Minggu, 09 Januari 2011

POTENSI WISATA BUDAYA SUMATRA SELATAN


Potensi wisata Budaya Sumatra Selatan

1.    Pendahuluan
Sumatera Selatan adalah salah satu provinsi Indonesia yang terletak di bagian selatan Pulau Sumatera. Provinsi ini beribukota di Palembang. Secara geografis provinsi Sumatera Selatan berbatasan dengan provinsi Jambi di utara, provinsi Kep. Bangka-Belitung di timur, provinsi Lampung di selatan dan Provinsi Bengkulu di barat. Provinsi ini kaya akan sumber daya alam, seperti minyak bumi, gas alam dan batu bara. Selain itu ibu kota provinsi Sumatera Selatan, Palembang, telah terkenal sejak dahulu karena sempat menjadi ibu kota dari Kerajaan Sriwijaya.
Di samping itu, provinsi ini banyak memiliki tujuan wisata yang menarik untuk dikunjungi seperti Sungai Musi, Jembatan Ampera, Pulau Kemaro, Danau Ranau, Kota Pagaralam dan lain-lain. Karena sejak dahulu telah menjadi pusat perdagangan, secara tidak langsung ikut mempengaruhi kebudayaan masyarakatnya. Makanan khas dari provinsi ini sangat beragam seperti pempek, model, tekwan, pindang patin, pindang tulang, sambal jokjok, berengkes dan tempoyak.
Sejarah
Provinsi Sumatera Selatan sejak berabad yang lalu dikenal juga dengan sebutan Bumi Sriwijaya; pada abad ke-7 hingga abad ke-12 Masehi wilayah ini merupakan pusat kerajaan Sriwijaya yang juga terkenal dengan kerajaan maritim terbesar dan terkuat di Nusantara. Gaung dan pengaruhnya bahkan sampai ke Madagaskar di Benua Afrika.
Sejak abad ke-13 sampai abad ke-14, wilayah ini berada di bawah kekuasaan Majapahit. Selanjutnya wilayah ini pernah menjadi daerah tak bertuan dan bersarangnya bajak laut dari Mancanegara terutama dari negeri China.
Pada awal abad ke-15 berdirilah Kesultanan Palembang yang berkuasa sampai datangnya Kolonialisme Barat, lalu disusul oleh Jepang. Ketika masih berjaya, kerajaan Sriwijaya juga menjadikan Palembang sebagai Kota Kerajaan.
Menurut Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan pada 1926 menyebutkan, pemukiman yang bernama Sriwijaya itu didirikan pada tanggal 17 Juni 683 Masehi. Tanggal tersebut kemudian menjadi hari jadi Kota Palembang yang diperingati setiap tahunnya.





2.    SITUS-SITUS SEJARAH

2.a Situs Eksitu
            Nama Sultan Mahmud Badaruddin II diabadikan menjadi nama museum untuk mengingat dan menghargai jasanya bagi kota Palembang. Museum ini berdiri di atas bangunan Benteng Koto Lama yang disebut juga Kuto Tengkurokato Kuto Batu. Dulu benteng ini pernah habis dibakar oleh Belanda. Kemudian di atasnya dibangun gedung tempat tinggal Residen Belanda, sebelum akhirnya menjadi museum.
Bangunan ini pernah digunakan untuk berbagai kepentingan. Pada zaman Jepang (1942-1945) gedung ini dipakai sebagai markas Jepang. Setelah proklamasi dijadikan Teritorium II Kodam Sriwijaya, kemudian ditempati oleh Resimen Induk IV Sriwijaya yang kemudian berpindah pengelolaannya pada Pemerintah Kota Palembang.

KOLEKSI
Koleksi museum berjumlah 368 buah, berupa koleksi arkeologi, etnografi, biologi, keramik, senirupa, dan numismatik.

ALAMAT
Jalan Sultan Mahmud Badaruddin II No. 2,
Kelurahan 19 Ilir, Kecamatan Ilir Barat I,
Palembang, Sumatera Selatan
Telepon 0711-358450
Faks. 0711-352573

JAM KUNJUNG
Senin – Kamis: 08.00 – 16.00 WIB
Jumat: 08.00 – 11.30
Sabtu dan Minggu: 09.00 – 16.00
Hari libur nasional: Tutup

KARCIS MASUK
Rp 1.000




2.b Situs Insitu
            Kuto Besak adalah bangunan keraton yang pada abad XVIII menjadi pusat Kesultanan Palembang. Gagasan mendirikan Benteng Kuto Besak diprakarsai oleh Sultan Mahmud Badaruddin I yang memerintah pada tahun 1724-1758 dan pelaksanaan pembangunannya diselesaikan oleh penerusnya yaitu Sultan Mahmud Bahauddin yang memerintah pada tahun 1776-1803. Sultan Mahmud Bahauddin ini adalah seorang tokoh kesultanan Palembang Darussalam yang realistis dan praktis dalam perdagangan internasional, serta seorang agamawan yang menjadikan Palembang sebagai pusat sastra agama di Nusantara. Menandai perannya sebagai sultan, ia pindah dari Keraton Kuto Lamo ke Kuto Besak. Belanda menyebut Kuto Besak sebagai nieuwe keraton alias keraton baru.
            Benteng ini mulai dibangun pada tahun 1780 dengan arsitek yang tidak diketahui dengan pasti dan pelaksanaan pengawasan pekerjaan dipercayakan pada seorang Tionghoa. Semen perekat bata menggunakan batu kapur yang ada di daerah pedalaman Sungai Ogan ditambah dengan putih telur. Waktu yang dipergunakan untuk membangun Kuto Besak ini kurang lebih 17 tahun. Keraton ini ditempati secara resmi pada hari Senin pada tanggal 21 Februari 1797.
            Berbeda dengan letak keraton lama yang berlokasi di daerah pedalaman, keraton baru berdiri di posisi yang sangat terbuka, strategis, dan sekaligus sangat indah. Posisinya menghadap ke Sungai Musi.
            Pada masa itu, Kota Palembang masih dikelilingi oleh anak-anak sungai yang membelah wilayah kota menjadi pulau-pulau. Kuto Besak pun seolah berdiri di atas pulau karena dibatasi oleh Sungai Sekanak di bagian barat, Sungai Tengkuruk di bagian timur, dan Sungai Kapuran di bagian utara. Benteng Kuto Besak saat ini ditempati oleh Komando Daerah Militer (Kodam) Sriwijaya.
            Pembangunan dan penataan kawasan di sekitar Plaza Benteng Kuto Besak diproyeksikan akan menjadi tempat hiburan terbuka yang menjual pesona Musi dan bangunan-bangunan bersejarah. Jika dilihat dari daerah Seberang Ulu atau Jembatan Ampera, pemandangan yang tampak adalah pelataran luas dengan latar belakang deretan pohon palem di halaman Benteng Kuto Besak, dan menara air di Kantor Wali Kota Palembang.
            Di kala malam hari, suasana akan terasa lebih dramatis. Cahaya dari deretan lampu-lampu taman menciptakan refleksi warna kuning pada permukaan sungai.Pemkot Palembang memiliki sejumlah rencana pengembangan untuk mendukung Plaza Benteng Kuto Besak sebagai obyek wisata.
Bukit Siguntang
            KAWASAN Bukit Siguntang, Palembang, dilihat kasatmata tak tampak seperti sebuah situs penting. Di sana tak berdiri patung, candi, atau arca yang menandakan tempat itu penting, terkecuali sejumlah makam (konon) raja-raja Sriwijaya yang dikeramatkan. Tetapi, siapa sangka, tempat ini pernah dan masih menyita perhatian publik dunia. Bahkan, Duta Besar Yunani untuk Indonesia Charambos Christopoulus, medio 2008 menginjakkan kaki ke tempat ini seusai mendengar kabar Bukit Siguntang adalah tempat Alexander The Great dimakamkan.
            Dalam cerita rakyat Melayu, kisah hidup Raja Macedonia ini adalah hikayat Raja Iskandar Zulkarnain atau sering disebut Pangeran Sigentar Alam oleh warga setempat. Meskipun para arkeolog tak menemukan kaitan sejarah di antara kedua kisah ini, Dubes Yunani Charambos telanjur menganggap penting situs yang terletak di ketinggian 26 meter di atas permukaan laut (tertinggi di Palembang) ini.
            Bukan hanya Yunani, banyak negara menganggap Siguntang sebagai situs yang sangat penting. Bukit Siguntang menjadi salah satu pusat ziarah umat Buddha yang tak kalah penting dari Borobodur sekalipun. ”Pengunjung dari luar, seperti Tibet, Singapura, dan Thailand, kerap datang dan bersembahyang di sini,” tutur Sulaeman (30), juru kunci Bukit Siguntang, akhir pekan lalu.
            Bahkan, tokoh pemuka agama dari Tibet, Rinphoche, pernah mengunjungi tempat ini. Pada abad ke-9, tempat ini merupakan pusat belajar agama para pendeta Buddha. Di zaman Sriwijaya ini, pendeta-pendeta dari wilayah Asia berguru kepada Maha Guru Suvarnadvipa Dharmakirti.
Di tempat ini pula banyak ditemukan peninggalan sejarah yang penting macam arca Buddha Sakyamuni berukuran besar yang mengenakan jubah. Arca ini kini disimpan di Museum Badaruddin II, Palembang. Sebelumnya, tubuh badan dan kepala arca ini terpisah.
BATU MEGALIT
            Batu megalit baru bertuliskan huruf palawan berukuran 2×3 meter ditemukan di hutan Dusun Talangkubangan, Kelurahan Kancediwe, Kecamatan Dempo Selatan, Kota Pagaralam, Sumatera Selatan (Sulsel), Sabtu (6/11).
            Lokasi penemuan megalit ini di perbatasan tiga wilayah yaitu Kota Pagaralam, Kabupaten Muaraenim dan Lahat. Batu megalit ini mirip dengan prasasti dan terlihat seperti perkempungan yang sudah lama tidak ditempati lagi.
            Selain masih banyak tanaman seperti hiasan halaman rumah berupa bambu kuning kecil dan kondisinya masih tertata rapi, batu megalit ini juga berada di kawasan sumber panas bumi yang memiliki luas sekitar 3-4 hektare.
            “Ada dua batu bertulis huruf palawa tinggi 2 meter dan lebar 3 meter dengan kondisi tegak seperti bangunan rumah yang kami temukan di daerah Bukit Ghanggas atau Lengkenai Bughul di perbatasan tiga daerah,” kata Irwan (27).
            Warga desa Talangkubangan itu menyatakan, anehnya di sekitar batu megalit itu terdapat sejumlah tanaman hias seperti bambu kuning ukuran kecil dan penanamannya tertata rapi berjejer,.
            Kalau dilihat dari keadaan sekitar batu megalit itu belum pernah didatangi orang baik pencari hewan buruan maupun dan burung hutan. Kondisi batu itu masih utuh tegak lurus dan dipermukaannya banyak tulisan manusia zaman purba.
            “Kami tidak tahu apa arti tulisan di batu megalit itu. Batu itu diperkirakan sudah berumur ribuan tahun,” katanya.
            Jarak lokasi kalau dari Pagaralam harus menempuh perjalanan sekitar dua-tiga hari berjalan kaki. Namun kalau dari daerah Muaraenim sekitar dua hari melewati sungai, jurang, bukit termasuk hutan rimba.
Kursi batu
Warga Dusun Rimbacandi, Kelurahan Candi Jaya, Kecamatan Dempo Tengah, Kota Pagaralam, Sumatera Selatan, Jumat menemukan megalit kursi batu diperkirakan berumur ribuan tahun diperkebunan kopi milik Sadain.
             Di lokasi penemuan itu, kursi batu tersebut terdapat lempengan batu-batu dengan berbagai bentuk. Megalit ini juga dibuat seperti kursi pengantin dengan memanjang tapi posisinya sudah sedikit berubah akibat geseran air. Kemudian kursi batu juga terdapat mata air jernih yang keluar dari celah-celah batu-batu masih terkubur didalam tanah.
              Sementara itu lokasi penemuan situs ini juga berjarak tiga kilometer (km) dari Dusun Rimbacandi atau 1,5 jam berjalan kaki menelusuri jalan tanah dan berjarak sekitar 25 km dari pusatKotaPagaralam.

             "Penemuan kursi batu yang berada di areal perkebunan kopi dan berjarak sekitar empat km dari sekitar hutan lindung Rimbacandi. Kursi batu ini ukurannya sekitar 1 m x 1,5 meter dengan tinggi sekitar satu meter. Memang warga menyebutnya ada kursi batu dan yang lainnya mengatakan batu pelancur, "kata pemilik kebun setempat, Sadain.

Menurut dia, sebetulnya kursi ini sudah sering didatangi orang mengingat lokasinya berada sekitar perkebunan kopi dan tempat warga lain yang melintas ke kebun lainnya.

"Meskipun ada warga yang datang tapi karena dianggap keramat sehingga tidak satupun batu tersebut hilang atau bergeser, kecuali gejala alam. Warga sekitar juga takut merusak batu-batu tersebut karena sering ada kejadian bila bebatuan itu dipindah atau di rusak," kata dia.

Dia mengatakan, pernah datang ke lokasi kursi ini orang untuk melakukan pemeriksaan atau penelitian tapi belum ada tindak lanjutnya. Apa kursi ini sengaja dibuat tangan manusia purba atau hanya berupa gejala alam.

Sementara itu dari Balai Arkeologi Palembang  Kristantina Indriastuti, mengatakan penemuan itu perlu ada tindak lanjutnya untuk membuktikan apa sebenarnya bangunan dan bebatuan tersebut.

Namun untuk memastikan zaman apa dan jenis situs itu perlu dilakukan penelitian lagi termasuk jenis batu lain yang berada di sekitar batu kursi itu. Tapi kalau melihat dari bentuk tentunya megalit itu sudah berumur ribuan tahun.

2.c Kota Tua
            Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin II atau biasa disebut Masjid Agung Palembang adalah sebuah masjid paling besar di Kota Palembang, Sumatera Selatan.
            Masjid ini dipengaruhi oleh 3 arsitektur yakni Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam arsitek moderen oleh Masjid Raya Baiturrahman, Masjid Raya Medan, Masjid Raya Binjai, Masjid Raya Pemantang Siantar dan Rantau Parapat dan Masjid Raya Silboga, Tanjung Balai dan Tebing Tinggi. Bentuk arsitektur Eropa terlihat dari pintu masuk di gedung baru masjid yang besar dan tinggi. Sedangkan arsitektur China dilihat dari masjid utama yang atapnya seperti kelenteng. Masjid ini dulunya adalah masjid terbesar di Indonesia selama beberapa tahun. Bentuk masjid yang ada sekarang adalah hasil renovasi pertama kali sejak pada tanggal 1 Januari 1100 dan selesai diresmikan pembukaan pertama kali sejak pada tanggal 1 Januari 1200 diresmikan oleh bangsa Belanda dikepalai oleh Jan Pieterszoon Coen dari Batavia dari negara Hindia Belanda adalah orang yang meresmikan masjid raksasa Sumatera Selatan modern ini.
Selain digunakan sebagai aktivitas ibadah umat Islam, masjid ini juga digunakan sebagai kantor Majelis Ulama Indonesia, aktivitas sosial, dan kegiatan umum. Masjid ini juga menjadi salah satu daya tarik wisata yang terkenal di Jakarta. Kebanyakan wisatawan yang berkunjung umumnya wisatawan domestik, dan sebagian wisatawan asing yang beragama Islam. Tidak diketahui apakah umat non-Islam dapat berkunjung ke masjid ini.

2.d Desa tradisional

   Kampung Kapitan
            Di 7 Ulu Palembang terdapat kampung Kapitan, sebenarnya kampung ini terdiri dari rumah-rumah zaman dulu yang sekarang dimanfaatkan untuk kunjungan wisata, sebenarnya rumah-rumah ini ada yang menghuninya diantaranya rumah yang ada di poto ini di tunggu oleh keturunan Tionghoa, halaman depan rumah ini sudah dibangun taman yang cukup indah dengan tiang-tiang yang diatasnya diberi lampu penerang yang jumlahnya cukup banyak (aku ngak ngitung) dan ada juga panggung yang juga telah disiapkan, entah untuk Dulmuluk atau pentas seni lainnya. Sayangnya pelayanan di tempat itu belum dikelola secara baik terutama tutur kata dari orang-orang sekitar. Sepertinya masih kurang enak di dengar. Semoga dengan adanya Visit Musi nanti akan di jaga oleh teman-teman yang sudah dilatih baik. Ohya kalau ingin menuju ke tempat ini sebenarnya sangat mudah, kalau anda sudah ada di turap (pelataran) samping sungai musi arah seberang ulu, anda tinggal berjalan kaki sambil menikmati pantai Musi. Kalau dari BKB cukup menyeberang pakai ketek Rp. 2000 dan menuju arah kampung ini. Sebuah lorong yang sudah ditata rapi tinggal anda lewati sampai menuju kampung ini.

Sejak zaman Sriwijaya, Sungai Musi telah menjadi urat nadi pertumbuhan Kota Palembang dan sekitarnya di Sumatera Selatan. Semua bangunan dari beberapa peradaban tumbuh dan hilang di sisi kanan-kiri sungai ini. Namun jika menyusurinya, kita masih akan menemukan banyak bangunan indah yang menyimpan beribu penggalan sejarah Palembang, seperti Kampung Kapitan.
Kampung Kapitan merupakan kelompok 15 bangunan rumah panggung ala China yang terletak di Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu 1, Palembang. Kampung itu, pada awalnya, merupakan tempat tinggal seorang perwira keturunan China berpangkat kapitan (sekarang disebut kapten) yang bekerja untuk Pemerintah Kolonial Belanda.
Pada masa itu, seorang kapitan bertugas untuk memungut pajak dari masyarakat China dan masyarakat pribumi yang berada di wilayah Seberang Ulu Palembang. Kapitan juga bertugas untuk menjaga keamanan wilayah dan mengatur tata niaga candu di wilayah terbatas.
Bangunan inti di Kampung Kapitan terdiri atas tiga rumah, merupakan bangunan yang paling besar dan menghadap ke arah Sungai Musi. Rumah di tengah merupakan rumah yang lebih sering difungsikan untuk menyelenggarakan pesta dan pertemuan-pertemuan dengan banyak orang. Sementara kedua rumah di sisi timur dan barat lebih banyak difungsikan sebagai rumah tinggal.
Keluarga besar
Rumah-rumah lain dibangun oleh kapitan untuk menampung keluarga besarnya. Rumah-rumah itu membentuk persegi panjang, dengan sebuah ruang terbuka di tengahnya. Ruang terbuka dahulu kala dibentuk menjadi taman yang indah, tetapi kini dibiarkan ditumbuhi rumput dan tidak terawat.
Dari arah darat hanya ada satu jalan masuk ke Kampung Kapitan, yang berjarak sekitar 800 meter dari bawah Jembatan Ampera. Di jalan masuk terdapat dua gerbang yang daun pintunya hilang.
Menurut budayawan dan sejarawan Palembang, Djohan Hanafiah, munculnya Kampung Kapitan berkaitan dengan runtuhnya Kerajaan Sriwijaya pada abad XI dan munculnya Dinasti Ming di China pada abad XIV. Saat itu, Dinasti Ming membatasi jumlah pedagang China yang akan berdagang ke arah selatan (Kepulauan Nusantara), dengan membentuk semacam lembaga dagang negara.
Lembaga dagang itu menjadikan Palembang sebagai salah satu basis dagang yang besar. Sebagai kota perniagaan, banyak orang China yang datang dan menetap di Palembang. Sebagian dari mereka berinteraksi dan menikah dengan gadis Palembang yang beragama Islam.
Salah satu kepala kantor dagang China yang terkenal saat itu, kata Djohan, adalah Liang Taow Ming. Liang mampu mengikat persatuan yang kuat antarmasyarakat China sehingga mereka menjadi komunitas yang kuat dan cukup diperhitungkan Pemerintah Kolonial Belanda.
Ketika kekuasaan kolonial menjadi lebih kuat atas Kesultanan Palembang Darussalam, Belanda mulai mengangkat perwira China untuk mengatur wilayah 7 Ulu dan sekitarnya. Perwira tersebut semula bertugas mengatur komunitas China saja. Akan tetapi, seiring makin kuatnya Belanda, perwira China juga mulai memegang kendali atas masyarakat pribumi.
Menurut Tjoa Kok Lim alias Kohar (72), cucu kapitan terakhir, Tjoa Ham Hin, dua perwira China pertama berpangkat mayor. Mereka dikenal sebagai Mayor Tumenggung dan Mayor Putih. Nama asli keduanya sulit untuk dilacak kembali, tetapi mereka berasal dari marga Tjoa.
Kepangkatan dan wewenang itu diwariskan kepada keturunan berikutnya, tetapi pangkatnya turun menjadi kapitan. Tiga rumah inti dan perkampungan itu diwariskan kepada pemegang pangkat kapitan secara turun-temurun sehingga kampung itu disebut Kampung Kapitan.
Di Kampung Kapitan terdapat satu klenteng yang besar, sebagai pusat peribadatan masyarakat keturunan China di kawasan Seberang Ulu. Namun, klenteng itu terbakar habis dan kemudian dibangun ulang di kawasan 10 Ulu pada tahun 1733, lima tahun sebelum pembangunan Masjid Agung Palembang selesai.

Interaksi sosial
Muhammad Saleh alias Ujang (74), tetua di Kampung Kapitan, menuturkan, interaksi antara masyarakat keturunan China dan masyarakat pribumi berlangsung dengan baik. Banyak warga keturunan China, terutama dari keluarga besar kapitan, yang menikah dengan pribumi.
Dalam melaksanakan tugasnya untuk menarik pajak dan menjaga keamanan, kapitan juga bekerja sama dengan para demang (setingkat lurah) yang merupakan penduduk pribumi. Mayoritas pegawai kapitan juga berasal dari masyarakat pribumi dan mereka membangun rumah kecil yang menempel di sisi rumah utama.
Meskipun hubungan kapitan dan pegawainya adalah atasan dan bawahan, kata Ujang, Kapitan Tjoa Ham Hin sering berlaku seperti tetangga kepada para pegawainya. Mereka saling membantu. Kerukunan antara masyarakat pribumi dan keluarga kapitan terlihat dalam berbagai upacara hari besar keagamaan.
Berdasarkan pengalamannya semasa kecil dan penuturan orangtuanya, kata Ujang, kapitan Tjoa Ham Hin pernah mengadakan pesta untuk merayakan peringatan hari besar seperti Idul Fitri dan peringatan hari raya masyarakat China. Pesta yang diselenggarakan di rumah bagian tengah itu menggunakan alat musik campuran, antara alat musik Eropa, China, dan Palembang.
Dalam pesta itu, peralatan makan dan memasak yang digunakan untuk orang keturunan China dan pribumi dibedakan. Pembedaan dilakukan karena banyak masakan China yang mengandung daging babi dan arak, jenis makanan dan minuman yang diharamkan masyarakat Muslim.
Masa kini
Kini, keanggunan Kampung Kapitan sudah nyaris hilang. Hanya bangunan-bangunan kuno yang masih tegak berdiri, meskipun banyak kerusakan kecil di berbagai sudut.
Selain itu, bagian bangunan yang terbuat dari kayu juga tampak kusam dimakan usia. Namun, dinding kayu tidak rusak karena terbuat dari kayu unglen yang mampu bertahan selama ratusan tahun.
Di dalam rumah, meja abu dan altar sembahyang yang dihiasi patung beberapa dewa, juga terlihat berdebu dan dikotori sarang laba-laba. Hampir tidak ada lagi meja kursi atau lemari yang dapat menggambarkan situasi masa lalu. Hanya ada beberapa foto kapitan masih terpampang di ruang tamu rumah sebelah timur.
Taman bagian tengah kampung juga sudah berubah menjadi tanah lapang yang tidak terurus. Dua patung singa, lambang rumah perwira China, yang dulu pernah menghiasi bagian depan rumah inti juga hilang.
Menurut Tjoa Kok Lim, Kampung Kapitan menjadi tidak terurus dengan baik setelah ditinggalkan para keturunan kapitan. Tjoa Kok Lim menjaga rumah itu karena keempat saudara perempuannya mengikuti suami mereka ke luar Palembang.
Pudarnya ketenaran Kampung Kapitan juga membuat anak-anak Tjoa Kok Lim memilih bekerja di Jakarta dan Lampung. Ia kini hanya ditemani seorang anak perempuan untuk menjaga kedua rumah inti, setelah rumah ketiga dijual kepada orang lain. Rumah-rumah kecil di Kampung Kapitan juga sudah dikuasai para penghuninya, dan tidak lagi dalam kepemilikan keluarga kapitan Tjoa Ham Hin.
Tjoa Kok Lim mengatakan, mereka tidak akan menjual dua rumah yang tersisa karena ayahnya, Tjoa Hendrik, pernah berpesan agar kedua rumah itu tidak jatuh ke orang lain. Kok Lim mengharapkan, jika dia dipanggil Tuhan, kelak Pemerintah Kota Palembang menata ulang kampung itu menjadi kawasan wisata sejar
Kampung Arab
Lokasi : Kawasan 13 Ulu, Tepian Sungai Musi

            Kampung Arab yang terletak di kawasan 13 Ulu ini memiliki kekhasan seperti halnya perkampungan tua di tepian sungai. Kampung Al Munawar terletak di tepian Sungai Musi dan Sungai Ketemenggungan. Di kompleks ini, terdapat paling kurang delapan rumah yang usianya diperkirakan lebih dari satu abad.

Salah satunya, rumah pemukim Arab pertama di Kampung 13 Ulu, Habib Abdurrahman Al Munawar. Keseluruhan rumah berkonstruksi panggung. Sebagian, tetap berbentuk panggung, menggunakan bahan kayu unglen atau sebagian kayu unglen dan sebagian batu. Sebagian lagi, menggunakan bahan batu secara keseluruhan.

Sebagian dari rumah itu berarsitektur limas, seperti rumah Habib Absurrahman dan sebagian lagi telah mendapat sentuhan Timur Tengah dan Eropa. Ini juga terlihat dari bentuk tangga, baik tangga di luar rumah maupun di dalam. Tangga ini dibuat sedemikian rupa. Ada rumah yang tangganya berukir biasa, menyerupai bentuk kotak dengan sayatan pada empat sisi di atasnya.

Ada pula tangga yang puncak pegangan tangganya diukir sedemikian rupa. Sehingga, bentuknya sekilas menyerupai limas, sekilas dapat menyerupai bentuk puncak menara masjid bergaya Turki. Demikian pula dengan bentuk terali pembentuk pagar di rumah berlantai dua. Jika diamati, besi serupa ini juga terdapat sebagai penyanggah atap tampaknya merupakan besi cetakan. Aksesori yang tampak antik dan anggun adalah engsel jendelanya.
Bentuk engsel berbahan kuningan ini menyerupai burung elang ketika jendela dalam posisi tertutup. Sebagian rumah tua di kampung itu bahkan telah menggunakan batu marmer sebagai lantai. Bahkan, marmer ini tidak hanya dipasang di lantai rumah berukuran sekitar 20 x 30 meter itu saja. Marmer konon khusus didatagkan dari Italia berbentuk bujur sangkar 50 x 50 cm itu dipasang hingga ke teras.

Di kampung ini, juga terdapat rumah Kapten Arab. Seperti halnya sukubangsa Cina dan India, pada tahun 1825, Pemerintah Belanda di Palembang melakukan pendekatan. Dari tiap sukubangsa itu, diangkatlah pemimpin kaum dengan pangkat Kapten.Tidak jelas siapa Kapten Arab pertama. Yang jelas, Kapten terakhir wafat tahun 1970 adalah Ahmad Al Munawar. Sapaan keseharian tokoh ini adalah Ayip Kecik.




Kampong megalit

Lahat, - Kampung megalit ditemukan di Desa Gunung Megang, Kecamatan Pajarbulan, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, terdapat sebanyak 20 batu jenis situs di atas lahan sekitar satu hektare.
Diokasi megalit ini berada di tengah persawahan yang berjarak sekitar 500 meter dari Desa Gunung Megang. Posisi benda bersejarah yang diperkirakan sudah berumur ribuan tahun ini terpencar dan berada di atas lahan seluas satu hektare.
Di antara salah satu situs terdapat di Kampung Megalit yang ditemukan sejak beberapa bulan lalu itu, adalah arca manusia menungang gajah, megalit gajah, arca putri, lesung batu, lumpang batu, dolmen dan puluhan peninggalan sejarah lainnya.
Meskipun hanya ditemukan di atas ladang sayur seluas satu hektare, tapi jika dilihat kondisi tempat tersebut masih banyak megalit yang berlum tergali. Berdasarkan keterangan warga setempat masih banyak situs tersebar di sekitar daerah tersebut, tapi belum ada penanganan dari pihak terkait.
Menurut pemilik lahan lokasi megalit, Yandari, lokasi sawah ini hampir sebagian besar permukaannya ditemukan bebatuan berupa megalit dan arca, baik berupa lesung batu, arca berbentuk manusia, hewan, tempat pemujaan, dolmen, dan termasuk megalit berbagai bentuk lainnya.
Ia mengatakan, belum ada upaya pembebasan lahan dari pemerintah di lokasi sejumlah penemuan megalit ini, karena semua berada di lahan sawah dan sebagian lahan ditanami sayuran.
"Dua lahan sawah itu terdapat sekitar 20 batuan termasuk megalit yang saat ini belum mendapat perhatian baik dari Dinas Pariwisata setempat, maupun dari pihak Balai Arkelogi dan BP3 Jambi," ungkap dia.
Dikatakannya, hanya di daerah ini yang sebagian besar lahannya dipenuhi jenis batu megalit, namun baru sedikit sudah dilakukan penggalian dan pemeliharaan, bahkan ada sebagian lagi hilang tertimbun tanah karena belum dipasang pembatas.
Sementara itu Petugas Kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3 Jambi) wilayah kerja Jambi, Sumsel, Bengkulu dan Babel, Akhmad Rivai, mengatakan memang sudah banyak ditemukan megalit, arca atau peninggalan bersejarah tersebar di daerah Pagaralam dan Lahat.
Hanya saja kalau untuk daerah yang paling banyak ditemukan benda bersejarah tersebut, berada di satu lokasi baru di daerah Desa Skendal dan Gunung Megang ini, katanya lagi.
"Kita sudah lakukan berbagai langkah akan segera pembebasan lahan, termasuk pemagaran lokasi situs dan menunjuk juru kunci untuk menjaga serta memelihara keberadaan berbagai peninggalan bersejarah tersebut," ungkapnya.
Namun demikian, keberada megalit yang cukup banyak hanya di satu lahan ini menandakan daerah itu dahulunya merupakan perkampungan nenek moyang terdahulu, sebab selain arca dan ada juga beberapa bangunan batu yang menjadi tempat pemujaan


3.    SITUS-SITUS BUDAYA

3.a Warisan Budaya Yang Masih Berlangsung
  Songket adalah jenis kain tenunan tradisional Melayu di Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Songket digolongkan dalam keluarga tenunan brokat. Songket ditenun dengan tangan dengan benang emas dan perak dan pada umumnya dikenakan pada acara-acara resmi. Benang logam metalik yang tertenun berlatar kain menimbulkan efek kemilau cemerlang. Kata songket berasal dari istilah sungkit dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, yang berarti "mengait" atau "mencungkil". Hal ini berkaitan dengan metode pembuatannya; mengaitkan dan mengambil sejumput kain tenun, dan kemudian menyelipkan benang emas.[1] Selain itu, menurut sementara orang, kata songket juga mungkin berasal dari kata songka, peci khas Palembang yang dipercaya pertama kalinya kebiasaan menenun dengan benang emas dimulai.[2] Isitilah menyongket berarti ‘menenun dengan benang emas dan perak’. Songket adalah kain tenun mewah yang biasanya dikenakan saat kenduri, perayaan atau pesta. Songket dapat dikenakan melilit tubuh seperti sarung, disampirkan di bahu, atau sebagai destar atau tanjak, hiasan ikat kepala. Tanjak adalah semacam topi hiasan kepala yang terbuat dari kain songket yang lazim dipakai oleh sultan dan pangeran serta bangsawan Kesultanan Melayu.[3] Menurut tradisi, kain songket hanya boleh ditenun oleh anak dara atau gadis remaja; akan tetapi kini kaum lelaki pun turut menenun songket.[2] Beberapa kain songket tradisional sumatra memiliki pola yang mengandung makna tertentu.
Songket harus melalui delapan peringkat sebelum menjadi sepotong kain dan masih ditenun secara tradisional. Karena penenun biasanya dari desa, tidak mengherankan bahwa motif-motifnya pun dipolakan dengan flora dan fauna lokal. Motif ini juga dinamai dengan kue lokal Melayu seperti seri kaya, wajik, dan tepung talam, yang diduga merupakan favorit raja.

 

Sejarah

Penenunan songket secara sejarah dikaitkan dengan kawasan permukiman dan budaya Melayu, dan menurut sementara orang teknik ini diperkenalkan oleh pedagang Arab dan India.[4] Menurut hikayat rakyat Palembang, asal mula kain songket adalah dari perdagangan zaman dahulu di antara Tiongkok dan India. Orang Tionghoa menyediakan benang sutera sedangkan orang India menyumbang benang emas dan perak; maka, jadilah songket. Kain songket ditenun pada alat tenun bingkai Melayu. Pola-pola rumit diciptakan dengan memperkenalkan benang-benang emas atau perak ekstra dengan penggunaan sehelai jarum leper. Tidak diketahui secara pasti dari manakah songket berasal, menurut tradisi Kelantan teknik tenun seperti ini berasal dari utara, yakni kawasan Kamboja dan Siam, yang kemudian berkembang ke selatan di Pattani dan akhirnya mencapai Kelantan dan Terengganu[rujukan?]. Akan tetapi menurut penenun Terengganu, justru para pedagang Indialah yang memperkenalkan teknik menenun ini pertama kali di Palembang dan Jambi, yang mungkin telah berlaku sejak zaman Sriwijaya.
Menurut tradisi Indonesia sendiri, kain songket nan keemasan dikaitkan dengan kegemilangan Sriwijaya, [5] kemaharajaan niaga maritim nan makmur lagi kaya yang bersemi pada abad ke-7 hingga ke-13 di Sumatera. Hal ini karena kenyataan bahwa pusat kerajinan songket paling mahsyur di Indonesia adalah kota Palembang. Songket adalah kain mewah yang aslinya memerlukan sejumlah emas asli untuk dijadikan benang emas, kemudian ditenun tangan menjadi kain yang cantik. Secara sejarah tambang emas di Sumatera terletak di pedalaman Jambi dan dataran tinggi Minangkabau. Meskipun benang emas ditemukan di reruntuhan situs Sriwijaya di Sumatera, bersama dengan batu mirah delima yang belum diasah, serta potongan lempeng emas, hingga kini belum ada bukti pasti bahwa penenun lokal telah menggunakan benang emas seawal tahun 600-an hingga 700-an masehi.[2] Songket mungkin dikembangkan pada kurun waktu yang kemudian di Sumatera. Songket Palembang merupakan songket terbaik di Indonesia baik diukur dari segi kualitasnya, yang berjuluk "Ratu Segala Kain". Songket eksklusif memerlukan di antara satu dan tiga bulan untuk menyelesaikannya, sedangkan songket biasa hanya memerlukan waktu sekitar 3 hari. Mulanya kaum laki-laki menggunakan songket sebagai destar, tanjak atau ikat kepala. Kemudian barulah kaum perempuan Melayu mulai memakai songket sarung dengan baju kurung.
Dokumentasi mengenai asal-usul songket masih tidak jelas, kemungkinan tenun songket mencapai semenanjung Malaya melalui perkawinan atau persekutuan antar bangsawan Melayu, karena songket yang berharga kerap kali dijadikan maskawin atau hantaran dalam suatu perkawinan. Praktik seperti ini lazim dilakukan oleh negeri-negeri Melayu untuk mengikat persekutuan strategis. Pusat kerajinan songket terletak di kerajaan yang secara politik penting karena bahan pembuatannya yang mahal; benang emas sejatinya memang terbuat dari lembaran emas murni asli.[6]
Songket sebagai busana diraja juga disebutkan dalam naskah Abdullah bin Abdul Kadir pada tahun 1849.[7]
Songket kini
Ditinjau dari bahan, cara pembuatan, dan harganya; songket semula adalah kain mewah para bangsawan yang menujukkan kemuliaan derajat dan martabat pemakainya. Akan tetapi kini songket tidak hanya dimaksudkan untuk golongan masyarakat kaya dan berada semata, karena harganya yang bervariasi; dari yang biasa dan terbilang murah, hingga yang eksklusif dengan harga yang sangat mahal. Kini dengan digunakannya benang emas sintetis maka songket pun tidak lagi luar biasa mahal seperti dahulu kala yang menggunakan emas asli. Meskipun demikian, songket kualitas terbaik tetap dihargai sebagai bentuk kesenian yang anggun dan harganya cukup mahal.
Sejak dahulu kala hingga kini, songket adalah pilihan populer untuk busana adat perkawinan Melayu, Palembang, Minangkabau, Aceh dan Bali. Kain ini sering diberikan oleh pengantin laki-laki kepada pengantin wanita sebagai salah satu hantaran persembahan perkawinan. Di masa kini, busana resmi laki-laki Melayu pun kerap mengenakan songket sebagai kain yang dililitkan di atas celana panjang atau menjadi destar, tanjak, atau ikat kepala. Sedangkan untuk kaum perempuannya songket dililitkan sebagai kain sarung yang dipadu-padankan dengan kebaya atau baju kurung. Sebagai benda seni, songket pun sering dibingkai dan dijadikan penghias ruangan. Penerapan kain songket secara modern amat beraneka ragam, mulai dari tas wanita, songkok, bahkan kantung ponsel.

3.b Aristektur Tradisional   

Rumah Limas merupakan prototype rumah tradisional Palembang, selain ditandai denagn atapnya yang berbentuk limas, rumah limas ini memiliki ciri-ciri; - Atapnya berbentuk Limas - Badan rumah berdinding papan, dengan pembagian ruangan yang telah ditetapkan (standard) bertingkat-tingkat.(Kijing) - Keseluruhan atap dan dinding serta lantai rumah bertopang di atas tiang-tiang yang tertanam di tanah - Mempunyai ornamen dan ukiran yang menampilkan kharisma dan identitas rumah tersebut Kebanyakan rumah Limas luasnya mencapai 400 sampai 1.000 meter persegi atau lebih, yang didirikan di atas tiang-tiang kayu Onglen dan untuk rangka digunakan kayu tembesu Pengaruh Islam nampak pada ornamen maupun ukiran yang terdapat pada rumah limas. Simbas (Platy Cerium Coronarium) menjadi symbol utama dalam ukiran tersebut. Filosofi tempat tertinggi adalah suci dan terhormat terdapat pada arsitektur rumah limas.
Ruang utama dianggap terhormat adalh ruang gajah (bahasa kawi= balairung) terletak ditingkat teratas dan tepat di bawah atap limas yang di topang oleh Alang Sunan dan Sako Sunan. Diruang gajah terdapat Amben (Balai/tempat Musyawarah) yang terletak tinggi dari ruang gajah (+/- 75 cm). Ruangan ini merupakan pusat dari Rumah Limas baik untuk adat, kehidupan serta dekorasi. sebagai pembatas ruang terdapat lemari yang dihiasi sehingga show/etlege dari kekayaan pemiliki rumah.
Pangkeng (bilik tidur) terdapat dinding rumah, baik dikanan maupun dikiri. Untuk memasuki bilik atau Pangkeng ini, kita harus melalui dampar (kotak) yang terletak di pintu yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan peralatan rumah tangga. Pada ruang belakang dari segala terdapat pawon (dapur) yang lantainya sama tingkat dengan lantai Gegajah tetapi tidak lagi dibawah naungan atap pisang sesisir.
Dengan bentuk ruangan dan lantai berkijing-kijing tersebut, maka rumah Limas adalah rumah secara alami mengatur keprotokolan yang rapi, tempat duduk para tamu disaat sedekah sudah ditentukan berdasarkan status tersebut di masyarakat.



3.c Seni Pertunjukan

 Dul muluk
Suatu hari, seorang pedagang keturunan Arab, Wan Bakar, membacakan syair tentang Abdul Muluk di sekitar rumahnya di Tangga Takat, 16 Ulu. Acara itu menarik minat masyarakat sehingga datang berkerumun. Agar lebih menarik, pembacaan syair kemudian disertai dengan peragaan oleh beberapa orang, ditambah iringan musik.
Pertunjukan itu mulai dikenal sebagai dul muluk pada awal abad ke-20. Pada masa penjajahan Jepang sejak tahun 1942, seni rakyat itu berkembang menjadi teater tradisi yang dipentaskan dengan panggung. Grup teater kemudian bermunculan dan dul muluk tumbuh dan digemari masyarakat.
Dalam dul muluk ada lakon, syair, lagu-lagu Melayu, dan lawakan. Lawakan, yang biasa disebut khadam, sering mengangkat dan menertawakan ironi kehidupan sehari- hari masyarakat saat itu.
Bentuk pementasan dul muluk serupa dengan lenong dari masyarakat Betawi di Jakarta. Akting di panggung dibawakan secara spontan dan menghibur. Penonton pun bisa membalas percakapan di atas panggung. Bedanya sudah pasti di bahasa yang digunakan. Kalau lenong menggunakan bahasa Betawi, dul muluk menggunakan bahasa Melayu dan bahasa Palembang.
Dul muluk biasanya dipentaskan setiap ada pesta pernikahan. Kadang kala dul muluk bisa diadakan semalam suntuk. Meski sempat kehilangan pamor, dun muluk kini kembali dilestarikan oleh generasi muda melalui pementasan di sekolah-sekolah.

Tari Gending Sriwijaya

Tarian ini digelar untuk menyambut para tamu istimewa yang bekunjung ke daerah tersebut, seperti kepala negara Republik Indonesia, menteri kabinet, kepala negara / pemerintahan negara sahabat, duta-duta besar atau yang dianggap setara dengan itu.
Untuk menyambut para tamu agung itu digelar suatu tarian tradisional yang salah satunya adalah Gending Sriwijaya, tarian ini berasal dari masa kejayaan kemaharajaan Sriwijaya di Kota Palembang yang mencerminkan sikap tuan rumah yang ramah, gembira dan bahagia, tulus dan terbuka terhadap tamu yang istimewa itu.
Tarian Gending Sriwijaya digelarkan 9 penari muda dan cantik-cantik yang berbusana Adat Aesan Gede, Selendang Mantri, paksangkong, Dodot dan Tanggai. Mereka merupakan penari inti yang dikawal dua penari lainnya membawa payung dan tombak. Sedang di belakang sekali adalah penyanyi Gending Sriwijaya. Namun saat ini peran penyanyi dan musik pengiring ini sudah lebih banyak digantikan tape recorder. Dalam bentuk aslinya musik pengiring ini terdiri dari gamelan dan gong. Sedang peran pengawal kadang-kadang ditiadakan, terutama apabila tarian itu dipertunjukkan dalam gedung atau panggung tertutup. Penari paling depan membawa tepak sebagai Sekapur Sirih untuk dipersembahkan kepada tamu istimewa yang datang, diiringi dua penari yang membawa pridon terbuat dari kuningan. Persembahan Sekapur Sirih ini menurut aslinya hanya dilakukan oleh putri raja, sultan, atau bangsawan. Pembawa pridon biasanya adalah sahabat akrab atau inang pengasuh sang putri. Demikianlah pula penari-penari lainnya.

Lirik lagu:
“Di kala ku merindukan keluhuran dulu kala
Kutembangkan nyanyian lagu Gending Sriwijaya
Dalam seni kunikmat lagu bahagia Indonesia
Kuciptakan kembali dari kandungan Sang Maha Kala
Sriwijaya dengan Asmara Agung Sang Maha Guru
Tutur sabda Dharmapala satya Khirti dharma khirti
Berkumandang dari puncaknya Siguntang Maha Meru
Menaburkan tuntunan suci Gautama Buddha sakti.”


3.d Seni Plastis
Prasasti Kedukan Bukit ditemukan oleh M. Batenburg pada tanggal 29 November 1920 di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatra Selatan, di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Prasasti ini berbentuk batu kecil berukuran 45 × 80 cm, ditulis dalam aksara Pallawa, menggunakan bahasa Melayu Kuna. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional Indonesia dengan nomor D.146.
  Dari prasasti Kedukan Bukit, didapatkan data-data sebagai berikut:
ü  Dapunta Hyang naik perahu tanggal 11 Waisaka 604 (23 April 682)
ü  Dapunta Hyang berangkat dari Minanga tanggal 7 Jesta (19 Mei) dengan membawa lebih dari 20.000 balatentara. Rombongan lalu tiba di Muka Upang.
ü  Dapunta Hyang membuat ‘wanua’ tanggal 5 Asada (16 Juni)

Prasasti Talang Tuwo ditemukan oleh Louis Constant Westenenk (residen Palembang kontemporer) pada tanggal 17 November 1920 di kaki Bukit Seguntang, dan dikenal sebagai peninggalan Kerajaan Sriwijaya.
Keadaan fisiknya masih baik dengan bidang datar yang ditulisi berukuran 50cm × 80 cm. Prasasti ini berangka tahun 606 Saka (23 Maret 684 Masehi), ditulis dalam aksara Pallawa, berbahasa Melayu Kuna, dan terdiri dari 14 baris. Sarjana pertama yang berhasil membaca dan mengalihaksarakan prasasti tersebut adalah van Ronkel dan Bosch, yang dimuat dalam Acta Orientalia. Sejak tahun 1920 prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, dengan nomor D.145

Berikut ini adalah isi dan terjemahan prasasti tersebut, sebagaimana diterjemahkan oleh George Cœdès.
Pada tanggal 23 Maret 684 Masehi, pada saat itulah taman ini yang dinamakan Śrīksetra dibuat di bawah pimpinan Sri Baginda Śrī Jayanāśa. Inilah niat baginda: Semoga yang ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu, dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula bambu haur, waluh, dan pattum, dan sebagainya; dan semoga juga tanaman-tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua makhluk, yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan. Jika mereka lapar waktu beristirahat atau dalam perjalanan, semoga mereka menemukan makanan serta air minum. Semoga semua kebun yang mereka buka menjadi berlebih (panennya). Semoga suburlah ternak bermacam jenis yang mereka pelihara, dan juga budak-budak milik mereka. Semoga mereka tidak terkena malapetaka, tidak tersiksa karena tidak bisa tidur. Apa pun yang mereka perbuat, semoga semua planet dan bintang menguntungkan mereka, dan semoga mereka terhindar dari penyakit dan ketuaan selama menjalankan usaha mereka. Dan juga semoga semua hamba mereka setia pada mereka dan berbakti, lagipula semoga teman-teman mereka tidak mengkhianati mereka dan semoga istri mereka menjadi istri yang setia. Lebih-lebih lagi, di mana pun mereka berada, semoga di tempat itu tidak ada pencuri, atau orang yang mempergunakan kekerasan, atau pembunuh, atau penzinah. Selain itu, semoga mereka mempunyai seorang kawan sebagai penasihat baik; semoga dalam diri mereka lahir pikiran Boddhi dan persahabatan (...) dari Tiga Ratna, dan semoga mereka tidak terpisah dari Tiga Ratna itu. Dan juga semoga senantiasa (mereka bersikap) murah hati, taat pada peraturan, dan sabar; semoga dalam diri mereka terbit tenaga, kerajinan, pengetahuan akan semua kesenian berbagai jenis; semoga semangat mereka terpusatkan, mereka memiliki pengetahuan, ingatan, kecerdasan. Lagi pula semoga mereka teguh pendapatnya, bertubuh intan seperti para mahāsattwa berkekuatan tiada bertara, berjaya, dan juga ingat akan kehidupan-kehidupan mereka sebelumnya, berindra lengkap, berbentuk penuh, berbahagia, bersenyum, tenang, bersuara yang menyenangkan, suara Brahmā. Semoga mereka dilahirkan sebagai laki-laki, dan keberadaannya berkat mereka sendiri; semoga mereka menjadi wadah Batu Ajaib, mempunyai kekuasaan atas kelahiran-kelahiran, kekuasaan atas karma, kekuasaan atas noda, dan semoga akhirnya mereka mendapatkan Penerangan sempurna lagi agung.

 Prasasti Telaga Batu ditemukan di daerah Sabokingking,   Kel. 3 Ilir, Kec. Ilir Timur II, Kota Palembang, Sumatra Selatan, sekitar tahun 1950-an. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional dengan No. D.155. Di sekitar prasasti ini pada tahun-tahun sebelumnya ditemukan lebih dari 30 buah prasasti Siddhayatra. Bersama-sama dengan Prasasti Telaga Batu, prasasti-prasasti tersebut kini disimpan di Museum Nasional, Jakarta.
Prasasti Telaga Batu dipahatkan pada sebuah batu andesit yang sudah dibentuk sebagaimana       layaknya sebuah prasasti dengan ukuran tinggi 118 cm dan lebar 148 cm. Di bagian atasnya terdapat hiasan tujuh ekor kepala naga, dan di bagian bawah tengah terdapat semacam cerat (pancuran) tempat mengalirkan air pembasuh. Ditulis dalam aksara Pallawa dengan menggunakan bahasa Melayu Kuna.


3.e Kerajinan Rakyat
            Telok Abang dan Agustus di Palembang memang tidak bisa lepas dari tradisi di kota ini, mainan yang sudah ada sejak sebelum kemerdekaan di mana pada tahun 1930-an saat sering di adakannya pasar malam di kawasan pinggiran sungai musi (sekarang menjadi plaza BKB) dimana pasar malam yang terbentang dari daerah hulu ke hilir (Dari Bekangdam sampai ke Gedung pasar 16 sekarang) awal kemerdekaan kita +/- tahun 1945 baru bendera merah di tambahkan di telok abang ini, memang sangat menarik dan hanya ada di kota ini dan hanya saat menjelang Agustusan, Telok abang yang awalnya hanya berbentuk pesawat terbang sekarang ini sudah banyak modifikasi ada jenis scooter, becak, bus, helikopter, tank dan lain sebahagainya.

Jalan merdeka merupakan pusat dari penjualan telok abang di mana dari depan eks hotel musi, (simpang istiqomah) sampai ke simpang 26. walaupun di tahun 2008 ini masih banyak penjual telok abang melihat kondisi ini mungkin tradisi ini akan bisa bertahan lama.
Ada juga yang lain yang berkaitan dengan Agustusan di Palembang selain Telok Abang yaitu “Telok Ukan” dan “Ketan Sepit”, di manana dua benda ini juga mengiringi setiap adanya telok abang tetapi tidak “sepopuler” telok abang.


3.f Legenda / Mitologi
                  Pada zaman dahulu, daerah Sumatra Selatan dan sebagian Provinsi Jambi berupa hutan belantara yang unik dan indah. Puluhan sungai besar dan kecil yang berasal dari Bukit Barisan, pegunungan sekitar Gunung Dempo, dan Danau Ranau mengalir di wilayah itu. Maka, wilayah itu dikenal dengan nama Ba*tanghari Sembilan. Sungai besar yang mengalir di wilayah itu di antaranya Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Ogan, Sungai Rawas, dan beberapa sungai yang bermuara di Sungai Musi. Ada dua Sungai Musi yang bermuara di laut di daerah yang berdekatan, yaitu Sungai Musi yang melalui Palembang dan Sungai Musi Banyuasin agak di sebelah utara.
Karena banyak sungai besar, dataran rendah yang melingkar dari daerah Jambi, Sumatra Selatan, sampai Provinsi Lampung merupakan daerah yang banyak mempunyai danau kecil. Asal mula danau-danau kecil itu adalah rawa yang digenangi air laut saat pasang. Sedangkan kota Palembang yang dikenal sekarang menurut sejarah adalah sebuah pulau di Sungai Melayu. Pulau kecil itu berupa bukit yang diberi nama Bukit Seguntang Mahameru.
Keunikan tempat itu selain hutan rimbanya yang lebat dan banyaknya danau-danau kecil, dan aneka bunga yang tumbuh subur, sepanjang wilayah itu dihuni oleh seorang dewi bersama dayang-dayangnya. Dewi itu disebut Putri Kahyangan. Sebenarnya, dia bernama Putri Ayu Sundari. Dewi dan dayang-dayangnya itu mendiami hutan rimba raya, lereng, dan puncak Bukit Barisan serta kepulauan yang sekarang dikenal dengan Malaysia. Mereka gemar datang ke daerah Batanghari Sembilan untuk bercengkerama dan mandi di danau, sungai yang jernih, atau pantai yang luas, landai, dan panjang.
Karena banyaknya sungai yang bermuara ke laut, maka pada zaman itu para pelayar mudah masuk melalui sungai-sungai itu sampai ke dalam, bahkan sampai ke kaki pegunungan, yang ternyata daerah itu subur dan makmur. Maka terjadilah komunikasi antara para pedagang termasuk pedagang dari Cina dengan penduduk setempat. Daerah itu menjadi ramai oleh perdagangan antara penduduk setempat dengan pedagang. Akibatnya, dewi-dewi dari kahyangan merasa terganggu dan mencari tempat lain.
Sementara itu, orang-orang banyak datang di sekitar Sungai Musi untuk membuat rumah di sana. Karena Sumatra Selatan merupakan dataran rendah yang berawa, maka penduduknya membuat rumah yang disebut dengan rakit.
Saat itu Bukit Seguntang Mahameru menjadi pusat perhatian manusia karena tanahnya yang subur dan aneka bunga tubuh di daerah itu. Sungai Melayu tempat Bukit Seguntang Mahameru berada juga menjadi terkenal.
Oleh karena itu, orang yang telah bermukim di Sungai Melayu, terutama penduduk kota Palembang, sekarang menamakan diri sebagai penduduk Sungai Melayu, yang kemudian berubah menjadi pen*duduk Melayu.
Menurut bahasa Melayu tua, kata lembang berarti dataran rendah yang banyak digenangi air, kadang tenggelam kadang kering. Jadi, penduduk dataran tinggi yang hendak ke Palembang sering me*ngatakan akan ke Lembang. Begitu juga para pendatang yang masuk ke Sungai Musi mengatakan akan ke Lembang.
Alkisah ketika Putri Ayu Sundari dan pengiringnya masih berada di Bukit Seguntang Mahameru, ada sebuah kapal yang mengalami kecelakaan di pantai Sumatra Selatan. Tiga orang kakak beradik itu ada*lah putra raja Iskandar Zulkarnain. Mereka selamat dari kecelakaan dan terdampar di Bukit Seguntang Mahameru.
Mereka disambut Putri Ayu Sundari. Putra tertua Raja Iskandar Zulkarnain, Sang Sapurba kemudian menikah dengan Putri Ayu Sundari dan kedua saudaranya menikah dengan keluarga putri itu.
Karena Bukit Seguntang Mahameru berdiam di Sungai Melayu, maka Sang Sapurba dan istrinya mengaku sebagai orang Melayu. Anak cucu mereka kemudian berkembang dan ikut kegiatan di daerah Lembang. Nama Lembang semakin terkenal. Kemudian ketika orang hendak ke Lembang selalu mengatakan akan ke Palembang. Kata pa dalam bahasa Melayu tua menunjukkan daerah atau lokasi. Pertumbuhan ekonomi semakin ramai. Sungai Musi dan Sungai Musi Banyuasin menjadi jalur per*dagangan kuat terkenal sampai ke negara lain. Nama Lembang pun berubah menjadi Palembang

3.g Wisata Ziarah
Kompleks Makam KI Gede Ing Suro
            Palembang - Kompleks pemakaman kuno ini sekarang menjadi bagian dari jalur hijau (green barrier) PT Pusri. Di kompleks pemakaman yang masuk dalam wilayah administratif Kelurahan 1 Ilir, Kecamatan IT II Palembang, ini terdapat delapan bangunan dengan jumlah makam keseluruhan 38.
Salah satu tokoh yang dimakamkan di kompleks pemakaman yang dibangun sekitar pertengahan abad 16 ini adalah Ki Gede Ing Suro. Dialah pendiri kerajaan Islam Palembang, yang kemudian menjadi Kesultanan Palembang Darussalam. Ki Gede Ing Suro adalah putra Ki Gede Ing Lautan, salah satu dari 24 bangsawan dari Demak yang menyingkir ke Palembang, setelah terjadi kekacauan di kerajaan Islam terbesar di pulau Jawa itu. Kekisruhan ini merupakan rangkaian panjang dari sejarah kerajaan terbesar di Nusantara, setelah Kerajaan Sriwijaya yaitu Kerajaan Majapahit.
Raden Fatah yang lahir di Palembang adalah putra Raja Majapahit terakhir, yaitu Brawijaya V. Raden Fatah lahir dari Putri China yang disebut Putri Champa, setelah istri Brawijaya itu dikirim ke Palembang dan diberikan kepada putra Brawijaya, Ariodamar atau Ario Abdillah atau Ario Dillah.

Setelah dewasa, Raden Fatah bersama Raden Kusen, putra Ario Dillah dengan Putri China dikirim kembali ke Majapahit. Oleh Brawijaya V, Raden Fatah diperintahkan untuk menetap di Demak atau Bintoro sedangkan adiknya lain bapak, Raden Kusen, diangkat sebagai Adipati di Terung.

Pada masa menjelang akhir abad XV ini, Islam di Pulau Jawa mulai kuat. Saat terjadi penyerbuan oleh orang Islam terhadap Majapahit, prajurit kerajaan Hindu itu kalah dan Raja Brawijaya V menyingkir hingga kemudian mangkat. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan Majapahit.

Setelah keruntuhan Majapahit, Sunan Ngampel Denta (wali tertua dalam Walisongo) menetapkan Raden Fatah sebagai Raja Jawa menggantikan ayahnya. Tentu saja, dengan Pemerintah Islam. Raden Fatah, dibantu para wali, kemudian memindahkan pusat kekuasaan dari Surabaya ke Demak sekaligus menyebarkan agama Islam di daerah ini. Atas bantuan penguasa dan di daerah yang sudah lepas dari Majapahit,antara lain tuban, gresik, jepara, Raden Fatah mendirikan Kerajaan Islam Demak sekitar Tahun 1481 M.  Dia menjadi raja pertama dengan gelar Jimbun Ngabdur-Rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata Agama. Raden Fatah yang wafat sekitar tahun 1518 M, digantikan putranya, Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor yang wafat tahun 1521 M.

Pengganti Pati Unus adalah Pangeran Trenggono (wafat tahun 1546 M). Wafatnya Sultan ketiga Demak ini merupakan awal dari kisruh berkepanjangan di kerajaan Islam yang sempat punya pengaruh besar di Nusantara itu. Tahta kerajaan menjadi rebutan antara saudara Trenggono dengan putranya. Saudaranya, yang dikenal sebagai Pangeran Seda Ing Lepen dibunuh putra Trenggono, Pangeran Prawata. Prahara berlanjut dengan pembunuhan terhadap Prawata oleh Putra Seda Ing Lepen, Arya Penangsang atau Arya Jipang pada tahun 1549 M.

Menantu Trenggono, Pangeran Kalinyamat, juga dibunuh. Arya Penangsang akhirnya wafat dibunuh Adiwijaya. Menantu Trenggono yang terkenal sebagai Jaka Tingkir, Adipati penguasa Pajang ini kemudian memindahkan pusat kerajaan ke Pajang. Dengan demikian, berakhir pula kekuasaan Demak pada tahun 1546 M setelah berjaya selama 65 tahun.

Akibat kemelut itu, sebanyak 24 orang keturunan Sultan Trenggono (artinya, keturunan Raden Fatah) hijrah ke Palembang di bawah pimpinan Ki Gede Sido Ing Lautan. Setelah Ki Gede Sido Ing Lautan yang sempat berkuasa di Palembang wafat, digantikan putranya, Ki Gede Ing Suro. Karena raja ini tidak memiliki keturunan, dia digantikan saudaranya, Ki Gede Ing Suro Mudo.

Danau Ranau yang mempunyai luas sekitar 8×16 km dengan latar belakang gunung Seminung (ketinggian ± 1.880 m dpl), dikelilingi oleh bukit dan lembah. Pada malam hari udara sejuk dan pada siang hari cerah suhu berkisar antara 20° – 26° Celsius. Terletak pada posisi 4°51′45″ bujur selatan dan 103°55′50″ bujur timur.

Menurut legenda yang ada, danau ini tercipta dari gempa besar dan letusan vulkanik dari gunung berapi yang membuat cekungan besar. Sungai besar yang sebelumnya mengalir di kaki gunung berapi itu kemudian menjadi sumber air utama yang mengisi cekungan/belahan itu. Dan lama-kelamaan lubang besar itu penuh dengan air. Kemudian di sekeliling danau baru itu mulai ditumbuhi berbagai tanaman, di antaranya tumbuhan semak yang oleh warga setempat disebut ranau. Maka danau itu pun dinamakanlah Danau Ranau. Sisa gunung api itu kini menjadi Gunung Seminung yang berdiri kokoh di tepi danau berair jernih tersebut.
Kawang tekurep
Kompleks Pemakaman ini sekarang masuk dalam kawasan Kelurahan 3 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II, Palembang. Berdasarkan catatan lama, pemakaman ini dibangun tahun 1728 M atas perintah Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (wafat tahun 1756 M), setelah pembangunan Kompleks Makam atau Gubah Talang Kerangga (30 Ilir). Nama kawah tekurep diambil dari bentuk cungkup (kubah) yang menyerupai kawah ditengkurapkan (Palembang: tekurep). Jika diukur dari tepian Sungai Musi, kompleks makam ini berjarak sekitar 100 meter dari sungai.
Di sisi yang menghadap Sungai Musi (arah selatan), terdapat gapura yang merupakan gerbang utama untuk memasuki kompleks makam. Di dalamnya, terdapat empat cungkup. Yaitu, tiga cungkup yang diperuntukkan bagi makam para sultan dan satu cungkup untuk putra-putri Sultan Mahmud Badaruddin, para pejabat dan hulubalang kesultanan. Berikut nama-nama tokoh yang dimakamkan;
Cungkup I:
1. Sultan Mahmud Badaruddin I (wafat tahun 1756 M)
2. Ratu Sepuh, istri pertama yang berasal dari Jawa Tengah
3. Ratu Gading, istri kedua yang berasal dari Kelantan (Malaysia)
4. Mas Ayu Ratu (Liem Ban Nio), istri ketiga yang berasal dari Cina
5. Nyimas Naimah, istri keempat yang berasal dari 1 Ilir (kini Guguk Jero Pager Kota Plembang Lamo)
6. Imam Sayyid Idrus Al Idrus dari Yaman Selatan
Cungkup II:
1. Pangeran Ratu Kamuk (wafat tahun 1755 M)
2. Ratu Mudo (istri P. Kamuk)
3. Sayyid Yusuf Al Angkawi (Imam Sultan)
Cungkup III:
1. Sultan Ahmad Najamuddin (wafat tahun 1776 M)
2. Masayu Dalem (istri Najamuddin)
3. Sayyid Abdur Rahman Maulana Tugaah (Imam Sultan dari Yaman)
Cungkup IV:
1. Sultan Muhammadi Bahauddin (wafat tahun 1803 Masehi)
2. Ratu Agung (istri Bahauddin)
3. Datuk Murni Hadad (Imam Sultan dari Arab Saudi)





4.    Sebuah Analisis

  4.a Analisis Situs-Situs Sejarah
               Situs-situs sejarah yang terdapat di provinsi Palembang yang beribu kota Palembang ini cukup banyak dan sangat berpotensi untuk di jadikan sebagai sumber terobosan baru dalam dunia pariwisata karena belum banyak kita temui situs-situs seperti ini di dunia. Kita dapat lihat dari situs bangunan Benteng Koto Lama yang disebut juga Kuto Tengkurokato Kuto Batu. Dulu benteng ini pernah habis dibakar oleh Belanda. Kemudian di atasnya dibangun gedung tempat tinggal Residen Belanda, sebelum akhirnya dijadikan museum. Dari bagunan ini kita dapat menjual kepada wisatawan berbagai Negara maupun local tetapi terutama kepada wisatawan yang berasal dari Negara yang pernah tinggal di bangunan tersebut. Karena mereka seakan dapat membayangkan nilai-nilai history nenek moyangnya ketika waktu itu.
               Kita dapat lihat mengapa situs-situs sejarah ini harus dikembangkan dari segi bagunan, para wisatawan senagng sekali dengan bagunan-bangunan yang bergaya tempo doelo karena dimana terdapat nilai-nilia history tersendiri, seperti halnya situs kuto besak, bukit siguntang adalah sebuah banguna yan bernilai sangat tinggi dimata para wisatawan terutama wisatawan mancanegara. Dari segi sejarah, kita dapat menjual kampong megalit,mengapa? Karena kampong megalit memilki story tresendiri yang unik untuk diketahui terutama oleh para wisatawan local kerena ia pasti iongin mengetahui bagaimana kehidupan nenk moyangnya di zaman sebelum dia terlahir. Dari segi ras ( agama ) juga da beberapa seperti halnya, kampong kapitan adalah sebuah pemukiaman yang berada dekat dengan sungai musi yang awalnya dahulu pada masa itu, seorang kapitan bertugas untuk memungut pajak dari masyarakat China dan masyarakat pribumi yang berada di wilayah Seberang Ulu Palembang. Kapitan juga bertugas untuk menjaga keamanan wilayah dan mengatur tata niaga candu di wilayah terbatas. Selain itu ada juga kampong arab, Di kampung ini, juga terdapat rumah Kapten Arab. Seperti halnya sukubangsa Cina dan India, pada tahun 1825, Pemerintah Belanda di Palembang melakukan pendekatan. Dari tiap sukubangsa itu, diangkatlah pemimpin kaum dengan pangkat Kapten.Tidak jelas siapa Kapten Arab pertama. Yang jelas, Kapten terakhir wafat tahun 1970 adalah Ahmad Al Munawar. Sapaan keseharian tokoh ini adalah Ayip Kecik.
               Tetapi disisi lainya ada beberapa Kendal yang hurus dihadapi oleh para pengembang pariwisata seperti contohnya kampong cina, kini sudah tidak banyak masyarakat yang keturunan cina ditinggal ditemapat tersebut dikarenakan prnghasilan yang sulit. Sehingga nereka pada bermukim panda ke daerah yang lebih mudah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kini hanya tinggal beberapa bangunan rumah cina saja yang ada di tepi-tepi sungai musi yang perlu di jaga dab dilestarika agar bisa dijual ke[ada masyarakay cina pada khususnya serta wusatawan semuanya pada umumnya.





4.b Analisis  Situs-Situs Budaya
               Situs-situs Budaya yang diterdapat du daerah Sumatra selatan ini begitu beragam dan banyak hasil dari budaya campuran seperti Songket adalah jenis kain tenunan tradisional Melayu di Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Songket digolongkan dalam keluarga tenunan brokat. Songket ditenun dengan tangan dengan benang emas dan perak dan pada umumnya dikenakan pada acara-acara resmi. Benang logam metalik yang tertenun berlatar kain menimbulkan efek kemilau cemerlang. Kata songket berasal dari istilah sungkit dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, yang berarti "mengait" atau "mencungkil". Dari kain songket ini kita dapat menjual kainya ataupun bagaimana cara membuat kain tersebut dari proses menenun hingga menjadi sebuah kain songket.
               Selain itu ada pula gaya bagunan yang dapat di jadikan sebuah objek wisata yakni “Rumah Limas”, yang mempunyai cirri khas yang hanya di daerah Palembang. Tetapi rumah limas kini sudah banyak tercampur oleh gaya aritektur asing sehingga sudah sedikit orang Sumatra selatan yang menggunakan arsitektur peninggalan nenek moyang, padahal rumah limas yang bergaya panggung ini bisa tahan gempa dan bisa menghindari dari binatang yang mamalia ataupun lainnya.
               Sumatara Selatan juga terdapat suatu semacam sendra tari/ teater yang bernama “Dul Muluk”, serupa dengan lenong dari masyarakat Betawi di Jakarta. Akting di panggung dibawakan secara spontan dan menghibur. Penonton pun bisa membalas percakapan di atas panggung. Bedanya sudah pasti di bahasa yang digunakan. Kalau lenong menggunakan bahasa Betawi, dul muluk menggunakan bahasa Melayu dan bahasa Palembang. Ini merupakan kesenian yang hanya dapat kita lihat di Palembang namun sudah jarang sekali yang mementaskan layaknya lenong betawi di Jakarta ini.
               Dari semua itu sebenarnya yang paling banyak untuk dijadikan objek potensi wisata yang paling berpotensi dan mengangkat ialah wista ziarahnya karena dimana di daerah Sumatra selatan ini merupakan Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir abad ke-10, Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet dalam kertas kerjanya Durbodhāloka menyebutkan ditulis pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa.[13]
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah. Sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya.
Ada sumber yang menyebutkan, karena pengaruh orang muslim Arab yang banyak berkunjung di Sriwijaya, maka raja Sriwijaya yang bernama Sri Indrawarman masuk Islam pada tahun 718 Sehingga sangat dimungkinkan kehidupan sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial yang di dalamnya terdapat masyarakat Budha dan Muslim sekaligus. Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di Suriah. Pada salah satu naskah surat yang ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720) berisi permintaan agar khalifah sudi mengirimkan da'i ke istana Sriwijaya.


5.    Penutup
            Demikianlah tugas Uas ini saya buat dengan penuh keyakinan dari berbagai sumber yang saya dapat dari internet dan analisis yang saya ringkas dan saya cermati. Bila ada kesalahan dari tulisan yang saya buatan ini mohon maklum karena semua orang saya masih hidup ini sedang berproses dalam pembelajaran.
            Semoga ini bermanffat bagi banyak orang yang membacanya dan terutama bagi penulis sendiri atas dukungan semuanya penulis mengucapakan terima kasih.


Wassalam mua’alaikum wr.wb



Sumber:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar