatan Tombatu 1 lokasi. Sebagian menhir masih digunakan dalam upacara hari jadi desa. Umumnya desa yang terdapat temuan menhir merupakan desa - desa tua di wilayah Minahasa Tenggara.
o Lesung Batu
Ditemukan di 3 lokasi, yaitu di kecamatan Ratahan 2 lokasi dan satu di kecamatan Tombatu. Lesung batu di Kecamatan Tombatu sampai saat ini masih dipergunakan untuk upacara - upacara persembahan kepada arwah nenek moyang. Sedangkan yang ditemukan di kecamatan Ratahan sudah tidak insitu lagi karena didatangkan dari wilayah Belang dan sudah tidak berfungsi.
Ditemukan di 3 lokasi, yaitu di kecamatan Ratahan 2 lokasi dan satu di kecamatan Tombatu. Lesung batu di Kecamatan Tombatu sampai saat ini masih dipergunakan untuk upacara - upacara persembahan kepada arwah nenek moyang. Sedangkan yang ditemukan di kecamatan Ratahan sudah tidak insitu lagi karena didatangkan dari wilayah Belang dan sudah tidak berfungsi.
o
3. SITUS-SITUS BUDAYA
3.a Warisan Budaya
v Tradisi Budaya Saat Perayaan Tahun Baru
Sulawesi Utara, Minahasa Selatan. Tradisi Mamu’a Ton’na atau Mamu’a berarti membuka dan Ton’na berarti tahun, bermakna simbolis kaitannya dengan tradisi Mangunsi’n Ton’na atau Mangunsi’n berarti mengunci dan Ton’na berarti tahun.
Dalam perayaan kegiatan apapun , setiap Kota hingga Pedesaan mempunyai tarian dan nyanyian khas budaya masing masing untuk dipertunjukkan, baik itu dalam perlombaan maupun dihari ulang tahun. Hal yang menarik dipertunjukkan oleh Desa Poopo Kecamatan Ranoyapo Kabupaten Minahasa Selatan, yang mempertunjukkan budaya jaman dahulu hingga sekarang masih diterapkan. Jikalau diperkotaan saat menjelang hari Natal, keberadaan Santa Claus merupakan tradisi untuk memberikan sebuah Kado bagi anak anak,yang didampingi oleh Pit Hitam untuk menakuti anak anak nakal . Namun berbeda dengan seni budaya topeng yang dilihat seperti menyeramkan ini.
Bukan menakuti atau memberikan sebuah kado, akan tetapi sebuah tradisi budaya dalam perayaan Tahun Baru dengan menyemarakkan pelaksaanaan Hari Raya. Seni budaya yang dinamakan mawolai ini merupakan salah satu seni budaya oleh Masyrakat Desa Poopo Kecamatan Ranoyapo Kabupaten Minahasa Selatan sejak jaman dulu dilakukan. Budaya ini sudah menjadi tradis desa ketika merayakan pelaksanaan Tahun Baru ataupun kuncikan tahun. Dilihat dari sejarah,nama Mawolai ini muncul ketika pada jaman dulu lahan pertanian masyarakat diserang oleh binatang buas. Nah, untuk mengusir binatang tersebut, Masyarakat mengambil tindakan dengan cara menakuti membuat topeng yang menyerupai serta berbentuk besar dan menyeramkan.
Dengan keberhasilan tersebut, Masyarakat merayakannya dengan membuat seni budaya untuk ditampilkan pada saat pelaksanaan hari ulang tahun desa dan perayaan Tahun Baru ataupun kuncikan tahun. Sambil berjalan mengelilingi kampung dan berjabatan tangan dengan warga bersama tarian beberapa kaum lelaki yang menyerupai perempuan membuat suasana menjadi ramai.
Disamping ditampilkan dalam kegiatan perayaan didesa, seni budaya ini juga telah mengambil bagian dalam bebrbagai perlombaan baik ditingkat daerah dan nasional. Budaya seperti ini telah menjadi aset desa dan tidak ada tarian seperti ini dengan desa lainnya. Apabila desa lainnya melaksanakan seni budaya ini, harus melaporkan untuk selanjutnya akan diberikan satu kesepakatan atau ijin pelaksanaan kegiatan.
v Tradisi Binarundak Tandai Puncak Lebaran
Bagi warga Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, lebaran selalu identik dengan tradisi Binarundak atau tradisi bakar nasi jaha secara massal. Tradisi yang sudah berlangsung secara turun temurun ini, ternyata menjadi motivasi tersendiri bagi para perantau yang mudik pada saat lebaran.
Nasi jaha adalah salah satu makanan khas Sulawesi Utara, berbahan dasar beras ketan dan santan, yang dimasak dengan cara dipanggang, setelah sebelumnya diisi kedalam batang bambu berlapis daun pisang. Dalam tradisi yang digelar beberapa hari sebelum Idul Fitri ini, warga membakar nasi jaha di sepanjang jalan depan rumah mereka atau di lapangan terbuka. Di puncak acara, nasi jaha yang sudah matang kemudian dinikmati beramai-ramai bersama warga lainnya dengan diiringi tabuhan musik rebana serta alunan syair-syair pujian serta doa syukur. Kegiatan ini pun menjadi ajang silaturahmi, bermaaf-maafan dan ajang reuni bagi para perantau dengan sahabat lama, setelah sekian lama berpisah.
v Tradisi Memindahkan Rumah (Merawale)
Tradisi memindahkan rumah, oleh masyarakat Minahasa dikenal dengan sebutan Merawale. Rumah yang dipindahkan itu tanpa harus dibongkar, namun secara utuh digotong secara bersama-sama. Tradisi ini telah turun temurun dilakukan oleh masyarakat Minahasa.
Masyarakat di Kelurahan Bitung – Amurang Minahasa Selatan rupanya masih ada yang mempertahankan tradisi merawale ini. Kebersamaan dalam kehidupan sosial di Minahasa, salah satunya diwujudkan dengan tradisi merawale. Baik anak-anak, remaja, pemuda maupun orang tua terlibat dalam tradisi ini tanpa memandang status sosial.
Merawale biasanya dikomandoi oleh seseorang agar rumah yang akan dipindahkan dapat diangkat secara lebih mudah. Merawale juga adalah simbol kepolosan dan rasa kebersamaan masyarakat tanpa rekayasa dalam kehidupan sosial di Minahasa. Siapa saja yang terlibat dalam merawale tidak dibayar dengan uang, akan tetapi hanya mendapat ucapan terima kasih dari yang empunya rumah. Salah satu bentuk ucapan terima kasih diwujudkan dengan diberikan sajian minuman seperti teh manis, kopi, dan air putih; rokok, atau kue seperti kue cucur, onde-onde dan nasi jaha.
3.b Arsitektur Tradisional
Rumah Pewaris (walewangko)
Rumah pewaris atau walewangko merupakan rumah di atas tiang dan balok-balok yang mendukung lantai; dua di antaranya tidak boleh disambung. Kolong digunakan untuk menyimpan hasil bumi (godong). Pintu rumah terletak di depan, tetapi tangga naik terdapat di kiri dan kanan serta bagian tengah belakang rumah. Ruang paling depan, disebut lesar, tak berdinding, tempat kepala suku atau kepala adat memberikan maklumat kepada rakyat. Ruang kedua, sekey, merupakan serambi depan, berdinding, terletak setelah pintu masuk, berfungsi untuk menerima tamu dan menyelenggarkan upacara adat, serta tempat menjamu makan para undangan. Ruang tengah, disebut pores, tempat untuk menerima tamu yang masih ada ikatan keluarga serta tempat menerima tamu wanita. Di ruang tengah ini terdapat kamar-kamar tidur. Ruang makan keluarga serta tempat kegiatan sehari-hari wanita berada di bagian belakang, bersambung dengan dapur.
Rumah adat Bolaang Mangondow beratap melintang dengan bubungan curam dan memiliki tangga di depan rumah, mempunyai serambi tanpa dinding. Ruangan dalam rumah induk terdiri atas ruang depan atau tempat makan dan ruang tidur. Dapur terdapat di bagian belakang.
3.c Seni Pertunjukan
v Seni Tari
1) Tari Lenso Minahasa
Pergelaran Kesenian Minahasa di Berg Am Irchel Suisse, 25 Mei 2007 Tim Kesenian Ikatan Waraney Wulan Minahasa. Tari Lenso adalah merupakan Tari Pergaulan Pemuda Pemudi Minahasa dengan menyatakan cinta dengan Lenso, ketika lenso atau selendang diterima merupakan tanda cinta diterima.
Tari Arikaradia adalah sebuah tari Kreasi yang berasal dari Sulawesi Utara.
Tari ini menceritakan tentang asal mula Padi di tanah Minahasa yang dibawa oleh seorang Putri dari Kayangan dengan mengiris kakinya hingga berdarah agar bibit padi bisa melengket di kaki dan dapat dibawa ke bumi.
4) Tari Pisok Minahasa
Tari ini mennggambarkan suasana kehidupan masyarakat Minahasa yang selalu hidup rukun bekerja secara gotong royong, lincah dan enerjik yang diadaptasi dari kehidupan burung Pisok, yang hidup di Tanah Minahasa.
Menurut legenda rakyat Minahasa, tari katrili adalah salah satu tari yang dibawa oleh Bangsa Spanyol pada waktu mereka datang dengan maksud untuk membeli hasil bumi yang ada di Tanah Minahasa. Karena mendapatkan hasil yang banyak, mereka menari-nari tarian katrili.
6) Tari Maengket
Tari Maengket adalah tarian tradisional yang berasal dari Sulawesi Utara. Tari Maengket, merupakan tari pergaulan yang dilakukan secara berpasang-pasangan. Menggambarkan suasana kasih sayang dan cumbuan.
Tari Polo-palo adalah tarian tradisional yang berasal dari Sulawesi Utara. Tari Polopalo, adalah tari pergaulan bagi muda-mudi daerah Gorontalo.
Tarian ini mengangkat cerita legenda rakyat Minahasa yang meceritakan tentang bidadari-bidadari yang turun ke bumi dari kayangan untuk mandi di mata air Tumatenten. Seorang pemuda Minahasa yang tertarik berusaha untuk memikat hati salah satu bidadari tersebut dengan mencuri sayapnya. Hal ini membuat sang bidadari tidak dapat kembali ke kayangan dan kemudian menikah dengan pemuda tersebut.
A. Selayang Pandang
Tarian Kabasaran merupakan salah satu tarian tradisional Minahasa. Tarian ini tidak dimainkan sendiri, namun berkelompok. Para penari memakai pakaian merah, mata melotot, wajah garang, diiringi tambur atau gong kecil sembari menyondang pedang dan tombak tajam. Bentuk dasar dari tarian ini adalah sembilan jurus pedang (santi) atau sembilan jurus tombak (wengkouw) dengan langkah kuda-kuda 4/4 yang terdiri dari dua langkah ke kiri, dan dua langkah ke kanan.
Tiap penari kabasaran memiliki satu senjata tajam yang merupakan warisan dari leluhurnya yang terdahulu karena tarian Kabasaran merupakan keahlian turun-temurun. Tarian ini umumnya terdiri dari tiga babak. Babak-babak tersebut terdiri dari cakalele, lumoyak, dan lalaya‘an.
Pada jaman dahulu, para penari Kabasaran hanya menjadi penari pada upacara-upacara adat. Namun, apabila Minahasa dalam keadaan perang, maka para penari Kabasaran menjadi waranei (prajurit perang). Dalam kehidupan sehari-hari, waranei ini berprofesi sebagai petani. Kini, tarian Kawasaran atau Kabasaran acapkali ditampilkan untuk menyambut tamu-tamu daerah maupun ditampilkan pada festival-festival kebudayaan di Sulawesi Utara.
B. Keistimewaan
Tarian Kabasaran amat berbeda dengan tarian lainnya di Indonesia yang umumnya mengumbar senyum dengan gerakan yang lemah gemulai. Tarian ini didominasi dengan warna merah, rias wajah yang sangar, serta lantunan musik yang membakar semangat. Tak hanya itu, mereka dibekali pedang dan tombak tajam, sehingga membuat tarian Kabasaran terkesan rancak dan garang.
Tarian ini merupakan tarian keprajuritan tradisional Minahasa, yang diangkat dari kata ‘wasal‘ yang bermakna ayam jantan yang dipotong jenggernya agar sang ayam menjadi lebih garang dalam bertarung. Tarian ini diiringi oleh suara tambur atau gong kecil. Alat musik pukul seperti gong, tambur atau kolintang disebut pa ‘wasalen dan para penarinya disebut kawasalan, yang berarti ‘menari dengan meniru gerakan dua ayam jantan yang sedang bertarung‘.
C. Lokasi
Datangi saja sanggar kelompok tarian Minahasa yang bernama ‘Tumou Tou Lestari‘. Mereka berada di daerah Kelurahan Paslaten I dan Paslaten II, Kota Tomohon, Sulawesi Utara, yang berjarak sekitar 22 km dari kota Manado.
3.d Legenda/Mitologi
· Legenda Toar – Lumimuut
[Minahasa - Sulawesi Utara]
Dahulu kala, di pantai barat Pengunungan Wulur Mahatus terdapat sebuah batu karang yang bagus bentuknya. Suatu ketika dimusim kemarau, cahaya matahari begitu menyengat sehingga batu karang itu mengeluarkan 'keringat'. Pada saat itu pula, terciptalah seorang wanita yang cantik. Namanya Karema, Ia berdiri sambil menadahkan tangan ke langit dan berdoa, “O, Kasuruan Opo e wailan wangko.” Artinya “Oh Tuhan yang maha besar, jika Kau berkenan, nyatakanlah di mana aku berada serta berikanlah teman hidup untukku”. Setelah selesai mengucapkan doa, batu karang itupun terbelah menjadi dua dan mencullah seorang wanita cantik. Karema pun tidak sendiri lagi. Ia berkata kepada wanita itu, “Karena kau tercipta dari batu yang berkeringat, engkau kuberi nama Lumimuut., Keturunanmu akan hidup sepanjang masa dan bertambah seperti pasir di pantai laut, Akan tetapi, kamu harus bekerja keras memeras keringat”.
Pada suatu hari, dalam suatu upacara, Karema menyuruh putrinya yang cantik itu menghadap kearah barat yang sedang berembus angin kencang. Lama-kelamaan, setelah upacara selesai, badan Lumimuut menjadi lain. Ternyata Lumimuut sudah hamil. Selama hamil, Lumimuut selalu dijaga dan dirawat dengan penuh kasih sayang oleh Karema. Ketika saatnya tiba, Lumimuut pun melahirkan anak laki laki yang diberi nama Toar. Toar pun diberi pengetahuan dan kemampuan seperti yang dimiliki Karema.
Setelah Toar dewasa, berkatalah Karema kepada Toar dan Lumimuut, “Sekarang sudah saatnya kalian berdua mengembara mengelilingi dunia. Aku sudah menyediakan dua tongkat sama panjang. Tongkat untuk Toar terbuat dari pohon tuis dan tongkat untuk Lumimuut terbuat dari pohon tawaang. Kalau nanti dalam pengembaraan, kalian bertemu dengan seseorang baik pria maupun wanita membawa tongkat seperti ini, bandingkanlah dengan tongkat kalian. Kalau tongkat kalian sama panjang, berarti kalian masih terikat keluarga. Akan tetapi, bila tongkat itu berbeda dan tidak lagi sama panjang, kalian boleh membentuk rumah tangga. Semoga hal ini terjadi dan kalian akan menghasilkan keturunan. Keturunan kalian akan hidup terpisah oleh gunung dan hutan rimba. Namun, akan tetap ada kemauan untuk bersatu dan berjaya.”
Nuwu (amanat) Karema menjadi bekal bagi Lumimuut dan Toar dalam pengembaraan mereka. Gunung dan bukit mereka daki Lembah dan ngarai mereka lalui. Toar ke arah utara dan Lumimuut ke arah selatan. Tuis di tangan Toar bertambah panjang, tetapi tawaang di tangan Lumimuut tetap seperti biasa. Pada suatu malam bulan purnama, di tengah kilauan sinar bulan, bertemulah Toar dengan Lumimuut. Sesuai amanat Karema, merekapun membandingkan tongkat masing masing. Ternyata, tongkat mereka tidak sama panjang lagi sehingga upacara pernikahan pun dilaksanakan. Bintang dan bulan sebagai saksi. Puncak gunung tempat pelaksanaan upacara tampak bagaikan bola emas. Gunung itu kemudian dinamakan Lolombulan.
Setelah upacara pernikahan, mereka pun mencari Karema. Akan tetapi, ia tidak ditemukan. Kemudian, mereka menetap di daerah pegunungan yang banyak ditumbuhi buluh tui (sejenis bambu kecil). Disanalah mereka beranak cucu. Keturunan demi keturunan, kembar sembilan (semakarua siyouw), dua kali sembilan. Kelahiran keturunan itu selalu disambut bunyi siul burung wala (doyot) yang dipercaya sebagai pertanda memperoleh limpah dan berkat karunia.
Toar - Lumimuut [Versi Lain]
Menurut mitos, nenek moyang suku Minahasa adalah Dewi Bumi dan Dewa Matahari yang akhirnya melahirkan keturunan Minahasa. Mitologi ini diceritakan saat upacara RUMAGES. TOAR adalah nama Dewa Matahari yang selalu menyinari Minahasa dan Dewi Bumi bernama LUMIMU’UT yang memberikan kesuburan pada tanah Minahasa. Konon pasangan TOAR dan LUMIMUUT sampai ke tanah Minahasa dan berdiam disekitar gunung WULUR MAHATUS, dan berpindah ke WATUNIUTAKAN –dekat Tompaso Baru —. Keturunan dua dewa tersebut kemudian menyebar sehingga Sampai pada suatu saat keluarga bertambah jumlahnya maka perlu diatur mengenai interaksi sosial didalam komunitas tersebut, yang melalui kebiasaan peraturan dalam keturunannya nantinya menjadi kebudayaan Minahasa.
Dahulu kala, di pantai barat Pengunungan Wulur Mahatus terdapat sebuah batu karang yang bagus bentuknya. Suatu ketika dimusim kemarau, cahaya matahari begitu menyengat sehingga batu karang itu mengeluarkan 'keringat'. Pada saat itu pula, terciptalah seorang wanita yang cantik. Namanya Karema, Ia berdiri sambil menadahkan tangan ke langit dan berdoa, “O, Kasuruan Opo e wailan wangko.” Artinya “Oh Tuhan yang maha besar, jika Kau berkenan, nyatakanlah di mana aku berada serta berikanlah teman hidup untukku”. Setelah selesai mengucapkan doa, batu karang itupun terbelah menjadi dua dan mencullah seorang wanita cantik. Karema pun tidak sendiri lagi. Ia berkata kepada wanita itu, “Karena kau tercipta dari batu yang berkeringat, engkau kuberi nama Lumimuut., Keturunanmu akan hidup sepanjang masa dan bertambah seperti pasir di pantai laut, Akan tetapi, kamu harus bekerja keras memeras keringat”.
Pada suatu hari, dalam suatu upacara, Karema menyuruh putrinya yang cantik itu menghadap kearah barat yang sedang berembus angin kencang. Lama-kelamaan, setelah upacara selesai, badan Lumimuut menjadi lain. Ternyata Lumimuut sudah hamil. Selama hamil, Lumimuut selalu dijaga dan dirawat dengan penuh kasih sayang oleh Karema. Ketika saatnya tiba, Lumimuut pun melahirkan anak laki laki yang diberi nama Toar. Toar pun diberi pengetahuan dan kemampuan seperti yang dimiliki Karema.
Setelah Toar dewasa, berkatalah Karema kepada Toar dan Lumimuut, “Sekarang sudah saatnya kalian berdua mengembara mengelilingi dunia. Aku sudah menyediakan dua tongkat sama panjang. Tongkat untuk Toar terbuat dari pohon tuis dan tongkat untuk Lumimuut terbuat dari pohon tawaang. Kalau nanti dalam pengembaraan, kalian bertemu dengan seseorang baik pria maupun wanita membawa tongkat seperti ini, bandingkanlah dengan tongkat kalian. Kalau tongkat kalian sama panjang, berarti kalian masih terikat keluarga. Akan tetapi, bila tongkat itu berbeda dan tidak lagi sama panjang, kalian boleh membentuk rumah tangga. Semoga hal ini terjadi dan kalian akan menghasilkan keturunan. Keturunan kalian akan hidup terpisah oleh gunung dan hutan rimba. Namun, akan tetap ada kemauan untuk bersatu dan berjaya.”
Nuwu (amanat) Karema menjadi bekal bagi Lumimuut dan Toar dalam pengembaraan mereka. Gunung dan bukit mereka daki Lembah dan ngarai mereka lalui. Toar ke arah utara dan Lumimuut ke arah selatan. Tuis di tangan Toar bertambah panjang, tetapi tawaang di tangan Lumimuut tetap seperti biasa. Pada suatu malam bulan purnama, di tengah kilauan sinar bulan, bertemulah Toar dengan Lumimuut. Sesuai amanat Karema, merekapun membandingkan tongkat masing masing. Ternyata, tongkat mereka tidak sama panjang lagi sehingga upacara pernikahan pun dilaksanakan. Bintang dan bulan sebagai saksi. Puncak gunung tempat pelaksanaan upacara tampak bagaikan bola emas. Gunung itu kemudian dinamakan Lolombulan.
Setelah upacara pernikahan, mereka pun mencari Karema. Akan tetapi, ia tidak ditemukan. Kemudian, mereka menetap di daerah pegunungan yang banyak ditumbuhi buluh tui (sejenis bambu kecil). Disanalah mereka beranak cucu. Keturunan demi keturunan, kembar sembilan (semakarua siyouw), dua kali sembilan. Kelahiran keturunan itu selalu disambut bunyi siul burung wala (doyot) yang dipercaya sebagai pertanda memperoleh limpah dan berkat karunia.
Toar - Lumimuut [Versi Lain]
Menurut mitos, nenek moyang suku Minahasa adalah Dewi Bumi dan Dewa Matahari yang akhirnya melahirkan keturunan Minahasa. Mitologi ini diceritakan saat upacara RUMAGES. TOAR adalah nama Dewa Matahari yang selalu menyinari Minahasa dan Dewi Bumi bernama LUMIMU’UT yang memberikan kesuburan pada tanah Minahasa. Konon pasangan TOAR dan LUMIMUUT sampai ke tanah Minahasa dan berdiam disekitar gunung WULUR MAHATUS, dan berpindah ke WATUNIUTAKAN –dekat Tompaso Baru —. Keturunan dua dewa tersebut kemudian menyebar sehingga Sampai pada suatu saat keluarga bertambah jumlahnya maka perlu diatur mengenai interaksi sosial didalam komunitas tersebut, yang melalui kebiasaan peraturan dalam keturunannya nantinya menjadi kebudayaan Minahasa.
· Batu Pinawetengan menurut Cerita Rakyat.
Ceritera rakyat mengenai adanya batu Pinawetengan di temukan penulis J.G.F Riedel dari cerita rakyat tombulu yang di cetak dalam bentuk buku berjudul "AASAREN TUAH PUHUHNA NE MAHASA" terbit di tahun 1870 dalam bahasa Tombulu. Lokasi tempat batu Pinawetengan pada mulanya hanya disebut tempat berkumpulnya penduduk Minahasa yang terletak di tengah-tengah Tanah Minahasa. Kemudian disebut tempat Pahawetengan Posan, pembahagian tatacara beribadat agama suku. Lokasinya disebuah tempat yang bernama bukit AWOHAN (AWOAN) di Tompaso. Istilah Watu Pinawetengan pada waktu itu belum ada, karena batu suci tempat upacara PAHAWETENGAN POSAN belum ditemukan karena sudah tertimbun dan masuk ke dalam tanah. Kemudian di tahun 1888 pada bulan Juni J.Alb.T. Schwarz seorang pendeta di Sonder membiayai penggalian batu Suci orang Minahasa tersebut, dan bulan Juli 1888 batu itu di temukan lalu lahirlah istilah "Watu Pinawetengan". Usia gambar-gambar di batu Pinawetengan di analisa penulis J.G.F Riedel berasal dari abad ke-7 (tujuh).
·
3.e Wisata Ziarah
Di kawasan yang berjuluk "The City of Blessing" ini terdapat wisata ziarah perjalanan Yesus sejak ditangkap hingga bangkit dan naik ke surga. Terdapat juga patung raksasa Yesus dengan tangan terbuka yang sedang memberkati. Patung ini diberi nama "Patung Yesus Memberkati".
· Makam Tua
Makam tua ditemukan di Desa Borgo, Kecamatan Belang. Berupa 7 buah makam yang terletak pada suatu pulau kecil yang dikelilingi pagar dengan bahan batu karang yang dilapisi dengan lapisan kalero.Keadaan makam tidak terawat, dan banyak ditumbuhi semak belukar. Dilihat dari arah penguburan, kemungkinan merupakan makam orang Islam, karena berorientasi Utara - Selatan. Selain itu di Kecamatan Belang banyak pemeluk agama Islam sejak lama.
Dari observasi di lapangan, diketahui sebaran obyek yang paling dominan berupa menhir dan terdapat di beberapa desa yang merupakan desa - desa kuno. Umumnya terletak di dataran tinggi, sedang tinggalan yang di temukan di dataran rendah (pantai) hanya tinggalan bangunan pertahanan sisa PD II dan makam kuno. Dari sini dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa tinggalan yang terdapat di wilayah dataran tinggi umurnya relatif lebih tua danmasih mendapat pengaruh megalithik, sedangkan yang di dataran rendah (pantai) umurnya relatif lebih muda dan merupakan pengaruh Islam dan kolonial.
3.f Wisdom
Menganut Budaya Mapalus
Masyarakat Kota Tomohon sama seperti masyarakat Minahasa pada umumnya memiliki adat istiadat dan budaya yang dikenal dengan sebutan Mapalus. Budaya Mapalus atau bekerja bersama dan saling bantu ini telah berakar dan membudaya di kalangan masyarakat Minahasa. Budaya tersebut sampai saat ini masih terjaga dan terpelihara. Pada kehidupan sehari-hari masih bisa dirasakan sikap suka membantu dan bekerjasama. Kecuali beberapa kegiatan yang merupakan rangkaian dari Mapalus seperti memakai alat tiup ketika mengajak kelompok untuk ber-Mapalus sudah mulai hilang. Perlahan keaslian mulai terkikis dengan modernisasi.
4. SEBUAH ANALISIS
4.a. Situs-Situs Sejarah Yang Potensial
- Insitu
Keunggulan yang ditonjolkan oleh Museum ini adalah Museum ini merupakan museum umum karena apa yang ditampilkan merepresentasikan kebudayaan dan sejarah masyarakat lokal Sulawesi Utara, sejarah pra dan pascakolonialisme, percampuran budaya dengan masyarakat Cina dan Belanda yang menetap di Sulawesi Utara, dan sebagainya. Oleh karenanya, museum ini merupakan sebuah wahana pendidikan yang cukup berharga bagi Sulawesi Utara lantaran ia berupaya mendokumentasikan hal-hal penting di Sulawesi Utara melalui benda-bendanya yang terancam dari kepunahan. Kendala yang dihadapi oleh Museum ini jarangnya pengunjung yang datang ke museum ini, serta kurangnya pemasaran mengenai museum ini. Padahal museum merupakan salah satu wisata pendidikan bagi siswa/I serta mahasiswa.
- Eksitu
Kebutuhan kita dalam perjalanan wisata memaksakan kita ingin berpegian dalam waktu lama. Saya menyarankan perjalanan wisata ke provinsi Sulawesi Utara karena pemandangan alamnya yang sangat indah bahkan banyak sekali hal-hal menarik yang ada di Sulawesi Utara. Serta keberagaman budaya dan tradisi dari berbagai kota di Sulawesi Utara. Kendala yang dihadapi banyaknya pengunjungi yang tidak tahu tentang keberadaan objek wisata yang ada di papua.
4.b. Situs Budaya/Khasanah Budaya
Banyaknya suku yang menyebar di Sulawesi Utara menyabkan keberaneka ragaman budaya yang lahir di dalamnya seperti upacara adat, rumah adat, seni plastis, legenda, wisdom semua pasti berbeda. Karenanya semuanya memiliki khasnya masing-masing sebagai tanda perbedaan. Akan tetapi, hal tersebut tidak berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Dikarenakan masuknya beberapa budaya serta kemoderenan yang ada membuat kebudayaan di Sulawesi Utara menjadi tidak begitu terlihat lagi.