Minggu, 09 Januari 2011

POTENSI PARIWISATA KEPULAUAN RIAU


POTENSI WISATA SEJARAH & BUDAYA KEPULAUAN RIAU
Sebuah Analisis Penjelajahan Awal



1.  PENDAHULUAN
Di sini saya akan membahas tentang situs sejarah dan situs budaya yang ada di Kepulauan Riau. Provinsi Kepulauan Riau merupakan salah satu pintu gerbang Indonesia yang sangat strategis karena berbatasan langsung dengan Singapura, Malaysia,Vietnam, Thailand dan Filipina. Provinsi Kepulauan Riau adalah salah satu provinsi termuda di Indonesia yang memiliki kekayaan pariwisata yang sangat potensial. Kepulauan Riau merupakan provinsi baru hasil pemekaran dari provinsi Riau. Provinsi Kepulauan Riau terdiri dari 5 kabupaten dan 2 Pemerintahan kota dengan wilayahnya mencakup luas 252.602 km

Ø Letak Geografis dan Batas Wilayah
Secara geografis Provinsi Kepulauan Riau terletak diantara 5o Lintang Utara – 1o lintang selatan dan 101o – 109o Bujur Timur. Luas wilayah secara keseluruhan adalah 8.084,01 km2. Batas wilayah :
Utara     = Laut cina selatan dan selat singapura
Selatan = selat karimata
Barat     = selat berhala
Timur    = selat karimata

Ø Komposisi Penganut Agama
a. Islam = 92%
b. Kristen = 2,8 %
c. Hindu = 0,0046%
d. Budha = 4,6%

Ø Bahasa dan Suku Bangsa
Bahasa yang digunakan adalah bahasa melayu riau, tetapi sebagian besar masyarakat menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar sehari-hari. Sementara suku bangsa yang mendiami wilayah provinsi kepulauan riau adalah suku melayu, suku bugis dan lain-lain.

2.  SITUS - SITUS SEJARAH

ü Situs Insitu
·         Masjid Sultan Riau

               

Masjid Raya Sultan Riau adalah salah satu obyek wisata sejarah termasyhur yang berada di Pulau Penyengat, Propinsi Kepulauan Riau. Masjid ini mulai dibangun ketika pulau ini dijadikan sebagai tempat tinggal Engku Puteri Raja Hamidah, istri penguasa Riau waktu itu, Sultan Mahmudsyah (1761—1812 M).

Masjid dengan ketebalan dinding mencapai 50 cm ini adalah bangunan istimewa yang wajib dilindungi, karena merupakan satu-satunya peninggalan Kerajaan Riau-Lingga yang masih utuh. Luas keseluruhan kompleks masjid ini sekitar 54,4 x 32,2 meter. Bangunan induknya berukuran 29,3 x 19,5 meter, dan ditopang oleh empat tiang. Lantai bangunannya tersusun dari batu bata yang terbuat dari tanah liat. Di halaman masjid, terdapat dua buah rumah sotoh yang diperuntukkan bagi musafir dan tempat menyelenggarakan musyawarah. Selain itu, di halaman masjid juga terdapat dua balai, tempat menaruh makanan ketika ada kenduri dan untuk berbuka puasa ketika bulan Ramadhan tiba.

masjid ini bergaya India, karena tukang-tukang yang membuat bangunan utamanya adalah orang-orang India yang didatangkan dari Tumasik (Singapura). Namun, dilihat dari bentuk bangunan utama dan bagian-bagian yang mendukungnya, arsitektur masjid ini merupakan perpaduan dari berbagai gaya, yaitu Arab, India, dan Melayu. Dalam dua kali pameran masjid pada Festival Istiqlal di Jakarta tahun 1991 dan 1995, Masjid Sultan Riau ini ditetapkan sebagai masjid pertama di Indonesia yang memakai kubah di atapnya.

Keistimewaan dan keunikan masjid ini juga dapat dilihat dari benda-benda yang terdapat di dalamnya. Di dekat pintu masuk utama, pengunjung dapat menjumpai mushaf Alquran tulisan tangan yang diletakkan di dalam peti kaca di depan pintu masuk. Mushaf ini ditulis oleh Abdurrahman Stambul pada tahun 1867 M. Ia adalah salah seorang putra Riau yang dikirim Kerajaan Riau-Lingga untuk menuntut ilmu di Istambul, Turki. Mushaf bergaya Istambul ini ditulis oleh penulisnya di sela-sela kegiatannya mengajar agama Islam di Pulau Penyengat.
Benda lainnya yang menarik untuk dilihat adalah sebuah mimbar yang terbuat dari kayu jati.    
   
                                              

Selain itu, masjid yang memiliki tujuh pintu dan enam jendela ini juga dilengkapi dengan beberapa bangunan penunjang, seperti tempat wudhu, rumah sotoh, dan balai tempat melakukan musyawarah. Untuk mencapai Masjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat, pengunjung harus menaiki perahu motor yang dermaganya berada di Pelabuhan Sri Bintan Pura, Kota Tanjung Pinang. Perahu motor berkapasitas 13 orang yang bentuknya seperti bangunan rumah adat Melayu itu akan membawa pengunjung melintasi laut selama kurang lebih 15 menit, dengan ongkos perjalanan Rp 5.000 (Juli 2008). Namun, ongkos perahu motor tersebut menjadi berlipat-lipat bagi rute sebaliknya, yaitu dari Pulau Penyengat menuju Pelabuhan Sri Bintan Pura. Jika malam belum tiba, ongkos balik tersebut berada pada kisaran antara Rp 10.000—15.000. Namun, jika malam sudah menjelang, ongkosnya bisa naik mencapai 100 persen, yaitu sekitar Rp 30.000 sekali jalan.
·         Masjid Jamik Daik

                 
Masjid Jamik Daik dibangun pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Riayat Syah (1761-1812 M), di saat ia memindahkan pusat kerajaan dari Bintan ke Lingga.

Sumber setempat menyebutkan bahwa, pembangunan masjid dimulai sekitar tahun 1803 M. Seluruh bangunan asli berasal dari kayu. Ketika Masjid Penyengat selesai dibangun, Masjid Jamik ini kemudian dirombak dan dibangun lagi dari beton.

Struktur ruang utama masjid tidak menggunakan tiang untuk menyangga kubah atau loteng. Pada mimbar, terdapat tulisan yang terpahat dalam aksara Arab-Melayu (Jawi).
Masjid Jamik Daik terletak di kampung Darat, Daik, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia
·         Pulau Galang
 
Pulau Galang mulai mencuat namanya sejak tahun 1980-an, ketika ratusan ribu penduduk Vietnam bagian selatan lari meninggalkan kampung halamannya untuk mengungsi ke negara lain pascaperang saudara di Vietnam. Pulau Galang, tepatnya di Desa Sijantung, Provinsi Kepulauan Riau, akhirnya disepakati untuk digunakan sebagai tempat penampungan sementara bagi para pengungsi. UNHCR dan pemerintah Indonesia membangun berbagai fasilitas seperti barak pengungsian, tempat ibadah, rumah sakit, dan sekolah, yang digunakan untuk memfasilitasi sekitar 250.000 pengungsi. Di tempat ini, para pengungsi Vietnam meneruskan hidupnya sepanjang tahun 1979—1996, hingga akhirnya mereka mendapat suaka di negara-negara maju yang mau menerima mereka, ataupun dipulangkan ke Vietnam.

Datang ke kawasan ini, pengunjung dapat melihat beberapa monumen dan sisa peninggalan dari kamp pengungsian. Pengunjung yang memasuki pulau ini akan disambut dengan Patung Taman Humanity atau Patung Kemanusiaan.

                Patung Taman Humanity

Tak jauh dari Patung Taman Humanity, terdapat areal pemakaman yang bernama Ngha Trang Grave.


                      Ngha Trang Grave

Di pulau ini, para wisatawan juga dapat melihat Monumen Perahu, yang terdiri dari tiga perahu yang digunakan para pengungsi ketika meninggalkan Vietnam.


Selain itu, berbagai tempat ibadah yang dulu dibangun untuk memfasilitasi pengungsi, juga masih ada hingga kini. Seperti, Vihara Quan Am Tu, Gereja Katolik Nha Tho Duc Me Vo Nhiem, gereja protestan, dan juga mushola. Vihara Quan Am TU, merupakan salah satu tempat ibadah yang paling mencolok di situ.


Tempat ini, terletak sekitar 50 km dari pusat Kota Batam. Tepatnya di Desa Sijantung, Pulau Galang, Kecamatan Galang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Untuk memasuki pulau ini, pengunjung harus menyusuri Jembatan Barelang dan melewati beberapa pulau lainnya terlebih dahulu. Untuk sampai ke Pulau Galang, pengunjung dapat menggunakan taksi ataupun menyewa mobil travel dari Pulau Batam. Perjalanan menuju Pulau Galang ini, memakan waktu sekitar satu jam. Memasuki lokasi Bekas Kamp Pengungsi Vietnam ini, pengunjung dikenakan tiket masuk seharga Rp 20.000,00 - Rp 25.000,00 per mobil.

·         Benteng Bukit Kursi



Benteng Bukit Kursi yang terdapat di Pulau Penyengat, merupakan salah satu bukti peninggalan sejarah Kerajaan Melayu dalam menjaga dan mempertahankan kedaulatan diri dari serangan musuh. Nama benteng tersebut diambil dari nama tempat di mana benteng itu dibangun, yaitu Bukit Kursi. Bukit Kursi merupakan lokasi yang cukup strategis untuk benteng pertahanan. Selain berada pada dataran tinggi di Pulau Penyengat, bukit ini juga langsung menghadap laut lepas.

Pentingnya peran Pulau Penyengat sebagai pusat pemerintahan, maka muncullah ide untuk membangun benteng pertahanan. Ide tersebut disetujui oleh Raja Haji Fisabillah yang saat itu menjabat sebagai Raja Kerajaan Melayu Riau. Sebuah benteng kemudian dibangun di Bukit Kursi dalam waktu 4 tahun atau sekitar tahun 1782—1784 M. Untuk menyempurnakan keberadaan benteng sebagai basis pertahanan kerajaan, maka didatangkan sebanyak 80 meriam dari Eropa yang dipasang di tiap-tiap sudut strategis untuk memudahkan para prajurit kerajaan menghalau tentara musuh.
Desain bangunan benteng ini cukup menarik. Benteng pertahanan yang terletak di atas bukit ini dibangun dalam bentuk parit-parit. Desain ini dibuat untuk menghindari serangan musuh yang datang dalam jumlah besar serta memiliki persenjataan yang lengkap. Di samping itu, parit-parit tersebut juga berfungsi sebagai jalur untuk menyuplai bubuk mesiu bagi persenjataan meriam. Hingga saat ini, parit-parit tersebut masih membentang di Benteng Bukit Kursi. Parit-parit ini digali dengan kedalaman 1 m dan menghubungkan tiap-tiap lokasi meriam berdiri. Tetapi kondisi parit-parit tersebut, sekarang ini kurang terawat dan terkesan kumuh.

                                          

·         Benteng Bukit Cening

                                           

Daik sebagai pusat kerajaan Riau-Lingga tentulah memerlukan pengawalan ketat. Perairan selat Malaka yang masa silam selalu ramai dengan desingan peluru dan asap mesiu. Untuk menjaga berbagai kemungkinan dalam pertempuran, di Daik Lingga dan sekitarnya didirikan kubu-kubu yang kokoh dengan persenjataan lengkap menurut keadaan zamannya, yang terdapat di pulau Mepar, Kubu Bukit Ceneng dan Kubu Kuala Daik.

ü  Situs Eksitu
·         Gedung Mesiu

                              
Gedung Obat Bedil terletak di Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjung Pinang, Kota Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia.
Pulau Penyengat yang terletak di sebelah barat Kota Tanjung Pinang dengan panjang sekitar 3,5 km ini banyak menyimpan simbolisasi kejayaan Kerajaan Melayu Riau. Simbolisasi kejayaan tersebut terlihat dari peninggalan benda dan gedung-gedung bersejarah, seperti istana, kompleks makam, dan gedung persenjataan. Salah satu dari sekian gedung yang masih berdiri kokoh hingga sekarang adalah Gedung Obat Bedil (Gudang Mesiu).

Semenjak tahun 2002, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau melakukan beberapa upaya untuk menyelamatkan peninggalan sejarah yang tersisa di Pulau Penyengat dengan cara memugar bangunan-bangunan bersejarah, termasuk Gedung Obat Bedil. Pemugaran dilakukan untuk mengembalikan nuansa bangunan agar terlihat lebih indah dengan memoles bagian-bagian bangunan yang sudah lusuh dan usang. Pemilihan warna pun disesuaikan dengan warna khas Melayu, yaitu warna kuning

Gedung ini sengaja didesain khusus agar tahan dari pengaruh cuaca lembab dan basah. Untuk itu, mulai dari pondasi sampai atap bangunan dibuat menggunakan beton dan ukuran dinding dibuat melebihi ketebalan bangunan biasa. Sehingga, bubuk mesiu yang tersimpan di dalam bangunan kualitasnya tetap terjaga. Pada sisi kanan dan kiri gedung dilengkapi dengan jendela kecil yang dipasang jeruji besi. Pada zaman dahulu, jendela tersebut berfungsi untuk memberi cahaya masuk ke dalam bangunan.

·         Bekas Istana Damnah

                                        

Yang tersisa dari bangunan yang dahulunya sangat megah ini hanyalah tangga muka, tiang-tiang dari sebahagian tembok pagarnya yang seluruhnya terbuat dari beton. Sekarang puing istana ini terletak dalam hutan belantara yang disebut kampung Damnah. Istana Damnah didirikan oleh Raja Muhammad Yusuf AI-Ahmadi, Yang Dipertuan Muda Riau X (1857-1899).

·         Gedung Bilik 44

                               
Yang disebut gedung bilik 44 adalah pondasi gedung yang akan dibangun oleh Sultan Mahmud Muzafar Syah. Gedung ini baru dikerjakan pondasinya saja karena Sultan keburu dipecat Belanda tahun 1812. Lokasinya terletak di lereng gunung Daik. Walaupun gedung ini belum sempat berdiri, tetapi dari pondasinya yang berjumlah 44 itu sudah dapat kita bayangkan betapa besarnya minat Sultan Mahmud untuk membangun negerinya.

·         Rumah Datuk Laksemane Daik

Bangunan tua ini terletak di kampung Bugis, berbentuk limas penuh. Rumah ini selain pernah ditempati oleh Datuk Laksemana Daik,pernah pula ditempati oleh Datuk Kaya pulau Mepar, karena beliau ini menantu Datuk Laksemana. Rumah ini masih agak baik dan ditempati oleh keluarga Datuk Laksemana dan Datuk Kaya Daik.
Di rumah ini masih tersimpan sisa-sisa benda milik Datuk Laksemana dan Datuk Kaya, seperti : beberapa jenis pakatan kebesaran Datuk Kaya dan Datuk Laksemana, benda-benda upacara adat, motifmotif tenunan, batik, ukiran-ukiran dan sebagainya

ü  Desa Tradisional

·         Desa Berakit

Desa Berakit (Kecamatan Teluk Sebong, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau) merupakan desa tradisional Kepulauan Riau. Di desa ini terungkap berbagai potensi pengembangan pariwisata berkelanjutan yang dapat dikembangkan di kawasan Berakit misalnya keberadaan perkampungan Orang Laut yang dulu dikenal sebagai pengelana laut, hutan mangrove yang luas, hamparan padang lamun yang subur dan terumbu karang yang sehat, panglong (intalasi pembuatan arang tradisional), menara suar tua yang setia memandu pelayaran di jalur navigasi tersibuk ke dan dari Selat Singapur, dan yang sangat menarik adalah keberadaan duyung (dugong) yang hidup di perairan ini.



Pesisir timur Bintan yang panjang itu telah ditetapkan sebagai kawasan pariwsisata dalam Perda (Peraturan Daerah) Bintan No. 14/2007, namun rencana mikronya masih harus dikembangkan.

3.  SITUS SITUS BUDAYA

ü  Arsitektur Tradisional (Rumah Adat)
-       Rumah Lancang

                                     
Rumah Lancang atau Pencalang merupakan nama salah satu Rumah tradisional masyarakat Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, Indonesia. Selain nama Rumah Lancang atau Pencalang, Rumah ini juga dikenal dengan sebutan Rumah Lontik. Disebut Lancang atau Pencalang karena bentuk hiasan kaki dinding depannya mirip perahu, bentuk dinding Rumah yang miring keluar seperti miringnya dinding perahu layar mereka, dan jika dilihat dari jauh bentuk Rumah tersebut seperti Rumah-Rumah perahu (magon) yang biasa dibuat penduduk. Sedangkan nama Lontik dipakai karena bentuk perabung (bubungan) atapnya melentik ke atas.
Keberadaan Rumah Lancang, nampaknya, merupakan hasil dari proses akulturasi arsitektur asli masyarakat Kampar dan Minangkabau. Dasar dan dinding Rumah yang berbentuk seperti perahu merupakan ciri khas masyarakat Kampar, sedangkan bentuk atap lentik (Lontik) merupakan ciri khas arsitektur Minangkabau. Proses akulturasi arsitektur terjadi karena daerah Kampar merupakan alur pelayaran, Sungai Mahat, dari Lima Koto menuju wilayah Tanah Datar di Payakumbuh, Minangkabau.  

-       Rumah Belah Bubung

                       
Kepulauan Riau merupakan salah satu satu provinsi di Indonesia. Daerah ini merupakan gugusan pulau yang tersebar di perairan selat Malaka dan laut Cina selatan. Keadaan pulau-pulau itu berbukit dengan pantai landai dan terjal. Mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan dan petani. Sedangkan agama yang dianut oleh sebagian besar dari mereka adalah Islam.
Salah satu rumah untuk tempat tinggal masyarakat Kepulauan Riau adalah rumah Belah Bubung. Rumah ini juga dikenal dengan sebutan rumah Rabung atau rumah Bumbung Melayu. Nama rumah Belah Bubung diberikan oleh orang Melayu karena bentuk atapnya terbelah. Disebut rumah Rabung karena atapnya mengunakan perabung. Sedangkan nama rumah Bubung Melayu diberikan oleh orang-orang asing, khususnya Cina dan Belanda, karena bentuknya berbeda dengan rumah asal mereka, yaitu berupa rumah Kelenting dan Limas.
Besar kecilnya rumah yang dibangun ditentukan oleh kemampuan pemiliknya, semakin kaya seseorang semakin besar rumahnya dan semakin banyak ragam hiasnya. Namun demikian, kekayaan bukan sebagai penentu yang mutlak. Pertimbangan yang paling utama dalam membuat rumah adalah keserasian dengan pemiliknya. Untuk menentukan serasi atau tidaknya sebuah rumah, sang pemilik menghitung ukuran rumahnya dengan hitungan hasta, dari satu sampai lima. Adapun uratannya adalah: ular berenang, meniti riak, riak meniti kumbang berteduh, habis utang berganti utang, dan hutang lima belum berimbuh. Ukuran yang paling baik adalah jika tepat pada hitungan riak meniti kumbang berteduh.

ü  Seni Pertunjukan

Musik

Musik Melayu Kepulauan Riau dan musik yang berkembang oleh masyarakat Kepulauan Riau mencakup Musik melayu dalam bentuk Langgam atau Senandung, Musik Joget, Musik Zapin, Musik Silat, Musik Inang, Musik Ghazal, Musik Boria, Musik Mak Yong, Musik Mendu, Musik Lang-lang Buana, Musik Bangsawan, Musik Barongsai, Musik Gamelan yang dulunya berkembang istana Daik Lingga dengan sebutan Musik Tari Joget Lingga, Musik Randai, Musik Dul Muluk, Musik Tari Inai, Musik Kompang, Musik Berdah, Musik Rebana, Musik Kasidah, Musik Nobat yang bisa digunakan pada acara ritual kerajaan di Riau Lingga, Musik Boria, Musik Kuna kepang, Musik Wayang cecak, Musik Randai, Musik Angklung, Musik Manora, Musik Keroncong, Musik Dangdut, Musik Pop, Musik Gondang dari batang, Musik agogo, dan lainnya.

Tarian

Tari melayu di Kepulauan Riau yang berkembang di kabupaten dan kota antara lain : Tari Zapin, Tari Joget Dangong, Tari Jogi, Tari Melemang, Tari Maknyong, Tari Mendu, Tari Inai, Tari Dayung sampan, Tari Topeng, Tari lang-Lang Buana, Tari Alu, Tari Ayam Sudur, Tari Boria, Tari Zikir Barat, Tari Rokana, Tari Joget lambak, Tari Damnah,Tari Semah Kajang,Tari Dendang Dangkong, Tari Sirih Lelat, Tari Tebus Kipas, Tari Sekapur Sirih, Tari Engku Puteri, Tari Mustika Kencana, Tari Marhaban, Tari menjunjung duli, Tari Tandak Pengasih, Tari Ikan Kekek, Tari Tarek Rawai, Tari Pasang rokok, Tari Masri, Tari Betabik, Tari Lenggang cecak, Tari Laksemane Bentan, Joget Bebtan, Tari Joget Kak Long dari Moro, Tari Joget Mak Dare,Tari Joget Makcik normah di pulau Panjang Batam.

ü  Teater
·         Mendu
adalah kesenian lakontradisional Kepulauan Riau yang hingga setakat ini mulai kian ditinggalkan khalayak tempatan. Akibat semakin berkurangnya penyelenggaraan pementasan, sehingga bagi orang Melayu sendiri kesenian Mendu semakin tidak dikenal, bahkan hampir-hampir terlupakan, ditambah pula rempuhan budaya global melalui media elektronik semakin menggila.

ü  Legenda (LEGENDA PULAU SENUA)

Pulau Senua terletak di Ujung Tanjung Senubing Bunguran Timur, Natuna, Provinsi Kepualaun Riau, Indonesia. Kata senua dalam bahasa setempat berarti satu tubuh berbadan dua. Menurut cerita, pulau yang terkenal sebagai sarang burung laying-layang putih ini merupakan  penjelmaan dari seorang perempuan yang sedang berbadan dua (hamil) bernama Mai Lamah. Legenda ini masih dipercaya oleh masyarakat Kepulauan Riau sampai sekarang.

ü  Wordwisdom
  • Bhutang Emas
Merupakan warisan Budaya Kepulauan Riau. Bhutang Emas hanyalah lambang / symbol “sebagai anak baju” , “kancing” , agar mereka mengancingkan bajunya.

ü  Warisan Budaya
  • Gasing
Gasing merupakan salah satu permainan tradi- sional yang dikenal sejak berabad-abad lalu khususnya kaum laki-laki di Natuna, sebuah kabupaten dalam Provinsi Kepulauan Riau yang terletak di Laut Cina Selatan Kabupaten Natuna berbatasan dengan negara tetangga, Malaysia, Thailand, Vietnam Brunai Darussalam, Negeri Sarawak dan Provinsi Kalimantan  Barat.

ü  Upacara Tradisional
  • Upacara Balai Panjang
Talang Mamak adalah salah satu komunitas yang sering dikategorikan sebagai masyarakat terasing yang ada di Provinsi Riau. Mereka tersebar di beberapa kecamatan yang tergabung dalam Kabupaten Indragiri Hulu, yaitu Kecamatan: Pasir Penyu, Seberida, dan Rengat. Di Kecamatan Pasirpenyu mereka bermukim di desa: Talang Parit, Talang Perigi, Talang Gedabu, Talang Sungai Limau, Talang Selantai, Talang Tujuh Buah Tangga, dan Talang Durian Cacar. Kemudian, di Kecamatan Seberida mereka bermukim di sebagian desa Pangkalan Kasai, Anak Talang, Seberida, Sungai Akar, Talang Lakat, Siambul, Rantau Langsat, Durian Cacar, Parit Perigi, Sungai Limau, dan Selantai.
Sebagaimana masyarakat lainnya, orang Talang Mamak juga menumbuh-kembangkan kebudayaannya sebagai tanggapan aktif terhadap lingkungannya dalam arti luas (alam, sosial, dan binaan). Mengingat bahwa kebudayaan meliputi keseluruhan aspek kehidupan manusia, maka artikel ini hanya akan membahas salah satu unsur kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan oleh mereka, yaitu sistem religi (sistem kepercayaan) yang ada di kalangan mereka, khususnya upacara balai panjang.

ü  Wisata Ziarah
·         Makam Raja Ali Haji



Di Pulau Penyengat Indera Sakti, Kepulauan Riau, terdapat sebuah makam seorang tokoh yang sangat termasyhur tidak hanya di wilayah Riau saja, melainkan juga hampir di seluruh penjuru Nusantara, yakni Makam Raja Ali Haji. Bahkan Pulau tempat makam tersebut bernaung, Penyengat, selalu dikait-kaitkan dengan nama besar sang pujangga besar Nusantara tersebut. Oleh masyarakat Melayu, khususnya di semenanjung Malaka, nama ini dianggap sebagai pahlawan besar yang layak diagungkan dan dimonumenkan.
Nama lengkap Raja Ali Haji adalah Raja Ali al-Hajj ibni Raja Ahmad al-Hajj ibni Raja Haji Fisabilillah bin Opu Daeng Celak alias Engku Haji Ali ibni Engku Haji Ahmad Riau. Ia dilahirkan pada tahun 1808 M/1193 H di pusat Kesultanan Riau-Lingga di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau dan meninggal pada tahun 1873 M di pulau itu juga.
Mengunjungi Pulau Penyengat sungguh dapat membawa alam imajinasi wisatawan pada kebesaran Kerajaan Riau-Lingga di masa lalu. Bayangkan saja, di pulau yang hanya memiliki lebar sekitar satu kilometer dan panjang sekitar dua sampai tiga kilometer ini, terdapat puluhan situs bersejarah peninggalan sultan, entah itu berbentuk istana, gedung mahkamah, tempat mandi, gedung tabib, masjid, ataupun makam—termasuk di dalamnya Makam Raja Ali Haji sendiri. Beragam situs bersejarah yang menyebar di pulau ini seolah terangkai dalam satu kontinum yang menggambarkan kebesaran sejarah kerajaan Malayu Riau.



Sebenarnya dalam kompleks ini terdapat banyak makam para raja/sultan Kesulatanan Riau Lingga yang bersanding-sisi dengan makam Raja Ali Haji. Makam permaisuri terletak di bangunan utama, sedangkan makam raja laki-laki—seperti Raja Ahamad Syah, Raja Abdullah Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga IX, dan Raja Ali Haji sendiri—terdapat di luar ruangan.

Kota terdekat untuk mencapai Pulau Penyengat adalah Tanjungpinang, Pulau Bintan. Jaraknya sekitar enam kilometer atau sekitar 30 menit perjalanan laut dengan menggunakan perahu pompong (perahu kecil).
·         Makam Merah

                                         
Disebut makam merah karena warna cat bangunannya merah, tiangnya terbuat dari besi, pagarnya dari besi
Makam ini letaknya tidaklah berapa jauh dari bekas istana Damnah. Makam ini terkenal bukanlah karena bangunan makamnya, tetapi karena yang dimakamkan disini adalah Raja Muhammad Yusuf Yang Dipertuan Muda Riau

4.   SEBUAH ANALISIS

Dari data-data situs sejarah dan budaya di atas yang saya tahu Kepulauan Riau memilki banyak sekali objek wisata sejarah dan budaya yang masih belum diketahui banyak orang / wisatawan karena kurangnya pemasaran objek wisata wilayah tersebut padahal letak Kepulauan Riau sangat strategis sekali karena berbatasan langsung dengan Singapura, Malaysia, Vietnam, Thailand, Filipina. Kepulauan Riau memilki banyak kekayaan wisata potensial yang semestinya kita harus kembangkan dalam bisnis pariwisata dan susahnya jalur transportasi menuju ke objek wisata tersebut.
Dari semua keinginan-keinginan wisatawan (want) itu semua, kita sebagai pembisnis pariwisata, kita harus menciptakan gimana caranya pariwisata menjadi kebutuhan wisatawan, karena pariwisata merupakan bisnis yang tidak pernah mati (pariwisata merupakan pemasukan utama untuk negara kita).
Usaha-usaha yang seharusnya kita lakukan adalah menjaga, membangun jalur transportasi yang mudah menuju ke sana, menyediakan fasilitas-fasilitas penunjang objek wisata di sana dan memasarkan potensi-potensi wisata yang ada di Kepulauan Riau ke target pasar yang seluas-luasnya agar wisatawan banyak tertarik mengunjungi Kepulauan Riau.

5.   PENUTUP

Demikianlah yang bisa saya jelaskan tentang potensi-potensi wisata sejarah dan wisata budaya yang saya ketahui. Semoga anda semua berminat mengunjungi / berwisata ke Kepulauan Riau. Thanks ^_^

SUMBER :

Ø  Kepariwisataan : Provinsi Kepulauan Riau

Ø  Sumber : Buku Informasi Pariwisata Nusantara Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia 

Ø  www.bps.go.id

Ø Galba, Sindu dan Siti Rohana. 2002. Peta Kesenian Rakyat Melayu Kebupaten kepulauan Riau. Tanjungpinang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Ø  Blog by kherjuli












Tidak ada komentar:

Posting Komentar