Minggu, 09 Januari 2011

SULAWESI TENGAH BERAGAM SEJARAH


Sebuah Analisis Penjelajahan awal

1.     PENDAHULUAN

SEJARAH PROPINSI SULAWESI TENGAH
Sulawesi Tengah merupakan propinsi terbesar di pulau Sulawesi, dengan luas wilayah daratan 68.033 km2  yang mencakup semenanjung bagian timur dan sebagian semenanjung bagian utara serta kepulauan Togian di Teluk Tomini dan Kepulauan Banggai di Teluk Tolo, dengan luas wilayah laut adalah 189.480 km2. Provinsi Sulawesi Tengah dibentuk tahun 1964. Sebelumnya Sulawesi Tengah merupakan salah satu wilayah keresidenan di bawah Pemerintahan Provinsi Sulawesi Utara-Tengah. Provinsi yang beribukota di Palu ini terbentuk berdasarkan Undang-undang No. 13/1964.Seperti di daerah lain di Indonesia, penduduk asli Sulawesi Tengah merupakan percampuran antara bangsa Wedoid dan negroid. Penduduk asli ini kemudian berkembang menjadi suku baru menyusul datangnya bangsa Proto-Melayu tahun 3000 SM dan Deutro-Melayu tahun 300 SM. Keberadaan para penghuni pertama Sulawesi Tengah ini diketahui dari peninggalan sejarah berupa peralatan dari kebudayaan Dongsong (perunggu) dari zaman Megalitikum.Perkembangan selanjutnya banyak kaum migran yang datang dan menetap di wilayah Sulawesi Tengah. Penduduk baru ini dalam kehidupan kesehariannya bercampur dengan penduduk lama sehingga menghasilkan percampuran kebudayaan antara penghuni lama dan baru. Akhirnya, suku-suku bangsa di Sulawesi Tengah dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu, Palu Toraja, Koro Toraja, dan Poso Toraja.Pada abad ke 13, di Sulawesi Tengah sudah berdiri beberapa kerajaan seperti Kerajaan Banawa, Kerajaan Tawaeli, Kerajaan Sigi, Kerajaan Bangga, dan Kerajaan Banggai. Pengaruh Islam ke kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah mulai terasa pada abad ke 16. Penyebaran Islam di Sulawesi Tengah ini merupakan hasil dari ekspansi kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Pengaruh yang mula-mula datang adalah dari Kerajaan Bone dan Kerajaan Wajo.
Pengaruh Sulawesi Selatan begitu kuat terhadap Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Tengah, bahkan sampai pada tata pemerintahan. Struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah akhirnya terbagi dua, yaitu, yang berbentuk Pitunggota dan lainnya berbentuk Patanggota. Pitunggota adalah suatu lembaga legislatif yang terdiri dari tujuh anggota dan diketuai oleh seorang Baligau. Struktur pemerintahan ini mengikuti susunan pemerintahan ala Bone dan terdapat di Kerajaan Banawa dan Kerajaan Sigi. Struktur lainnya, yaitu, Patanggota, merupakan pemerintahan ala Wajo dan dianut oleh Kerajaan Palu dan Kerajaan Tawaeli. Patanggota Tawaeli terdiri dari Mupabomba, Lambara, Mpanau, dan Baiya.Pangaruh lainnya adalah datang dari Mandar. Kerajaan-kerajaan di Teluk Tomini adalah cikal bakalnya berasal dari Mandar. Pengaruh Mandar lainnya adalag dengan dipakainya istilah raja. Sebelum pengaruh ini masuk, di Teluk Tomini hanya dikenal gelar Olongian atau tuan-tuan tanah yang secara otonom menguasai wilayahnya masing-masing.  Selain pengaruh Mandar, kerajaan-kerajaan di Teluk Tomini juga dipengaruhi  Gorontalo dan Ternate. Hal ini terlihat dalam struktur pemerintahannya yang sedikit banyak mengikuti struktur pemerintahan di Gorontalo dan Ternate tersebut. Struktur pemerintahan tersebut terdiri dari Olongian (kepala negara), Jogugu (perdana menteri), Kapitan Laut (Menteri Pertahanan), Walaapulu (menteri keuangan), Ukum (menteri perhubungan), dan Madinu (menteri penerangan).Dengan meluasnya pengaruh Sulawesi Selatan, menyebar pula agama Islam. Daerah-daerah yang diwarnai Islam pertama kali adalah daerah pesisir. Pada pertengahan abad ke 16, dua kerajaan, yaitu Buol dan Luwuk telah menerima ajaran Islam. Sejak tahun 1540, Buol telah berbentuk kesultanan dan dipimpin oleh seorang sultan bernama Eato Mohammad Tahir.
Mulai abad ke 17, wilayah Sulawesi Tengah mulai masuk dalam kekuasaan kolonial Belanda. Dengan dalih untuk mengamankan armada kapalnya dari serangan bajak laut, VOC membangun benteng di Parigi dan Lambunu. Pada abad ke 18, meningkatkan tekanannya pada raja-raja di Sulawesi Tengah. Mereka memanggil raja-raja Sulawesi Tengah untuk datang ke Manado dan Gorontalo untuk mengucapkan sumpah setia kepada VOC. Dengan begitu, VOC berarti telah menguasai kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah tersebut. Permulaan abad ke 20, dengan diikat suatu perjanjian bernama lang contract dan korte verklaring, Belanda telah sepenuhnya menguasai Sulawesi Tengah, terhadap kerajaan yang membangkang, Belanda menumpasnya dengan kekerasan senjata. Pada permulaan abad ke 20 pula mulai muncul pergerakan-pergerakan yang melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Selain pergerakan lokal, masuk pula pergerakan-pergerakan yang berpusat di Jawa. Organisasi yang pertama mendirikan cabang di Sulawesi Tengah adalah Syarikat Islam (SI), didirikan di Buol Toli-Toli tahun 1916. Organisasi lainnya yang berkembang di wilayah ini adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang cabangnya didirikan di Buol tahun 1928. organisasi lainnya yang membuka cabang di Sulawesi Tengah adalah Muhammadiyah dan PSII.
Perlawanan rakyat mencapai puncaknya tanggal 25 Januari 1942. Para pejuang yang dipimpin oleh I.D. Awuy menangkap para tokoh kolonial seperti Controleur Toli-Toli De Hoof, Bestuur Asisten Residen Matata Daeng Masese, dan Controleur Buol de Vries. Dengan tertangkapnya tokoh-tokoh kolonial itu, praktis kekuasaan Belanda telah diakhiri. Tanggal 1 Februari 1942, sang merah putih telah dikibarkan untuk pertama kalinya di angkasa Toli-Toli. Namun keadaan ini tidak berlangsung lama karena seminggu kemudian pasukan Belanda kembali datang dan melakukan gempuran.Meskipun telah melakukan gempuran, Belanda tidak sempat berkuasa kembali di Sulawesi Tengah karena pada waktu itu, Jepang mendarat di wilayah itu, tepatnya di Luwuk tanggal 15 Mei 1942. dalam waktu singkat Jepang berhasil menguasai wilayah Sulawesi Tengah. Di era Jepang, kehidupan rakyat semakin tertekan dan sengsara seluruh kegiatan rakyat hanya ditujukan untuk mendukung peperangan Jepang. Keadaan ini berlangsung sampai Jepang menyerah kepada Sekutu dan disusul dengan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.Pada awal kemerdekaan, Sulawesi tengah merupakan bagian dari provinsi Sulawesi. Sebagaimana daerah lainnya di Indonesia, pasca kemerdekaan adalah saatnya perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diraih. Rongrongan terus datang dari Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Belanda menerapkan politik pecah-belah dimana Indonesia dijadikan negara serikat. Namun akhirnya bangsa Indonesia dapat melewati rongrongan itu dan ada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Sejak saat itu, Sulawesi kembali menjadi salah satu provinsi di Republik Indonesia dan berlangsung hingga terjadi pemekaran tahun 1960. Pada tahun tersebut Sulawesi dibagi dua menjadi Sulawesi Selatan-Tenggara yang beribukota di Makassar dan Sulawesi Utara-Tengah yang beribukota di Manado. Pada tahun 1964, Provinsi Sulawesi Utara-Tengah dimekarkan menjadi provinsi Sulawesi Utara yang beribukota di Manado dan Sulawesi Tenagh yang beribukota di Palu.
2.    SITUS – SITUS SEJARAH
Dalam sejarah Sulawesi tengah Seperti di daerah lain di Indonesia, penduduk asli Sulawesi Tengah merupakan percampuran antara bangsa Wedoid dan negroid. Penduduk asli ini kemudian berkembang menjadi suku baru menyusul datangnya bangsa Proto-Melayu tahun 3000 SM dan Deutro-Melayu tahun 300 SM.
Keragaman peninggalan warisan budaya masa lalu di Sulawesi Tengah, khususnya peninggalan megalitik yang mempunyai ciri khas merupakan pengetahuan dan kebudayaan atas cipta, karya dan rasa masyarakat pada masa lampau yang memiliki nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan suatu pedoman atau landasan untuk menentukan arah kebijakan dan strategi dalam pengambilan dan penentuan langkah di berbagai aspek kehidupan bangsa.
2.a Situs Eksitu
ARKEOLOGI PRASEJARAH
Zaman prasejarah adalah suatu periode kebudayaan manusia yang masih terbatas dan sederhana. Pada masa ini pendukungnya belum mengenal tulisan dengan pola hidup sederhana, berpindah-pindah, berburu dan meramu. Perkembangan selanjutnya manusia mulai hidup menetap, bercocok tanam sampai tingkat mengenal penggunaan logam.
Zaman Paleolitikum, Mesolitikum, Neolitikum, Megalitikum dan Perundagian merupakan periodesasi zaman prasejarah yang dikenal di Indonesia.
Peninggalan zaman prasejarah di Sulawesi Tengah dari Masa Paleolitikum dan Masa Mesolitikum hingga saat ini belum ditemukan. Tetapi peninggalan tertua berasal dari Masa Neolitikum berupa penemuan kapak batu di Kabupaten Donggala dan Kabupaten Poso pada tahun 1976. Sedangkan peninggalan Masa Megalitikum dan Masa Perundagian berupa temuan-temuan menhir, arca menhir, kalamba, tempayan kubur dan benda-benda yang terbuat dari logam seperti kapak perunggu yang tinggalannya tersebar di wilayah Sulawesi Tengah.
1.Tinggalan Masa Mesolitikum, seperti Fosil Gajah Purba/Stegodon di wilayah Napu Kecamatan Lore, Kabupaten Poso.
2.Tinggalan Masa Neolitikum, seperti Tradisi Pembuatan Kain Kulit Kayu (Peralatan dan Berbagai Bentuk Kain Kulit Kayu) dan tradisi Pembuatan Gerabah.
3.Tinggalan Masa Megalitikum, seperti Patung/Batu Arca, Kalamba, Gerabah Kubur dan Gelang Batu.
4.Tinggalan Masa Perundagian, seperti Tau-tau,Taiganja dan Sagala.
ARKEOLOGI KLASIK
Berbagai Tinggalan Keramik Asing :
1.Keramik Cina dari berbagai Macam Dinasti, seperti Dinasti Tang, Yuan, Sung, Ming dan Ching.
2.Keramik Jepang, Muangthai dan Vietnam
.
2.b Situs Insitu
Dari sejarah situs eksitu di Sulawesi tengah adalah situs sejarah atau peninggalan purbakala yang belum dipindahkan sama sekali dari tempat asalnya seperti patung tadulako, Patung ini merupakan replika dari patung Todulako yang tedapat di Lembah Besoa, Kecamatan Lore Tengah. Patung pertama kali dilaporkan oleh seorang berkebangsaan Belanda yang bernama Kilian yang menyebutnya Watumeangka. Raven pada tahun 1918 menyebutnya dengan Tadulaku, dan Kruyt menyebutnya Tadulako. Kesemuanya berdasarkan penamaan yang diberikan oleh penduduk yang bermukim di sekitarnya.
Patung ini tidak berkaki, tertanam di dalam tanah, memakai simbol Tadulako (Panglima Perang) pada bagian dada, mata bulat melotot dan miring diatas dahinya melengkung motif hiasan ikat kepala (Pekabalu) dan bagian pelipis terdapat benjolan yang menunjukkan telinga. Oleh penduduk setempat patung yang serupa ini digambarkan sebagai personifikasi panglima perang dan juga sebagai nenek moyang mereka. Pada saat-saat tertentu penduduk di sekitarnya memberikan sesajian sebagai persembahan untuk memohon berkah.

2.c Kota Tua
Ø  Kota tua di Kabupaten donggala, Sulawesi Tengah



Nenek moyang dengan tekun. Proses pembuatan kain tenun Donggala ini, hampir sama dengan pembuatan tenun-tenun yang ada di daerah lain. Baik dari Kota tua Donggala ini pernah menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda pada abad awal 20. Setelah Belanda menguasai Sulawesi Tengah pada tahun 1905, Gubernur Jenderal W. Rooseboom di Batavia yang menetapkan perubahan pembagian administrasi di pulau Sulawesi. Pelabuhan Donggala dulunya merupakan pelabuhan niaga dan penumpang. Tidak heran masih banyak bangunan tua tersisa di kota ini. Sejak lama Donggala telah dikenal sebagai pelabuhan laut. Dalam buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck milik Buya Hamka, dan Tetralogi Pulau Buru milik sastrawan Pramoedya Ananta Toer, kedua buku itu menyebut nama Donggala disebut sebagai tempat singgah para pelaut Nusantara dan Mancanegara.Nama Donggala sendiri berasal dari nama pohon Donggala atau dalam bahasa latin disebut Callophyllum innophyllum yang masuk dalam famili Clusiaceae atau Gutiferae. Kalau nama Indonesianya sejenis pohon Nyamplung. Pohon ini yang kemudian diabadikan menjadi nama Ibu Kota Kabupaten Donggala. Penamaan suatu daerah berdasarkan nama pohon umum dilakukan para orang-orang tua di tanah Kaili. Hal mana bisa dilihat di beberapa tempat lain yang namanya juga diambil dari nama pohon misalnya Siranindi, Kamonji, Tavanjuka, Lere, Talise, Nunu, Balaroa, Tavaili, Biromaru, Kalukubula dan seterusnya. Menurut penuturan Bapak R.D. Malonda, salah seorang tokoh masyarakat Donggala, bahwa dahulu kala kawasan Donggala ditumbuhi oleh Pohon Donggala. Dijelaskan bahwa pohon Donggala sebenarnya juga dijumpai di daerah lain misalnya di daerah pantai barat dan sebelah selatan Kecamatan Banawa akan tetapi mungkin karena di Kota Donggala pada waktu itu populasinya paling dominan sehingga masyarakat menamakan daerah tersebut sebagai daerah Donggala.Kabupaten Donggala mempunyai kerajinan sarung tenun yang sangat terkenal Sarung Tenun Donggala. Salah satu pusat tenun Donggala berada di Desa Limboro dimana tidak kurang 100 penenun setiap hari bekerja menenun kerajinan ini. Dengan peralatannya sangat sederhana yang terbuat dari kayu dan bambu mereka tetap berusaha melestarikan warisan proses pewarnaan benang hingga penenunan. Motif yang ada antara lain: palekat garusu, buya bomba, buya sabe, kombinasi bomba dan sabe. Dari sekian corak tersebut, buya bomba yang paling sulit, hingga membutuhkan waktu pengerjaan satu hingga dua bulan. Sedangkan motif lainnya yang hanya membutuhkan waktu satu hingga dua minggu saja. Buya Sabe, banyak digunakan pada cara-cara tertentu. Seperti pakaian pesta untuk orang tua, untuk menjamu tamu dari luar daerah, serta pakain untuk acara duka. Harganya tergantung motifnya,dengan harga termurah mencapai Rp 300 ribu dan paling mahal seharga Rp 650 ribu.Satu lagi yang terkenal dari Donggala adalah Kaledo (konon singkatan dari Kaki Lembu Donggala) yang terbuat dari tulang kaki lembu dan dagingnya, dicampur asam Jawa mentah, dengan bumbu cabe rawit, garam dan jeruk nipis. Setelah masak Kaledo seperti sup dengan kaki lembu dan sedikit daging. Jika kurang pedas, kita bisa menambahnya dengan sambal cabe rawit. Agar terasa wangi, biasa ditambahkan bawang goreng yang juga oleh-oleh khas Palu.Yang bertahan di Pelabuhan Donggala saat ini hanya aktivitas nelayan saja dan sisa bangunan tua yang keropos dimakan usia.


Ø  Kabupaten Poso
Kabupaten Poso adalah sebuah kabupaten di provinsi Sulawesi Tengah, Indonesia. Kabupaten ini mempunyai luas sebesar 24.197 km² dan berpenduduk sebanyak 132.032 jiwa (2000). Ibu kota kabupaten ini terletak di Kota Poso.
Sejarah
Pada mulanya penduduk yang mendiami daerah Poso berada di bawah kekuasaan Pemerintah Raja-Raja yang terdiri dari Raja Poso, Raja Napu, Raja Mori, Raja Tojo, Raja Una Una, dan Raja Bungku yang satu sama lain tidak ada hubungannya.
Keenam wilayah kerajaan tersebut di bawah pengaruh tiga kerajaan, yakni : Wilayah Bagian Selatan tunduk kepada Raja Luwu yang berkedudukan di Palopo, sedangkan Wilayah Bagian Utara tunduk dibawah pengaruh Raja Sigi yang berkedudukan di Sigi (Daerah Kabupaten Donggala), dan khusus wilayah bagian Timur yakni daerah Bungku termasuk daerah kepulauan tunduk kepada Raja Ternate.
Sejak Tahun 1880 Pemerintah Hindia Belanda di Sulawesi Bagian Utara mulai menguasai Sulawesi Tengah dan secara berangsur-angsur berusaha untuk melepaskan pengaruh Raja Luwu dan Raja Sigi di daerah Poso.
Terbagi Dua
Pada 1918 seluruh wilayah Sulawesi Tengah dalam lingkungan Kabupaten Poso yang sekarang telah dikuasai oleh Hindia Belanda dan mulailah disusun Pemerintah sipil. Kemudian oleh Pemerintah Belanda wilayah Poso dalam tahun 1905-1918 terbagi dalam dua kekuasaan pemerintah, sebagian masuk wilayah Keresidenan Manado yakni Onderafdeeling (kewedanan) Kolonodale dan Bungku, sedangkan kedudukan raja-raja dan wilayah kekuasaanya tetap dipertahankan dengan sebutan Self Bestuure-Gabieden (wilayah kerajaan) berpegang pada peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda yang disebut Self Bestuure atau Peraturan adat Kerajaan (hukum adat).
Pada 1919 seluruh wilayah Poso digabungkan dialihkan dalam wilayah Keresidenan Manado di mana Sulawesi tengah terbagi dalam dua wilayah yang disebut Afdeeling, yaitu: Afdeeling Donggala dengan ibu kotanya Donggala dan Afdeeling Poso dengan ibu kotanya kota Poso yang dipimpin oleh masing-masing Asisten Residen
.

Ø  Koleksi Historika
Koleksi historika berupa beberapa jenis koleksi bukti dari perlawanan rakyat daerah terhadap kolonial Belanda di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala. Koleksi tersebut antara lain perlengkapan perang dan pakaian dari Raja Kulawi yang bernama Tomai Rengke atau bergelar Towoalangi yang memimpin rakyat Kulawi berperang di Gunung Momi. Pasukan kerajaan Kulawi berhasil ditaklukan Belanda pada tahun 1905 setelah menghadapi perlawanan yang sengit dari rakyat Kulawi selama bertahun-tahun. Koleksi Raja Tomai Rengke terdiri dari Baju, Tombak, Siga (ikat kepala), dan Guma Kalama (pedang tradisional).
Selain itu terdapat pula meriam peninggalan kolonial Portugis dan Belanda dengan berbagai macam ukuran, baik yang tertata di dalam vitrin maupun yang tertata di ruang pameran bagian tengah.

Ø  Koleksi Filologika
Koleksi filologika merupakan kumpulan naskah-naskah kuno yang ditulis dengan tangan yang menggambarkan suatu peristiwa atau kejadian (hikayat). Seperti yang terlihat dalam vitrin ini terdapat tulisan naskah yang berbahasa Arab dan lontara Bugis yang di tulis dengan tangan.

Ø  Koleksi Numismatika
Koleksi numismatika merupakan koleksi alat tukar yang sah dan pada masa tertentu pernah berlaku pada masa kolonial Belanda, pendudukan Jepang dan setelah kemerdekaan (orde lama), terdiri dari koleksi-koleksi mata uang rupiah atau sen dengan nilai nominal yang bervariasi, baik berupa logam maupun uang kertas. Di dalam vitrin juga terdapat uang Gulden Belanda dan uang kertas keluaran pada zaman pendudukan Jepang.

2.d Desa Tradisional

Banua Mbaso atau lazim dikenal dengan Sou Raja berarti rumah besar atau rumah raja. Banua Mbaso ini merupakan rumah tradisional masyarakat Sulawesi Tengah yang diwariskan oleh keluarga bangsawan suku-bangsa Kaili. Rumah jenis ini pertama kali dibangun oleh Raja Palu, Jodjokodi, pada tahun 1892. Rumah ini merupakan rumah kediaman tidak resmi bagi manggan atau raja beserta keluarganya, terutama yang tinggal di daerah pantai dan kota.

Rumah sejenis ini dapat ditemukan di beberapa daerah di Sulawesi Tengah. Banua Mbaso yang dibangun oleh Raja Palu yang usianya ratusan tahun tersebut, hingga saat ini masih terawat dengan baik.
Secara keseluruhan, bangunan Banua Mbaso terbagi atas tiga ruangan, yaitu:
* Lonta karawana (ruang depan). Ruangan ini berfungsi untuk menerima tamu. Sebelum ada meja dan kursi, di ruangan ini dibentangkan onysa (tikar). Ruangan ini juga berfungsi sebagai tempat tidur para tamu yang menginap.
* Lonta tata ugana (ruang tengah). Ruangan ini khusus untuk menerima tamu yang masih ada hubungan keluarga.
* Lonta rorana (ruang belakang). Ruangan ini berfungsi sebagai ruang makan. Terkadang ruang makan juga berada di lonta tata ugana. Di pojok belakang ruangan ini khusus untuk kamar tidur anak-anak gadis agar mudah diawasi oleh orang tua.Untuk urang avu (ruang dapur), sumur dan jamban, dibuatkan bangunan tambahan atau ruangan lain di bagian belakang yang terpisah dengan bangunan utama. Untuk menghubungkan bangunan induk dengan ruang dapur tersebut dibuatkan jembatan beratap yang disebut dengan hambate atau dalam bahasa Bugis disebut jongke. Di jembatan beratap ini, biasanya dibuatkan pekuntu, yakni ruang terbuka untuk berangin-angin. Di kolong bangunan utama, biasanya dijadikan sebagai ruang kerja untuk pertukangan atau tempat beristirahat di siang hari. Sementara loteng rumah dipergunakan untuk menyimpan benda-benda pusaka dan lain-lain.

Keistimewaan
Bangunan Banua Mbaso memiliki arsitektur yang cukup unik dan artistik. Uniknya, rumah ini berbentuk panggung yang merupakan perpaduan antara arsitektur rumah adat (Bugis) di Sulawesi Selatan dan rumah adat di Kalimantan Selatan. Bangunan rumah ini ditopang oleh sejumlah tiang kayu balok persegi empat dari kayu-kayu pilihan yang berkualitas tinggi, seperti kayu ulin, bayan, atau sejenisnya, sehingga bangunan rumah ini dapat bertahan sampai ratusan tahun. Atap bangunan ini berbentuk piramida segitiga yang dihiasi dengan ukiran-ukiran yang disebut dengan panapiri. Menariknya lagi, pada ujung bubungan bagian depan dan belakang diletakkan mahkota berukir yang disebut dengan bangko-bangko.
Bangunan Banua Mbaso ini tampak lebih artistik, karena hampir semua bagian bangunan ini diberi hiasan berupa kaligrafi Arab dan ukiran dengan motif bunga-bungaan dan daun-daunan. Hiasan-hiasan tersebut terdapat pada jelusi-jelusi pintu atau jendela, dinding-dinding bangunan, loteng, ruang depan, pinggiran cucuran atap, papanini, dan bangko-bangko. Semua hiasan tersebut melambangkan kesuburan, kemuliaan, keramah-tamahan dan kesejahteraan bagi penghuninya.

Lokasi

Untuk menyaksikan keunikan dan keartistikan Banua Mbaso peninggalan Raja Palu, para wisatawan dapat datang ke Kelurahan Lere atau lebih dikenal Kampung Lere, di Kota Palu. Sebagai informasi, Kampung Lere ini merupakan pusat Kerajaan Palu di masa lalu (abad XVII – XX). Selain di Kota Palu, para wisatawan juga dapat menyaksikan rumah tradisional Palu di beberapa daerah di Sulawesi Tengah, seperti di Kecamatan Sigi Biromaru dan Tawaeili (Kabupaten Donggala) dan di Kabupaten Parigi.
2.e Masa peradaban di Sulawesi Tengah

Keragaman peninggalan warisan budaya masa lalu di Sulawesi Tengah khususnya peninggalan megalitik yang mempunyai ciri khas merupakan pengetahuan dan kebudayaan atas cipta, karya dan rasa masyarakat pada masa lampau yang memiliki nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan suatu pedoman atau landasan untuk menentukan arah kebijakan dan strategi dalam pengambilan dan penentuan langkah di berbagai aspek kehidupan bangsa.
Penelitian peninggalan arkeologi di Sulawesi Tengah telah dilakukan oleh para peneliti bangsa Eropa sejak akhir abad 19, yang dimulai oleh Adriani dan A.C. Kruyt dalam tulisannya “ Van Poso naar Parigi een Lindoe” pada tahun 1898. Kemudian pada tahun 1938 Kruyt menerbitkan tulisannya “De West Toradjas in Midden Celebes”, dan dalam tulisan tersebut Kruyt menyebutkan beberapa tinggalan arkelogis di Kulawi seperti kalamba di Gimpu, batu dulang di Mapahi, dan peti kubur kayu di Danau Lindu. Walter Kaudern, seorang peneliti berkebangsaan Swedia pada tahun 1938 menebitkan tulisannya “Megalithic Finds in Central Celebes” dan sebuah tulisan tentang etnografi “Structure and Settlements in Central Celebes”.
TEMPAYAN KUBUR Terbuat dari tanah liat yang dibakar (gerabah) dan ditemukan dengan cara penggalian (eskavasi) arkeologi pada tahun 1998 di Situs Vatunongko. Oleh Puslit Arkenas diklaim sebagai TEMPAYAN KUBUR TERBESAR YANG DITEMUKAN DI INDONESIA. Pada Masa Megalitik digunakan sebagai wadah penguburan kedua. Termasuk jenis koleksi arkeologika dan ditata pada Ruang Pameran Tetap II.
Penelitian potensi arkeologi oleh peneliti Indonesia pertama kali dilakukan pada tahun 1976 oleh Tim Proyek Penelitian dan Peninggalan Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

·         ARKEOLOGI PRASEJARAH
Zaman prasejarah adalah suatu periode kebudayaan manusia yang masih terbatas dan sederhana. Pada masa ini pendukungnya belum mengenal tulisan dengan pola hidup sederhana, berpindah-pindah, berburu dan meramu. Perkembangan selanjutnya manusia mulai hidup menetap, bercocok tanam sampai tingkat mengenal penggunaan logam.
Zaman Paleolitikum, Mesolitikum, Neolitikum, Megalitikum dan Perundagian merupakan periodesasi zaman prasejarah yang dikenal di Indonesia.
Peninggalan zaman prasejarah di Sulawesi Tengah dari Masa Paleolitikum dan Masa Mesolitikum hingga saat ini belum ditemukan. Tetapi peninggalan tertua berasal dari Masa Neolitikum berupa penemuan kapak batu di Kabupaten Donggala dan Kabupaten Poso pada tahun 1976. Sedangkan peninggalan Masa Megalitikum dan Masa Perundagian berupa temuan-temuan menhir, arca menhir, kalamba, tempayan kubur dan benda-benda yang terbuat dari logam seperti kapak perunggu yang tinggalannya tersebar di wilayah Sulawesi Tengah.

1.Tinggalan Masa Mesolitikum, seperti Fosil Gajah Purba/Stegodon di wilayah Napu Kecamatan Lore, Kabupaten Poso.
2.Tinggalan Masa Neolitikum, seperti Tradisi Pembuatan Kain Kulit Kayu (Peralatan dan Berbagai Bentuk Kain Kulit Kayu) dan tradisi Pembuatan Gerabah.
3.Tinggalan Masa Megalitikum, seperti Patung/Batu Arca, Kalamba, Gerabah Kubur dan Gelang Batu.
4.Tinggalan Masa Perundagian, seperti Tau-tau,Taiganja dan Sagala.

·         ARKEOLOGI KLASIK
Berbagai Tinggalan Keramik Asing :
1.Keramik Cina dari berbagai Macam Dinasti, seperti Dinasti Tang, Yuan, Sung, Ming dan Ching.
2.Keramik Jepang, Muangthai dan Vietnam.

·         ARKEOLOGI ISLAM
Islam mengalami pertumbuhan dan perkembangan, dibuktikan dengan berdirinya
organisasi-organisasi Islam seperti : pada tahun 1917 Syariat Islam masuk ke Sulawesi Tengah (12 tahun setelah Belanda menjajah di Sulawesi Tengah).Untuk Kabupaten Donggala dan Kota Palu langsung dibawa sendiri oleh pendirinya yaitu HOS Tjokroaminoto, sedangkan untuk wilayah Toli-toli dibawa oleh seorang kerabatnya yaitu Sastro Kardono. Organisasi lain yang didirikan di Palu, yang kemudian menjadi suatu organisasi besar dan sangat berjasa dalam pengembangan agama Islam di Sulawesi Tengah adalah organisasi “Al-chaeraat”, serta dibuktikan dengan peninggalan arkeologi Islam di Sulawesi Tengah seperti bangunan Mesjid Tua di Bungku, Mesjid Tua Una-una, Mesjid Tua di Palu.Selain itu, terdapat pula peninggalan Makam Penyiar Agama Islam dan Raja-raja, Naskah-naskah Kuno dan Kaligrafi.

·         ARKEOLOGI KOLONIAL
Peninggalan Benteng Pertahanan atau Bunker Veilbox di Pesisir Pantai Toli-Toli.
DR. Adriani tiba di kota Poso pada bulan Desember
1895, ia melakukan pembuatan peta geografi dan topografi atas seluruh wilayah yang didatanginya. Akhirnya ia meninggal pada tahun 1926 di kota itu dan dimakamkan di tempat pemakaman umum yang sekarang menjadi situs.Peninggalan lainnya pada masa ini adalah Bangunan Gereja Tua (GereJa Katolik) di Jl. Patimura dan Gudang PKKD (Pusat Koperasi Kopra Donggala) di Gunung Bale.

3.    SITUS-SITUS BUDAYA
3.a Tradisi yang masih berlangsung di Sulawesi Tengah yaitu :
Meskipun sebagian besar masyarakat Sulawesi Tengah telah memeluk agama Islam dan Kristen, namun di sisi lain masih banyak upacara adat yang tetap dijalankan sampai saat ini. Upacara-upacara tersebut merupakan warisan tradisi nenek moyang yang berdasarkan pada kepercayaan asli mereka. Berbagai upacara yang diselenggarakan masyarakat terutama yang berkenaan dengan lingkaran/daur hidup manusia (life cycle), yang terdiri atas kelahiran, masa dewasa, perkawinan, dan kematian. Di samping itu masih banyak upacara lain yang berkaitan dengan aktivitas hidup sehari-hari.
1. Suku Bangsa Pamona
  1. Upacara masa hamil (Katiana)
  2. Upacara masa kelahiran dan masa bayi (Moana)
  3. Upacara menjelang masa dewasa (Maasa)
  4. Upacara kematian, terdiri dari:
    • Mompolomoasi Tau Majua Mokoasa
    • Mongkariang
    • Mompemate
    • Mogave
    • Meloa
2. Suku Bangsa Kaili
  1. Upacara masa hamil (Nolama Tai & Novero)
  2. Upacara masa kelahiran dan masa bayi (Nompudu Valaa Mpuse, Nantauraka Ngana, Nosaviraka Ritora, Nokoto/Nosombe Bulua)
  3. Upacara masa kanak-kanak (Nosuna)
  4. Upacara menjelang masa dewasa (Nokeso)
  5. Upacara masa dewasa (Nobau)
  6. Upacara kematian, terdiri dari:
    • Nopamada
    • Molumu (masa persemayaman)
    • Motana Tomate (masa penguburan)
    • Motahalele
    • Moombo Ngapa
    • Motana Bate
3. Suku Bangsa Kulawi
  1. Upacara masa hamil (Halili Bulai)
  2. Upacara masa kelahiran dan masa bayi (Pencorea, Ratoe, Popanaung)
  3. Upacara masa kanak-kanak (Mopahiva)
  4. Upacara menjelang masa dewasa (Ratini, Rakeho, Ratompo, Mancumani)
  5. Upacara kematian
4. Suku Bangsa Dampelas
  1. Upacara masa hamil (Bai Mpole)
  2. Upacara masa kelahiran dan masa bayi (Baratudang & Melongkung)
  3. Upacara menjelang masa dewasa (Molead)
  4. Upacara masa dewasa (Menonto)
  5. Upacara kematian, terdiri dari:
·         Upacara Sebelum Kematian
·         Upacara Saat Kematian
·         Upacara Sebelum Penguburan ( mopohimung )
·         Upacara Saat Penguburan ( hotanong )
·         Upacara Sesudah Penguburan ( tahlil & tazkia )
3.b Seni alat musik yang ada di Sulawesi Tengah Instrumen ini dimainkan oleh masyarakat suku Kaili—suku asli di Sulawesi Tengah. Selain di Sulawesi Tengah, instrument ini dapat pula ditemukan di Sulawesi Utara (Bolaang Mongondow), Kalimantan, Sumatra, Maluku, Sabah dan Serawak Malaysia dan Brunai Darussalam. Musik Kakula yang kita kenal sebagai salah satu seni musik tradisional suku Kaili khususnya dan masyarakat Sulawesi Tengah pada umumnya sudah sangat sukar menentukan kapan mulai dikenal oleh masyarakat di daerah ini.
Pada tahun 1618 agama Islam masuk di daerah ini dengan membawa serta pula kebudayaannya. Mengikuti penyebar-penyebar Islam ini sebagai alat pendukung dakwah, mereka membawa serta alat musik yang terbuat dari tembaga/kuningan yang sekarang ini kita kenal dengan Musik Kakula. Alat musik tersebut berbentuk bulat dan pada bagian tengalmya muncul atau munjung, sama dengan bonang di Pulau Jawa.
Sejarah Kehidupan Musik Kakula Namun jauh sebelum alat musik ini masuk, daerah ini sudah mengenal alat musik yang terbuat dari kayu yang pipih dengan panjang kira-kira 60 cm dan tebal 2 cm serta lebar 5 sampai 6 cm disesuaikan dengan nada. Alat musik tersebut juga sering mereka katakan sebagai gamba-gamba. Gamba-gamba kayu adalah salah satu bentuk embrio atau awal dari musik kakula karena nada yang ada pada musik kakula yang terbuat dari tembaga/kuningan persis dengan nada yang ada pada gamba-gamba atau Musik Kakula Kayu. Masyarakat Sulawesi Tengah yang kita kenal sebagai masyarakat agraris karena sebagian besar penduduk Sulawesi Tengah hidup dari pertanian.

            3.c Seni tarian tradisional yang ada di Sulawesi tengah,
           
Torompio” adalah ungkapan dalam bahasa Pamona, Sulawesi Tengah. Ungkapan ini terdiri atas dua kata, yakni “toro” yang berarti “berputar” dan “pio” yang berarti “angin”. Jadi, “torompio” berarti “angin berputar”. Makna yang terkandung dalam ungkapan tersebut adalah “gelora cinta kasih” yang dilambangkan oleh tarian yang dinamis dengan gerakan berputar-putar bagaikan insan yang sedang dilanda cinta kasih, sehingga tarian ini disebut torompio. Pengertian gelora cinta kasih sebenarnya bukan hanya untuk sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta, melainkan juga untuk semua kehidupan, seperti: cinta tanah air, cinta sesama umat, cinta kepada tamu-tamu (menghargai tamu-tamu) dan lain sebagainya. Namun, yang lebih menonjol ialah cinta kasih antarsesama remaja atau muda-mudi, sehingga tarian ini lebih dikenal sebagai tarian muda-mudi. Torompio dalam penampilannya sangat ditentukan oleh syair lagu pengiring yang dinyanyikan oleh penari dan pengiring tari.
Tarian ini dahulu ditarikan secara spontan oleh para remaja dengan jumlah yang tidak terbatas dan dipergelarkan di tempat terbuka, seperti halaman rumah atau tempat tertentu yang agak luas. Para penontonnya muda-mudi yang berdiri dan membentuk lingkaran, karena tari ini didominasi oleh komposisi lingkaran dan berbaris.
Peralatan dan Busana
Peralatan musik yang digunakan untuk mengiringi tari torompio diantaranya adalah: (1) ganda (gendang); (2) nonggi (gong); (3) karatu (gendang duduk); dan gitar. Sedangkan, busana
yang dikenakan oleh penari perempuan adalah: (1) lemba (blus berlengan pendek yang berhiaskan manik-manik); (2) topi mombulu (rok bersusun); (3) tali bonto (ikat kepala yang terbuat dai teras bambu dibungkus dengan kain merah sebesar 2 sampai 3 jari dan dihias dengan manik-manik; dan (4) kalung yang terbuat dari sejenis tumbuhan siropu atau dari batu. Sedangkan busana dan perlengkapan pada penari laki-laki adalah: (1) baju banjara (baju seperti teluk belanga yang diberi hiasan dari manik-manik); (2) salana (celana panjang yang berhias manik-manik); (3) siga atau destar; dan (4) salempa (kain untuk selempang).Selain peralatan musik dan busana bagi penarinya, tarian ini diiringi oleh beberapa buah lagu. Salah satu lagu yang dahulu biasa dinyanyikan pada masa Orde Baru adalah lagu Wati Ndagia. Lagu ini berisi pesan pemerintah untuk menggiatkan pembangunan. Berikut ini adalah terjemahan dari beberapa syair yang dilantunkan: Tumpah darahku yang kucintai tempat ibu bapaku dan aku dilahirkan. Poso Sulawesi Tengah sangat subur indah permai. Danaunya yang elok indah menawan yang takan kulupakan.Inilah kami anak-anak dari seberang akan bermain khas daerah kami.Pada pertemuan ini begitu indah kita bernyanyi, bersyair dengan rasa yang sesungguhnya. Pembangunan negara kita ini telah dirasakan sampai ke pedesaan. Wahai teman-teman, kita seirama dalam pembangunan ini.Serasi selaras pertemuan kita ini melambangkan persatuan kita. Budaya yang datang dari luar datang di negeri kita dan filter bagi bangsa kita adalah Pancasila.Ingat wahai kawan, tahun depan adalah pesta nasional kita perlihara keamanannya. Repelita adalah perjuangan bangsa sama kita laksanakan. Hapuskan rongrongan baik dari luar maupun dari dalam. Masyarakat adil dan makmur yang diimpikan bersama, bersatulah dalam perjuangan agar tercapai tujuan ini. Kekuatan adil dan makmur yang diimpikan bersama, bersatulah dalam perjuangan agar tercapai tujuan ini. Kekuatan harapan bangsa melalui kerja keras jeli dalam tindakan agar nyata dan tercapai cita-cita bangsa.Dengan selesainya permainan ini kami mohon diri sebab pertemuan yang begitu indah membuat kesan yang tak terlupakan. Kalung kenangan akan kutinggalkan sebagai lambang persatuan kita.Selamat tinggal wahai kawan, jangan lupa pesan pemerintah, sukseskan pembangunan di segala bidang, (baik siang dan malam).
Pertunjukan Tari Torompio
Pertunjukan tari torompio diawali dengan gerakan linggi doe atau panggilan buat para penari. Dalam linggi doe para penari akan masuk ke pentas dari dua arah. Penari pria dari arah kiri dan wanita dari kanan. Selanjutnya, mereka bertemu dalam satu barisan dan kemudian berpisah membentuk satu baris memanjang untuk melakukan gerakan penghormatan. Setelah itu, disusul dengan gerakan mantuju ada. Dalam gerakan ini penari membentuk bulatan besar kemudian bulatan kecil, dengan maksud menyampaikan pesan bahwa mereka anak-seberang akan mempertunjukkan tari torompio.
Setelah introduksi selesai, maka tarian dilanjutkan dengan gerakan masinpanca, yaitu para penari bertemu untuk mencari pasangan masing-masing sambil menyanyikan lagu yang menceritakan indahnya pertemuan tersebut. Kemudian, penari pria akan membuat gerakan-gerakan yang seakan merayu penari wanita. Gerakan ini disebut mencolodi. Dalam mencolodi ini lagu yang dibawakan syairnya menceritakan bahwa pertemuan antara penari pria dan wanita melambangkan persatuan di antara mereka.
Setelah gerakan moncoldi selesai, maka dilanjutkan dengan gerakan mompalakanamo dan mosangko lima. Pada gerakan mompalakanamo penari dalam posisi berhadapan sambil menyanyikan syair yang menceritakan pertemuan ini sangat indah, berkesan dan tak dapat dilupakan. Sedangkan, gerakan selanjutnya yaitu mosangko lima, penari pria menyematkan seuntai kalung kepada penari wanita dan diteruskan dengan berjabat tangan sebaga ungkapan eratnya persatuan. Kemudian, dilanjutkan dengan ucapan selamat tinggal yang ditandai dengan lambaian tangan. Pada masa Orde Baru, saat melambaikan tangan tersebut digunakan juga untuk menyampaikan pesan pemerintah kepada para penonton, yang berisi tentang ajakan untuk mensukseskan pembangunan di segala bidang.
3.c Kerajinan rakyat Sulawesi Tengah
            Kain tenun donggala atau atau sarung sutra donggala merupakan salah satu hasil kerajinan tradisional kabupaten donggala, Sulawesi tengah yang sudah terkenal di seluruh nusantara. Dikatakan tenun tradisional karna proses pembuatannya dilakukan secara tradisional dengan peralatan yang tradisional juga.

3.d Legenda / mitologi Sulawesi tengah, Di Sulawesi tengah terdapat suatu legenda atau cerita rakyat yang menceritakan tentang masyarakat Sulawesi tengah itu sendiri, beberapa judul cerita legendanya yaitu :
- Legenda Batu Bagga
- Asal usul pohon sagu dan palem
- Asal mula ikan duyung
- Legenda tanduk alam
- Tadulako bulili
3.e Wisata Ziarah
Makam Raja mandapar merupakan salah satu objek wisata sejarah di kota banggai, Sulawesi tengah. Raja mandapar dikenal sebagai raja banggai pertama yang dilantik pada tahun 1600 masehi oleh sultan sahid berkad syam dari kerajaan ternate dengan gelar mumbu doi godong. Raja mandapar adalah kerajaan putra dari pasangan panglima perang kesultanan ternate.

PETA SULAWESI TENGAH


4.    Sebuah Analysis
Membangun Pariwisata Kota Palu, Sulawesi Tengah
Kota Palu sebagai ibukota Propinsi Sulawesi Tengah memiliki kekayaan potensi kebudayaan dan pariwisata yang tidak kalah menarik dengan daerah lain di Indonesia. Palu, yang dikenal sebagai kota lembah secara geografis dan topografinya, merupakan kota tiga dimensi yang wilayahnya terdiri dari pesisir pantai, daratan, dan perbukitan. Inilah yang menjadi salah satu ciri khas Kota Palu, sehingga tak salah oleh sebagian turis asing yang telah berkunjung ke daerah ini menjuluki Kota Palu sebagai “ the paradise under the ecuator “ atau surga di bawah garis khatulistiwa.Kawasan obyek wisata yang dimiliki oleh Kota Palu sesuai karakter geografisnya, terdiri dari obyek wisata pantai, obyek wisata lembah / daratan dan obyek wisata perbukitan. Potensi obyek wisata pantai Teluk Palu yang memanjang dari wilayah Palu Barat, Palu Timur hingga ke Palu Utara, sangat cocok dikembangkan sebagai kawasan wisata bahari, Lembah Palu yang dibelah oleh Sungai Palu, juga tak kalah menariknya untuk dikembangkan menjadi salah satu kawasan wisata air di Sungai Palu, selain situs – situs sejarah yang dapat dikemas menjadi obyek wisata sejarah dan religi. Sebut saja misalnya, Banua Oge atau Sou Raja, Makam Dato Karama, Kompleks Perguruan Alkhairaat, Makam Pue Njidi, Dayo Mpoluku, dan sebagainya. Di wilayah perbukitan seperti Ngata Baru, Padanjese, Bangalana, dan lain – lain, dapat pula dikemas menjadi obyek wisata alam yang indah mempesona.Selain sektor pariwasata, Kota Palu juga dikenal memiliki ragam seni budaya tradisi dan kreasi yang bila ini dikemas secara baik, digelar secara rutin sesuai kebutuhannya, pun akan menjadi sebuah kekayaan kearifan lokal yang dapat meningkatkan apresiasi, kecintaan masyarakat terhadap seni budayanya, sehingga timbul rasa memiliki, menjaga dan melestarikannya, sekaligus menarik minat para wisatawan untuk mengunjungi Kota Palu. Masyarakat Kota Palu yang multi kultur, multi etnis dan multi karakter, juga menjadi salah satu daya pikat tersendiri dari Kota Palu. Di kota yang berjulukan “Bumi Tadulako” ini, berdiam berbagai etnis pendatang, selain etnis Kaili sebagai orang Palu asli. Ada etnis Bugis, Makassar, Mandar, Menado, Sangir, Banjar, Jawa, Sunda, Bali, Padang, dan berbagai etnis lainnya, mereka hidup secara berdampingan, saling menghargai, bersatu dalam ikatan silaturahmi antar etnis, dalam satu rasa “penduduk Palu”. Ini yang mungkin tidak dimiliki oleh daerah lain di Indonesia.Inilah modal besar yang dimiliki oleh Kota Palu untuk membangun sektor kebudayaan dan pariwisata sebagai asset daerah. Membangun kebudayaan dan pariwisata boleh dikatakan gampang – gampang susah. Karena intinya adalah “membangun karakter untuk menciptakan daya pikat”. Namun demikian, tak ada yang tidak bisa dilakukan, bila didukung oleh kemauan yang kuat serta finansial yang memadai.Membangun kebudayaan dan pariwisata, sama dengan ketika kita menjual sebuah produk. Produk yang kita jual bukanlah barang instan, tetapi kita buat sendiri, dengan bahan kita sendiri, lalu kita racik sedemikian rupa tanpa meninggalkan taste / rasa dan aroma orisinilnya. Bila metode itu kita gunakan, yakin dan pasti banyak pembeli produk kita. Karena jelas produk itu tidak mungkin ada di daerah lain.Pembangunan sektor kebudayaan dan pariwisata tidak bisa hanya dilakukan dengan sebuah konsep di belakang meja. Perlu action, gerakan nyata yang tidak gegabah, ber-andai-andai, spekulasi tanpa perhitungan, apalagi kalau kita menghayal “bagaimana kalau kita seperti Bali? Coba kalau kita bisa seperti Jogja? Pada akhirnya waktu kita hanya habis kita gunakan untuk menghayal. Biarlah Bali dengan kemasyhurannya, itulah anugerah Tuhan bagi mereka, karena memang mereka terlebih dahulu bangun dari tidurnya. Jangan kita berkiblat pada Jogja, karena karakter dan tingginya budaya Jawa telah mereka miliki sejak zaman Kerajaan Mataram. Palu adalah diri kita sendiri, karakter kita sendiri, keunikan yang kita miliki sendiri, eksotika itu tidak mungkin orang lain dapatkan di Tanah Toraja, Tepian Danau Toba, Bukitinggi, dan lain-lain, adanya hanya di Kota Palu.Kalau boleh kita jujur, ketika kita ditanya oleh orang lain tentang budaya dan pariwisata yang menjadi icon, ciri khas daerah kita, wajah ini seolah kita balikkan ke belakang untuk menjawabnya malu – malu. Apa yang akan kita andalkan? Apa salah satu yang kita sebutkan ketika orang lain bertanya? Sudah benarkah jawaban kita? Sesuai fakta-kah cerita kita? Ketika kita pulang melancong dari negeri orang, dari penganan kecil sampai cerita perjalanan, bila kita tulis mungkin akan menjadi sebuah buku “wisataku”. Ketika sampai di Palu, seorang kawan bertanya pada kita, “darimana lama tidak kelihatan?” singkat kita menjawab “dari Bali”, lalu kawan kita pasti bertanya “ sempat jalan – jalan ke Kuta?”….. “bapak dari Jogja rupanya, pasti belanja di Malioboro”, seterusnya dan selanjutnya, begitulah kisah sederhananya. Lalu, saya tidak perlu bertanya “baru pulang dari Palu ya? Kemudian bingung untuk mengajukan pertanyaan selanjutnya?.Membangun pariwisata dan kebudayaan, kita jangan “maruk” kata orang Jawa, “nangoa” kata orang Kaili, “serakah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Memang semua menjadi skala prioritas, tetapi langkah yang tepat, satu per satu, taktis, strategis dan tepat sasaran, itu yang teramat penting.Daerah lain saat ini sedang berlomba – lomba untuk menjadi DTW ( Daerah Tujuan Wisata ) di Indonesia atau yang lebih umum dikenal sebagai daerah destinasi, menciptakan Sadar Wisata dalam masyarakat untuk mewujudkan Sapta Pesona. Apakah Kota Palu tidak bergairah untuk itu? Atau cukup saja mempesona bagi masyarakatnya sendiri?Tak perlu kita saling menyalahkan apalagi saling mengkritisi tanpa solusi yang sederhana untuk pemecahan masalah ini. Benang merah itu masih membentang, perlahan tapi pasti, putuskan benang merah itu agar terbuka pandangan kita bersama, tergerak hati kita bersama, tekad bersama untuk membangun kebudayaan dan pariwisata Kota Palu yang kita banggakan ini.Jangan pernah ada kata “itu tugasnya pemerintah”. Sekali kita mengeluarkan kata seperti itu, berarti kita-lah yang “tukang perintah” dan sudah pasti tidak mau menerima perintah. Perintah membangun kebudayaaan dan pariwisata sebagai karakter bangsa, bukan dari seorang pemimpin, tapi yang memerintah dan menjadi pimpinan adalah diri kita sendiri. Pertanyaan sederhana, suka-kah kita dengan musik tradisi “Kakula”? Atau ketika musik itu dibunyikan, kita malah berlalu sambil berceloteh “aahh…ribut! Itu kuno! Orang tua dulu punya!” dan sebagainya.Keberhasilan pembangunan kebudayaan dan pariwisata adalah menjadi tanggung jawab kita bersama. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan pembangunan kebudayaan dan pariwisata, jangan bekerja sendiri karena merasa sebagai penyusun program, kuasa pengguna anggaran, penanggung jawab anggaran, dan lain-lain jabatan birokrasi yang diembannya. Para seniman dan budayawan, organisasi kesenian, juga jangan merasa hebat sendiri, karena secara teknis merasa lebih pintar bagaimana mengemas karya, bagaimana me-manage pertunjukan, yang pada akhirnya kehidupan seni budaya itu stagnan, berjalan di tempat, monoton, dan penontonnya itu-itu saja.Secepatnya mari kita hilangkan paradigma dan tradisi lama kita membangun seni budaya. Jangan berkesenian karena kedekatan dengan “yang di atas”, berkarya karena pesanan, mencipta karena ada hajatan “bos”, berlatih karena ada lomba, festival, pertunjukan di Jakarta, tour ke Bali, dan sebagainya, tetapi terus meneruslah mengolah cipta.agar terwujud “Maliu Ntinuvu” ( Hidup sejahtera berkesinambungan).Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palu, Dewan Kesenian Palu sebagai mitra pemerintah (bukan pelaku kesenian, tetapi lembaga aspirasi organisasi kesenian ke pemerintah), para stakeholder, serta para pelaku seni, seniman dan budayawan, itulah yang mulai saat ini harus se-arah pandang dan tekad untuk mewujudkan keberhasilan pembangunan kebudayaan dan pariwisata Kota Palu. Melibatkan pihak ketiga / investor, para pakar sesuai bidangnya, juga salah satu strategi yang tidak boleh dipandang sebelah mata, apalagi kalau sudah mengedepankan perhitungan – perhitungan fee persen pekerjaan, Pasti duluan fee-nya daripada wujud infrastruktur pendukung wisata budaya yang dibangun.Sekali lagi, mungkin sulit untuk menyamakan persepsi dari berbagai karakter? Tetapi itulah tantangan untuk kemajuan, karena pariwisata dan budaya memiliki karakter yang berbeda – beda sebagi ciri dan keunikannya.Semoga berhasil atas bimbingan dan ridha dari Tuhan Yang Maha Esa. Amiinnn…
5.    PENUTUP
Propinsi Sulawesi Tengah memiliki kekayaan budaya yang telah diwariskan secara turun temurun. Tradisi yang menyangkut aspek kehidupan dipelihara dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kepercayaan lama adalah warisan budaya yang tetap terpelihara dan dilakukan dalam beberapa bentuk dengan berbagai pengaruh modern serta pengaruh agama.Karena banyak kelompok etnis mendiami Sulawesi Tengah, maka terdapat pula banyak perbedaan di antara etnis tersebut yang merupakan kekhasan yang harmonis dalam masyarakat. Mereka yang tinggal di pantai bagian barat kabupaten Donggala telah bercampur dengan masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan dan masyarakat Gorontalo. Di bagian timur pulau Sulawesi, juga terdapat pengaruh kuat Gorontalo dan Manado, terlihat dari dialek daerah Luwuk, dan sebaran suku Gorontalo di kecamatan Bualemo yang cukup dominan. Kabupaten Donggala memiliki tradisi menenun kain yang diduga merupakan warisan zaman Hindu. Pusat-pusat penenunan terdapat di Banawa, Banawa Tengah dan Banawa Selatan serta Labuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar