Senin, 10 Januari 2011

POTENSI WISATA BUDAYA SUMATERA UTARA

"Sebuah Analisis Penjelajahan Awal"


1.     PENDAHULUAN
Sekarang ini saya akan menulis mengenai Provinsi Sumatera Utara dalam rangka memenuhi tugas UAS mata kuliah KKI saya, saya memilih Provinsi Sumatera Utara karena menurut saya, provinsi ini memiliki potensial pariwisata yang cukup tinggi dan banyak diminati oleh wisatawan lokal maupun asing.
     Namun sayangnya, belum semua wilayah yang berpotensi ini dikenal banyak orang, padahal potensinya cukup tinggi dan sangat menarik untuk dikunjungi dan dipelajari, apalagi kebudayaannya masih cukup kental dan banyaknya objek-objek yang bernilai sejarah dan budaya, serta suku yang bervariasi dan menarik yang berpotensi tinggi. Berikut merupakan beberapa ulasan mengenai tempat-tempat yang memiliki nilai sejarah yang dan potensi yang tinggi dan layak untuk dikunjungi. 

          PENJELASAN
 
      Provinsi Sumatera Utara terletak pada 1° - 4° Lintang Utara dan 98° - 100° Bujur Timur, Luas daratan Provinsi Sumatera Utara 71.680 km². Sumatra Utara pada dasarnya dapat dibagi atas:
  • Pesisir Timur
  • Pegunungan Bukit Barisan.
  • Pesisir Barat.
  • Kepulauan Nias.
Pesisir timur merupakan wilayah di dalam provinsi yang paling pesat perkembangannya karena persyaratan infrastruktur yang relatif lebih lengkap daripada wilayah lainnya. Wilayah pesisir timur juga merupakan wilayah yang relatif padat konsentrasi penduduknya dibandingkan wilayah lainnya.
Di daerah tengah provinsi berjajar Pegunungan Bukit Barisan. Di pegunungan ini ada beberapa dataran tinggi yang merupakan kantong-kantong konsentrasi penduduk. Tetapi jumlah hunian penduduk paling padat berada di daerah Timur provinsi ini. Daerah di sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir juga menjadi tempat tinggal penduduk yang menggantungkan hidupnya kepada danau ini. Pesisir barat biasa dikenal sebagai daerah Tapanuli.
Terdapat 419 pulau di propisi Sumatera Utara. Pulau-pulau terluar adalah pulau Simuk (kepulauan Nias), dan pulau Berhala di selat Sumatera (Malaka).
Kepulauan Nias terdiri dari pulau Nias sebagai pulau utama dan pulau-pulau kecil lain di sekitarnya. Kepulauan Nias terletak di lepas pantai pesisir barat di Samudera Hindia. Pusat pemerintahan terletak di Gunung Sitoli. Kepulauan Batu terdiri dari 51 pulau dengan 4 pulau besar: Sibuasi, Pini, Tanahbala, Tanahmasa. Pusat pemerintahan di Pulautelo di pulau Sibuasi. Kepulauan Batu terletak di tenggara kepulauan Nias. Pulau-pulau lain di Sumatera Utara: Imanna, Pasu, Bawa, Hamutaia, Batumakalele, Lego, Masa, Bau, Simaleh, Makole, Jake, dan Sigata, Wunga.
Pusat pemerintahan Sumatera Utara terletak di kota Medan. Sumatera Utara dibagi kepada 25 kabupaten, 8 kota (dahulu kotamadya), 325 kecamatan, dan 5.456 kelurahan/desa.
Sumatera Utara merupakan provinsi multietnis dengan Batak, Nias, dan Melayu sebagai penduduk asli wilayah ini. Daerah pesisir timur Sumatera Utara, pada umumnya dihuni oleh orang-orang Melayu. Pantai barat dari Barus hingga Natal, banyak bermukim orang Minangkabau. Wilayah tengah sekitar Danau Toba, banyak dihuni oleh Suku Batak yang sebagian besarnya beragama Kristen. Suku Nias berada di kepulauan sebelah barat. Sejak dibukanya perkebunan tembakau di Sumatera Timur, pemerintah kolonial Hindia Belanda banyak mendatangkan kuli kontrak yang dipekerjakan di perkebunan. Pendatang tersebut kebanyakan berasal dari etnis Jawa dan Tionghoa. Pusat penyebaran suku-suku di Sumatra Utara, sebagai berikut :
  1. Suku Melayu Deli : Pesisir Timur, terutama di kabupaten Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Langkat
  2. Suku Batak Karo : Kabupaten Karo
  3. Suku Batak Toba : Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir
  4. Suku Batak Pesisir : Tapanuli Tengah, Kota Sibolga
  5. Suku Batak Mandailing/Angkola : Kabupaten Tapanuli Selatan, Padang Lawas, dan Mandailing Natal
  6. Suku Batak Simalungun : Kabupaten Simalungun
  7. Suku Batak Pakpak : Kabupaten Dairi dan Pakpak Barat
  8. Suku Nias : Pulau Nias
  9. Suku Minangkabau : Kota Medan, Pesisir barat
  10. Suku Aceh : Kota Medan
  11. Suku Jawa : Pesisir Timur & Barat
  12. Suku Tionghoa : Perkotaan pesisir Timur & Barat.

Suku Melayu Deli mayoritas menuturkan bahasa Indonesia karena kedekatan bahasa Melayu dengan bahasa Indonesia. Pesisir timur seperi wilayah Serdang Bedagai, Pangkalan Dodek, Batubara, Asahan, dan Tanjung Balai, memakai Bahasa Melayu Dialek "O" begitu juga di Labuhan Batu dengan sedikit perbedaan ragam. Di kabupaten Langkat masih menggunakan bahasa Melayu Dialek "E" yang sering juga disebut bahasa Maya-maya. Masih banyak keturunan Jawa Kontrak (Jadel - Jawa Deli) yang menuturkan bahasa Jawa.
Di kawasan perkotaan, suku Tionghoa lazim menuturkan bahasa Hokkian selain bahasa Indonesia. Di pegunungan, suku Batak menuturkan bahasa Batak yang terbagi atas 4 logat (Silindung-Samosir-Humbang-Toba). Bahasa Nias dituturkan di Kepulauan Nias oleh suku Nias. Sedangkan orang-orang Pesisir Pantai Barat Sumut, seperti Kota Sibolga dan Kabupaten Tapanuli Tengah serta Aceh Singkil dan Natal Madina menggunakan Bahasa Pesisir.
2.     SITUS-SITUS SEJARAH
a.      Situs Eksitu
1)      Museum Adat Batak Huta Bolon Simanindo
Terletak di Desa Simanindo, Kelurahan Simanindo, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara.
Museum ini merupakan rumah adat warisan Raja Sidauruk dan sejak 1969 bangunan ini dijadikan sebagai museum terbuka. Museum ini terdiri atas sejumlah rumah adat dengan Huta Bolon Simanindo sebagai master place-nya. Koleksinya berupa peninggalan leluhur orang Batak Toba dari Samosir yang antara lain terdiri atas parhalaan, pustaha laklak, tunggal panaluan, dan solu bolon.
2)      Museum Sumatera Utara
Museum Sumatera Utara (Sumut) terletak di jalan HM Joni No. 51 Medan, Propinsi Sumatera Utara, Indonesia. Museum Sumatera Utara (Sumut) memiliki koleksi patung pengantin beserta ornamen-ornamenya dari suku-suku utama di Sumatera Utara seperti Melayu, Batak Toba, Karo, Simalungun, Angkola, Mandailing, Pak-Pak, dan Nias.
Sejak peresmianya pada tahun 1982 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Museum Sumatera Utara telah memiliki 6.799 koleksi benda bersejarah yang terbagi menjadi 10 jenis, yakni koleksi geologika, berupa koleksi jenis batuan, benda-benda bentukan alam serta aneka mineral batuan. Kemudian ada pula koleksi biologika, koleksi etnografika yang menggambarkan identitas etnis di Sumatera Utara.
Koleksi museum Sumatera Utara lainnya seperti arkeologika, benda-benda hasil peninggalan budaya masa pra sejarah sampai masuknya pengaruh budaya barat.Koleksi arkeologika yang terkenal di museum ini di antaranya, Piringsapa serta Pustaha Lak-lak peninggalan budaya Batak Toba. Selebihnya ada koleksi historika, numismatika, filologika, keramologika, seni rupa dan yang berteknologika.
Ada juga sejumlah koleksi benda-benda tradisional seperti ulos Batak Toba, peti mati yang disebut rumaruma atau parmual - mualan solu bolon beserta simbolik bentuk, ornamennya. Museum juga memiliki koleksi benda peninggalan sejarah perjuangan Sisingamaraja XII berupa Selendang Tenunan Sunting Miriam (Isteri Sisingamaraja XII) pada waktu ditawan Belanda.

b.      Situs Insitu
1)      Objek wisata sejarah di komplek makam Raja Sidabutar di Desa Tomok.
2)      Objek wisata  arsitektur berupa komplek rumah tradisional Batak Toba Samosir.
Cara Menuju Lokasi :
Untuk mencapai lokasi wisata, pengunjung dapat melalui rute Kota Medan-Parapat atau pun melalui rute Medan-Berastagi yang berjarak lebih kurang 176 km dengan waktu tempuh kurang lebih  empat jam dengan kendaraan roda dua/ empat. Di Parapat, para  pengunjung yang ingin mengunjungi Pulau Samosir dapat menumpangi angkutan feri yang setiap jamnya berangkat ke Desa Tomok, Samosir.
Candi Peninggalan Sejarah di Sumatera Utara
Salah satu situs peninggalan Hindu-Buddha berupa candi terdapat di Sumatera Utara bagian Selatan, tepatnya di Kabupaten Padang Lawas. Disana terdapat sebuah Situs Percandian yang dinamakan Situs Padang Lawas. Situs ini merupakan salah satu situs penting dari masa pengaruh Hindu-Buddha (Klasik) di Indonesia yang berada di Pulau Sumatera. Areal situs ini secara administratif terletak di wilayah tiga kecamatan, yakni Kecamatan Batang Pane, Kecamatan Lubuk Barumun, dan Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Padang Lawas Utara.
Kepurbakalaan yang terdapat pada situs ini tersebar di sepanjang aliran Sungai Batang Pane, Sirumambe, dan Sungai Barumun, terdiri dari setidaknya enambelas kompleks percandian atau dalam bahasa setempat lebih dikenal sebagai biaro atau biara yang merupakan adopsi dari kata dalam Bahasa Sansekerta, vihara yang berarti tempat belajar mengajar dan ibadah khususnya bagi penganut agama Buddha (Ing. monastery). Nama lain yang dikenal oleh masyarakat adalah Portibi, yang dalam bahasa setempat berarti dunia. Nama-nama biaro itu antara lain adalah: Sipamutung, Bara, Bahal (I,II, dan III), Sijoreng, Pulo, Sangkilon, Sitopayan, dan Sisoldop.
Berdasarkan sejumlah temuan yang didapatkan di situs ini, secara relatif biaro-biaro di Padang Lawas (Portibi) diperkirakan sudah eksis sejak abad ke-11 M. Data yang dijadikan acuan terutama adalah tulisan-tulisan kuno pada prasasti-prasasti yang ditemukan di situs ini. Salah satu dari beberapa prasasti itu adalah prasasti Gunung Tua, merupakan prasasti tertua yang ditemukan di situs ini, ditulis dalam aksara Jawa Kuna dan menggunakan bahasa Melayu Kuna, yang dipahatkan pada bagian belakang landasan sebuah patung yang diapit terbuat dari perunggu.
Saat ini sisa-sisa kejayaan kerajaan Panai itu masih dapat dilihat di situs Padang Lawas. Beberapa diantara biaro-biaro itu sudah dipugar seperti Biaro Bahal I dan Biaro Bahal II, Biaro Bahal III dan Biaro Sipamutung, sementara biaro-biaro lainnya karena kondisinya sudah teramat rusak mengakibatkan saat ini belum dapat dipugar.
Nama Candi yang terdapat di Padang Lawas:
1.    Candi Bahal I
2.    Candi Bahal II
3.    Candi Bahal III
4.    Candi Sitopayan
5.    Candi Bara
6.    Candi Pulo
7.    Candi Sipamutung
8.    Candi Tandihat I
9.    Candi Tandihat II
10.  Candi Sisangkilon
11.  Candi Manggis
c.      Kota Tua
Barus Kota Tertua di Sumatera Utara
Kota yang ada sejak 683 SM terdiri dari sebelas desa dan dua kelurahan merupakan kota tertua di sumut, dimana peninggalan sejarah kerajaan barus masih menjadi objek khusus para pengunjung, serta dihiasi ratusan hektar sawah dan keindahan pantai yang mengelilingi kota Barus.
Suku aslinya berasal dari minang, aceh, batak dan tionghoa. Bahasa yang digunakan juga sangat berbeda dengan daerah lainnya yaitu Bahasa Baiko (Bahasa asli orang barus) yang selintas saat mendengarnya seperti bahasa melayu.
Keberagaman agama juga terlihat jelas dari tempat ibadah yang terlihat disekeliling jalan, antara islam dan kristen protestan hampir sama jumlahnya. Tetapi hal itu tidak menimbulkan perpecahan di wilayah yang dikenal dengan kota legenda ini.
Aset-aset peninggalan sejarah menjadi alasan orang datang ke kota Barus, banyak hal yang menarik perhatian disini mulai dari kampung putih yang menjadi istana tempat tinggal kerajaan, makam yang ada didua titik yaitu makam mahligai dan papan tinggi sampai keindahan pantainya.
Selain itu ada Kerajaan andam dewi di desa kecamatan andam dewi, tempat pelelangan ikan yang berada di pantai dimana terjadi proses jual beli antara pedagang dengan pembeli dengan partai besar.
d.      Desa Tradisional
Anda ingin bertemu dan tahu, serta kehidupan orang batak asli?? Bila iya, Anda dapat datang ke sebuah desa yang sebagian besar wilayahnya belum tersentuh oleh dunia modern. Terletak di lereng bukit yang indah, pengunjung yang datang ke desa Jangga bisa bertemu dengan orang  Batak asli dan melihat bagaimana budaya mereka yang unik terus berkembang hingga saat ini.
Desa Jangga terletak di tepi Gunung Simanuk-Manuk, Lumban Julu, kabupeten Toba Samosir, Sumatra Utara, sekitar 24 km dari Danau Toba. 
Desa ini adalah salah satu dari sejumlah desa Batak asli di wilayah Lumban Nabolon, Tonga-Tonga Sirait Uruk, Janji Matogu, hubak Sihubak, Siregar, Sigaol, Silalahi Toruan Muara dan Tomok Sihotang.
Jangga terkenal dengan kain ulos yang indah yang ditenun oleh kaum wanitanya. Ulos memainkan peranan penting dalam masyarakat tradisional Batak dan digunakan tidak hanya sebagai pakaian tetapi juga digunakan pada acara-acara adat seperti kelahiran, kematian dan pernikahan.
Di desa Jangga Anda akan menemukan deretan rumah-rumah tradisional, atraksi budaya dan sejarah, seperti sisa-sisa peninggalan raja-raja Batak berabad-abad yang lalu termasuk Raja Tambun dan monumen raja Manurung.
Disini Anda juga bisa menyaksikan wanita Jangga yang sedang menenun kain tradisional ulos yang rumit, mengagumi struktur rumah adat Batak yang berbentuk panggung dan memiliki atap besar yang khas hingga menjelajahi warisan budaya daerah yang menarik dengan berkunjungan ke monumen megah Raja Tambun dan Manurung.
3.     SITUS-SITUS BUDAYA/KHASANAH BUDAYA
a.      Tradisi yang Masih Berlangsung
Tradisi megalitik adalah salah satu produk budaya dari masa prasejarah di Pulau Nias, Sumatera Utara, masih berlanjut dan hingga kini terus dipertahankan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan itu, antara lain, terlihat dalam sistem kepercayaan tentang asal- usul serta pemujaan terhadap arwah para leluhur. Patung-patung yang merupakan simbol nenek moyang itu masih dipuja. Begitu pun pola hadap bangunan rumah dan kepercayaan pada folklor tentang asal-usul nenek moyang.
Hombo (lompat batu) merupakan tradisi yang sangat populer pada masyarakat Nias di Kabupaten Nias Selatan. Tradisi ini dilaksanakan oleh masyarakat di Desa Bawo Mataluo (Bukit Matahari). Desa Bawo Mataluo adalah desa yang kaya dengan situs megalitik (batu besar) berukir dan di dalamnya terdapat perumahan tradisional khas Nias (omo hada).
·         Perkawinan
Pada tradisi suku Batak seseorang hanya bisa menikah dengan orang Batak yang berbeda klan sehingga jika ada yang menikah dia harus mencari pasangan hidup dari marga lain selain marganya. Apabila yang menikah adalah seseorang yang bukan dari suku Batak maka dia harus diadopsi oleh salah satu marga Batak (berbeda klan). Acara tersebut dilanjutkan dengan prosesi perkawinan yang dilakukan di gereja karena mayoritas penduduk Batak beragama Kristen.
Untuk mahar perkawinan-saudara mempelai wanita yang sudah menikah.

b.      Arsitektur Tradisional
Ø      “Bolon” Rumah Adat Batak Toba
Rumah adat Batak Toba yang disebut Rumah Bolon, berbentuk empat persegi panjang dan kadang-kadang dihuni oleh 5 sampai 6 keluarga batih. Untuk memasuki rumah harus menaiki tangga yang terletak di tengah-tengah rumah, dengan jumlah anak tangga yang ganjil. Bila orang hendak masuk rumah Batak Toba harus menundukkan kepala agar tidak terbentur pada balok yang melintang, hal ini diartikan tamu harus menghormati si pemilik rumah. Lantai rumah kadang-kadang sampai 1,75 meter di atas tanah, dan bagian bawah dipergunakan untuk kandang babi, ayam, dan sebagainya. Dahulu pintu masuk mempunyai 2 macam daun pintu, yaitu daun pintu yang horizontal dan vertikal, tapi sekarang daun pintu yang horizontal tak dipakai lagi.
Ruangan dalam rumah adat merupakan ruangan terbuka tanpa kamar-kamar, walaupun berdiam disitu lebih dari satu keluarga, tapi bukan berarti tidak ada pembagian ruangan, karena dalam rumah adat ini pembagian ruangan dibatasi oleh adat mereka yang kuat. Ruangan di belakang sudut sebelah kanan disebut jabu bong, yang ditempati oleh kepala rumah atau por jabu bong, dengan isteri dan anak-anak yang masih kecil. Di sudut kiri berhadapan dengan Jabu bong disebut Jabu Soding diperuntukkan bagi anak perempuan yang telah menikah tapi belum mempunyai rumah sendiri. Di sudut kiri depan disebut Jabu Suhat, untuk anak laki-laki tertua yang sudah kawin dan di seberangnya disebut Tampar Piring diperuntukkan bagi tamu.
Bila keluarga besar maka diadakan tempat di antara 2 ruang atau jabu yang berdempetan, sehingga ruangan bertambah 2 lagi dan ruangan ini disebut Jabu Tonga-ronga ni jabu rona. Tiap keluarga mempunyai dapur sendiri yang terletak di belakang rumah, berupa bangunan tambahan. Di antara 2 deretan ruangan yakni di tengah-tengah rumah merupakan daerah netral yang disebut telaga dan berfungsi sebagai tempat bermusyawarah. Bangunan lain yang mirip dengan rumah adalah sapo yakni seperti rumah yang berasal dari lumbung tempat menyimpan, kemudian didiami. Perbedaannya dengan rumah adalah : Dopo berlantai dua, hanya mempunyai satu baris tiang-tiang depan dan ruangan bawah terbuka tanpa dinding berfungsi untuk musyawarah, menerima orang asing dan tempat bermain musik. Pada bagian depan rumah adat terdapat hiasan-hiasan dengan motif garis geografis dan spiral serta hiasan berupa susu wanita yang disebut adep-adep. Hiasan ini melambangkan sumber kesuburan kehidupan dan lambang kesatuan.
Rumah yang paling banyak hiasan-hiasannya disebut Gorga. Hiasan lainnya bermotif pakis disebut nipahu, dan rotan berduri disebut mardusi yang terletak di dinding atas pintu masuk.
Pada sudut-sudut rumah terdapat hiasan Gajah dompak, bermotif muka binatang, mempunyai maksud sebagai penolak bala. Begitu pula hiasan bermotif binatang cicak, kepala singa yang dimaksudkan untuk menolak bahaya seperti guna-guna dari luar. Hiasan ini ada yang berupa ukiran kemudian diberi warna, ada pula yang berupa gambaran saja. Warna yang digunakan selalu hitam, putih dan merah.
Ø       “Siwaluh Jabu” Rumah Adat Batak Karo
Rumah adat Karo ini berbeda dengan rumah adat suku lainnya dan kekhasan itulah yang mencirikan rumah adat Karo. Bentuknya sangat megah diberi tanduk. Proses pendirian sampai kehidupan dalam rumah adat itu diatur oleh adat Karo. Berdasarkan bentuk atap, rumah adat karo dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

a.      Rumah sianjung-anjung
Rumah sianjung-anjung adalah rumah bermuka empat atau lebih, yang dapat juga terdiri atas satu atau dua tersek dan diberi bertanduk.
b.      Rumah Mecu
Rumah mecu adalah rumah yang bentuknya sederhana, bermuka dua mempunyai sepasang tanduk.

Sementara menurut binangun, rumah adat Karo pun dapat dibagi atas dua yaitu:
a.      Rumah Sangka Manuk
Rumah sangka manuk yaitu rumah yang binangunnya dibuat dari balok tindih-menindih.
b.      Rumah Sendi
Rumah sendi adalah rumah yang tiang rumahnya dibuat berdiri dan satu sama lain dihubungkan dengan balok-balok sehingga bangunan menjadi sendi dan kokoh.
Rumah adat Karo didirikan berdasarkan arah kenjahe (hilir) dan kenjulu (hulu) sesuai aliran air pada suatu kampung.
Jabu dalam Rumah Adat
Rumah adat biasanya dihuni oleh empat atau delapan keluarga. Penempatan keluarga-keluarga itu dalam bagian rumah adat (jabu) dilakukan berdasarkan ketentuan adat Karo. Rumah adat secara garis besar dapat dibagi atas jabu jahe (hilir) dan jabu julu (hulu). Jabu jahe terbagi atas jabu bena kayu dan jabu lepar benana kayu. Demikian juga jabu kenjulu dibagi atas dua, yaitu jabu ujung kayu dan jabu rumah sendipar ujung kayu.
Ada kalanya suatu rumah adat terdiri dari delapan ruang dan dihuni oleh delapan keluarga. Adapun susunan jabu dan yang menempatinya adalah sebagai berikut:
1.      Jabu Benana Kayu
Terletak di jabu jahe. Kalau kita kerumah dari ture jahe, letaknya sebelah kiri. Jabu ini dihuni oleh para keturunen simantek kuta (golongan pendiri kampung) atau sembuyak-nya. Fungsinya adalah sebagai pemimpin rumah adat.
2.      Jabu ujung Kayu (anak beru)
jabu ini arahnya di arah kenjulu rumah adat. Kalau kita masuk kerumah adat dari pintu kenjulu, letaknya disebelah kiri atau diagonal dengan letak jabu benana kayu. Jabu ini ditempati oleh anak beru kuta atau anak beru dari jabu benana Kayu. Fungsinya adalah sebagai juru bicara jabu bena kayu.
3.      Jabu Lepar Benana Kayu
Jabu ini di arah kenjahe (hilir). Kalau kita kerumah dari pintu kenjahe letaknya disebelah kanan, Penghuni jabu ini adalah sembuyak dari jabu benana kayu. Fungsinya untuk mendengarkan berita-berita yang terjadi diluar rumah dan menyampaikan hal itu kepada jabu benana kayu. Oleh karena itu, jabu ini disebut jabu sungkun berita (sumber informasi).
4.      Jabu lepar ujung kayu (mangan-minem)
Letaknya dibagian kenjulu (hulu) rumah adat. Kalau kita masuk dari pintu kenjulu ke rumah adat, letaknya di sebelah kanan. Jabu ini ditempati oleh kalimbubu jabu benana kayu. Oleh karena itu, jabu ini disebut jabu si mangan-minem.
Keempat jabu inilah yang disebut dengan jabu adat, karena penempatannya harus sesuai dengan adat, demikian juga yang menempatinya ditentukan menurut adat.

5.      Jabu sedapuren benana kayu (peninggel-ninggel)
Jabu ini ditempati oleh anak beru menteri dari rumah si mantek kuta (jabu benana kayu), dan sering pula disebut jabu peninggel-ninggel. Dia ini adalah anak beru dari ujung kayu.
6.      jabu sidapuren ujung kayu (rintenteng)
Ditempati oleh sembuyak dari ujung kayu, yang sering juga disebut jabu arinteneng. Tugasnya adalah untuk engkapuri belo, menyerahkan belo kinapur (persentabin) kepada tamu jabu benana kayu tersebut. Oleh karena itu, jabu ini disebut juga jabu arinteneng.
7.      Jabu sedapuren lepar ujung kayu (bicara guru)
Dihuni oleh guru (dukun) atau tabib yang mengetahui berbagai pengobatan. Tugasnya mengobati anggota rumah yang sakit.
8.      Jabu sedapuren lepar benana kayu
Dihuni oleh puang kalimbubu dari jabu benana kayu disebut juga jabu pendungi ranan. Karena biasanya dalam runggun adat Karo persetujuan terakhir diberikan oleh puang kalimbubu.
c.      Seni Pertunjukan 

             Musik
Musik yang biasa dimainkan,cenderung tergantung dengan upacara-upacara adat yang diadakan, tetapi lebih dominan dengan genderangnya. Seperti pada Etnis Pesisir terdapat serangkaian alat musik yang dinamakan Sikambang 

      Tarian
Ada yang bersifat magis, berupa tarian sakral, dan ada yang bersifat hiburan saja yang berupa tari profan. Di samping tari adat yang merupakan bagian dari upacara adat, tari sakral biasanya ditarikan oleh dayu-datu. Termasuk jenis tari ini adalah tari guru dan tari tungkat. Datu menarikannya sambil mengayunkan tongkat sakti yang disebut Tunggal Panaluan.
Tari profan biasanya ialah tari pergaulan muda-mudi yang ditarikan pada pesta gembira. Tortor ada yang ditarikan saat acara perkawinan. Biasanya ditarikan oleh para hadirin termasuk pengantin dan juga para muda-mudi. Tari muda-mudi ini, misalnya morah-morah, parakut, sipajok, patam-patam sering dan kebangkiung. Tari magis misalnya tari tortor nasiaran, tortor tunggal panaluan. Tarian magis ini biasanya dilakukan dengan penuh kekhusukan. Selain tarian Batak terdapat pula tarian Melayu seperti Serampang XII.

d.      Seni Plastis
Dalam bidang seni rupa yang menonjol adalah arsitektur rumah adat yang merupakan perpaduan dari hasil seni pahat dan seni ukir serta hasil seni kerajinan. Arsitektur rumah adat terdapat dalam berbagai bentuk ornamen.Pada umumnya bentuk bangunan rumah adat pada kelompok adat batak melambangkan "kerbau berdiri tegak". Hal ini lebih jelas lagi dengan menghias pucuk atap dengan kepala kerbau.

e.      Kerajinan Rakyat
Kain Ulos khas Danau Toba merupakan salah satu kerajinan tradisional Batak yang sangat terkenal. Kain yang didominasi warna merah, hitam, dan putih ini biasanya ditenun dengan benang berwarna emas dan perak. Dahulu, kain ini hanya digunakan sebagai selendang dan sarung untuk pasangan kebaya, namun pada saat ini telah mengalami modifikasi sehingga lebih menarik dan bernilai ekonomis, misalnya dijadikan sebagai produk suvenir, sarung bantal, ikat pinggang, tas, pakaian, alas meja, dasi, dompet, dan kain gorden.
Kain yang diproduksi secara home industry di desa Perbaba, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatra Utara, Indonesia ini cara pembuatan dan alatnya sama seperti pembuatan kain songket khas Palembang. Para pengrajin, sambil duduk dengan penuh kesabaran, menenun untaian benang berwarna emas dan perak untuk menghasilkan sebuah kain ulos yang indah dan artistik. Harga Kain Ulos cukup bervariasi mulai dari puluhan ribu hingga jutaan rupiah, tergantung kepada jenis ulosnya.
Bagi orang Batak, Kain Ulos tidak saja digunakan untuk pakaian sehari-hari, tetapi juga untuk upacara adat. Pemakaian kain ini secara garis besar ada tiga cara, yaitu dengan siabithononton (dipakai), sihadanghononton (dililit di kepala atau bisa juga ditenteng), sitalitalihononton (dililit di pinggang). Namun demikian, tidak semua jenis Kain Ulos dapat dipakai dalam aktivitas sehari-hari. Dalam keseharian, laki-laki Batak menggunakan sarung tenun bermotif kotak-kotak, tali-tali dan baju berbentuk kemeja kurung berwarna hitam, tanpa alas kaki.
Bagi orang Batak, Kain Ulos tidak sekedar kain yang berfungsi melindungi tubuh dari hawa dingin, tetapi juga berfungsi simbolik, khususnya yang berkaitan dengan adat istiadat orang Batak. Kain Ulos dari jenis tertentu dipercaya mengandung kekuatan mistis dan dianggap keramat serta memiliki daya magis untuk memberikan perlindungan kepada pemakainya.
Kain Ulos juga menjadi bagian penting dalam upacara adat masyarakat Batak. Bilamana dalam suatu upacara adat Kain Ulos tidak digunakan atau diganti dengan kain yang lain, seperti dalam upacara kelahiran, kematian, pernikahan, memasuki rumah, atau upacara-upacara adat lainnya, maka pelaksanaan upacara adat menjadi tidak sah.
Kain ulos mempunyai beraneka macam jenis, di antaranya: bintang maratur, ragiidup, sibolang, ragihotang, mangiring, dan sadum. Aneka macam jenis Ulos tersebut mempuyai tingkat kerumitan, nilai, dan fungsi yang berbeda-beda. Semakin rumit pembuatan sebuah Ulos, maka nilainya semakin tinggi dan harganya juga semakin mahal.
Pada suku Pakpak ada tenunan yang dikenal dengan nama oles. Bisanya warna dasar oles adalah hitam kecokelatan atau putih.
Pada suku Karo ada tenunan yang dikenal dengan nama uis. Bisanya warna dasar uis adalah biru tua dan kemerahan.
Pada suku Pesisir ada tenunan yang dikenal dengan nama Songket Barus. Biasanya warna dasar kerajinan ini adalah Merah Tua atau Kuning Emas.

f.        Legenda

     Legenda Tuak
Tumbuhan enau atau aren dapat menghasilkan banyak hal, yang menjadikannya populer sebagai tanaman serba-guna, setelah tumbuhan kelapa. Salah satunya adalah tuak(nira).
Dalam tradisi orang Batak, tuak juga digunakan pada upacara-upacara tertentu, seperti upacara manuan ompu-ompu dan manulangi. Pada upacara manuan ompu-ompu, tuak digunakan untuk menyiram beberapa jenis tanaman yang ditanam di atas tambak orang-orang yang sudah bercucu meninggal dunia. Sementara dalam upacara manulangi, tuak merupakan salah satu jenis bahan sesaji yang mutlak dipersembahkan kepada arwah seseorang yang telah meninggal dunia oleh anak-cucunya.
Menurut cerita, pohon enau merupakan jelmaan dari seorang gadis bernama Beru Sibou. Peristiwa penjelmaan gadis itu diceritakan dalam sebuah cerita rakyat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Tanah Karo, Sumatera Utara. Cerita itu mengisahkan tentang kesetiaan si Beru kepada abangnya, Tare Iluh. Ia tidak tega melihat penderitaan abangnya yang sedang dipasung oleh penduduk suatu negeri.
Alkisah, pada zaman dahulu kala di sebuah desa yang terletak di Tanah Karo, Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Yang pertama seorang laki-laki bernama Tare Iluh, sedangkan yang kedua seorang perempuan bernama Beru Sibou. Keluarga kecil itu tampak hidup rukun dan bahagia.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena sang suami sebagai kepala rumah tangga meninggal dunia, setelah menderita sakit beberapa lama. Sepeninggal suaminya, sang istri-lah yang harus bekerja keras, membanting tulang setiap hari untuk menghidupi kedua anaknya yang masih kecil. Oleh karena setiap hari bekerja keras, wanita itu pun jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Si Tare dan adik perempuannya yang masih kecil itu, kini menjadi anak yatim piatu.
Waktu terus berjalan. Si Tare Iluh tumbuh menjadi pemuda yang gagah, sedangkan adiknya, Beru Sibou, tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sebagai seorang pemuda, tentunya Si Tare Iluh sudah mulai berpikiran dewasa. Oleh karena itu, ia memutuskan pergi merantau untuk mencari uang dari hasil keringatnya sendiri, karena ia tidak ingin terus-menerus menjadi beban bagi orang tua asuhnya.
Beru Sibou menunggu kepulangan Tare Lluh. Namun bertahun-tahun tak ada kabar dari Tare Lluh. Sampai akhirnya datang kabar bahwa abangnya dipasung di negeri orang karena kalah bermain judi dan hutangnya yang menumpuk. Beru pun sedih, ia nekat mencari abangnya dengan berjalan kaki. Ditengah perjalanan ia bertemu seorang kakek, dan meanyakan keberadaan abangnya, tetapi kakek itu malah menyarankannya untuk memanjat sebuah pohon yang tinggi dan bernyanyilah di puncak sambil memanggil nama abangmu.
Tanpa berpikir panjang lagi, ia segera mencari pohon yang tinggi kemudian memanjatnya hingga ke puncak. Sesampainya di puncak, si Beru Sibou segera bernyanyi dan memanggil-manggil abangnya sambil menangis. Ia juga memohon kepada penduduk negeri yang memasung abangnya agar sudi melepaskannya. Ia terus bernyanyi dan berteriak berjam-jam hingga kehabisan tenaga. Akhirnya, ia pun segera mengangkat kedua tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa. “Ya, Tuhan! Tolonglah hambamu ini. Aku bersedia melunasi semua hutang abangku dan merelakan air mata, rambut dan seluruh anggota tubuhku dimanfaatkan untuk kepentingan penduduk negeri yang memasung abangku.”
Baru saja kalimat permohonan itu lepas dari mulut si Beru Sibou, tiba-tiba angin bertiup kencang, langit menjadi mendung, hujan deras pun turun dengan lebatnya diikuti suara guntur yang menggelegar. Sesaat kemudian, tubuh si Beru Sibou tiba-tiba menjelma menjadi pohon enau. Air matanya menjelma menjadi tuak atau nira yang berguna sebagai minuman. Rambutnya menjelma menjadi ijuk yang dapat dimanfaatkan untuk atap rumah. Tubuhnya menjelma menjadi pohon enau yang dapat menghasilkan buah kolang-kaling untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan atau minuman.
Demikianlah cerita “Kisah Pohon Enau” dari daerah Sumatera Utara. Hingga kini, masyarakat Tanah Karo meyakini bahwa pohon enau adalah penjelmaan si Beru Sibou. Untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk Tanah Karo pada jaman dahulu setiap ingin menyadap nira, mereka menyanyikan lagu enau.
Ø      Asal Usul Orang Nias
Menurut Legenda yang sangat dipercayai oleh sebagian masyarakat Nias terutama yang tinggal di pedesaan, bahwa asal usul orang Nias adalah diturunkan dari langit (NIDADA MOROI BA LANGI). Hal ini dilatarbelangi oleh keterbatasan pemahaman / pengetahuan mereka mengenai ilmu pengetahuan, sehingga beranggapan bahwa didunia ini hanya ada satu daratan yaitu hanya daratan Pulau Nias atau TANÖ NIHA, itulah sebabnya orang Nias menyebut dirinya sebagai ONO NIHA.
Ø      Legenda Batu Gantung (Legenda Kota Parapat)
Alkisah, di sebuah desa terpencil di pinggiran Danau Toba Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri dengan seorang anak perempuannya yang cantik jelita bernama Seruni. Selain rupawan, Seruni juga sangat rajin membantu orang tuanya bekerja di ladang. Setiap hari keluarga kecil itu mengerjakan ladang mereka yang berada di tepi Danau Toba, dan hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Pada suatu hari, Seruni pergi ke ladang seorang diri, karena kedua orang tuanya ada keperluan di desa tetangga. Seruni hanya ditemani oleh seekor anjing kesayangannya bernama si Toki. Sesampainya di ladang, gadis itu tidak bekerja, tetapi ia hanya duduk merenung sambil memandangi indahnya alam Danau Toba. Sepertinya ia sedang menghadapi masalah yang sulit dipecahkannya. Sementara anjingnya, si Toki, ikut duduk di sebelahnya sambil menatap wajah Seruni seakan mengetahui apa yang dipikirkan majikannya itu.
Beberapa hari terakhir wajah Seruni selalu tampak murung. Ia sangat sedih, karena akan dinikahkan oleh kedua orang tuanya dengan seorang pemuda yang masih saudara sepupunya. Padahal ia telah menjalin asmara dengan seorang pemuda pilihannya dan telah berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia.
Beberapa saat kemudian, Seruni beranjak dari tempat duduknya. Dengan berderai air mata, ia berjalan perlahan ke arah Danau Toba, tanpa memerhatikan jalan yang dilaluinya. Tanpa diduga, tiba-tiba ia terperosok ke dalam lubang batu yang besar hingga masuk jauh ke dasar lubang. Batu cadas yang hitam itu membuat suasana di dalam lubang itu semakin gelap. Gadis cantik itu sangat ketakutan. Di dasar lubang yang gelap, ia merasakan dinding-dinding batu cadas itu bergerak merapat hendak menghimpitnya. Dinding-dinding batu cadas itu bergerak semakin merapat. “Parapat[2]… ! Parapat batu… Parapat!” seru Seruni menyuruh batu itu menghimpit tubuhnya.
Sesaat kemudian, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Bumi bergoyang dengan dahsyatnya seakan hendak kiamat. Lubang batu itu tiba-tiba menutup sendiri. Tebing-tebing di pinggir Danau Toba pun berguguran. Ayah dan ibu Seruni beserta seluruh warga berlari ke sana ke mari untuk menyelamatkan diri. Mereka meninggalkan mulut lubang batu, sehingga Seruni yang malang itu tidak dapat diselamatkan dari himpitan batu cadas.
Beberapa saat setelah gempa itu berhenti, tiba-tiba muncul sebuah batu besar yang menyerupai tubuh seorang gadis dan seolah-olah menggantung pada dinding tebing di tepi Danau Toba. Masyarakat setempat mempercayai bahwa batu itu merupakan penjelmaan Seruni yang terhimpit batucadas di dalam lubang. Oleh mereka batu itu kemudian diberi nama “Batu Gantung”.
Oleh karena kata “parapat” sering diucapkan orang dan banyak yang menceritakannya, maka Pekan yang berada di tepi Danau Toba itu kemudian diberi nama “Parapat”. Parapat kini menjadi sebuah kota kecil salah satu tujuan wisata yang sangat menarik di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.
g.      Wisata Ziarah

       Taman Wisata Iman Dairi di Kabupaten Dairi, Sumatra Utara
Disini anda dapat melakukan DOA KHUSUS di Rumah doa yang sudah disediakan, Menyaksikan Miniature SALIB YESUS, Mengikuti Jalan Salib, anda dapat berdoa sesuai dengan keyakinan masing-masing, karena ditempat ini ada 5 (lima) Agama yang dianut di Indonesia.

      Makam Sisingamangaraja XII
Makam Sisingamangaraja XII di Pagarbatu, Kecamatan Balige Toba Samosir, Sumatra Utara. Raja Sisingamangaraja merupakanpahlawan nasional Indonesia yang bergelar Ompu Pulo Batu merupakan seorang penguasa daerah Tapanuli, pada akhir abad ke-19. Beliau wafat pada 17 Juni 1907 saat membela diri dari serangan pasukan Belanda.
Gelar Singamangaraja merupakan gelar kelompok turun temurun yang memiliki keistimewaan "sahala" (wibawa). "Karena keistimewaan dan kearifan yang dimiliki secara turun temurun, mereka sangat dihormati oleh sebagian besar orang Batak.Makam berjarak sekitar dua kilometer dari kota Balige.
 
      Makam Raja Sidabutar
Makam Raja Sidabutar, berada di Tomok, makam yang terbuat dari batu utuh tanpa persambungan yang dipahat untuk tempat peristirahatan Raja Sidabutar penguasa kawasan Tomok pada masa itu. Sidabutar merupakan orang pertama yang menginjakan kakinya di Pulau Samosir. Kuburan yang sudah berumur 200 tahun itu, merupakan kubur batu. Pada batu itu, selain dipahatkan wajah sang raja, juga dipahatkan wajah seorang gadis yang konon sangat cantik. Kepadanyalah raja sangat mencintai, namun sayang bertepuk sebelah tangan. Di komplek itu pula terdapat patung orang Aceh yang bijak dan menjadi penasihat raja. Sekaligus menjadi penglima perang yang sangat dipercaya.


h.      Wisdom
Masuk di lingkungan baru tentusaja berjumpa dengan penguasa, atau yang dituakan dikawasan itu. Rasa hormat dan penghormatan tentu ditunjukkan oleh seorang Batak. Apabila ada suatu instruksi atau kewajiban yang wajar maka seorang Batak akan patuh tanpa pamrih demi kebersamaan disuatu lingkungan. Hal ini terlihat dari pepatah yang selalu diajarkan kepada seorang Batak seperti “Baris-baris ni gaja dirura Pangaloan, molo marsuru raja dae do so oloan” yang artinya kira-kira, “Gajah berbaris-baris di lembah Pangaloan, kalau raja yang menyuruh tak mungkinlah dilawan.” Disini terlihat bahwa seorang Batak selalu bersikap tanpa pamrih apabila memang sewajarnya sesuai hierarkinya, karena dalam budaya Bangsa Batakpun berlaku yang disebut Dalihan Natolu dan Tarombo yang menyiratkan bahwa ada posisi kedudukan yang saling bergantian dalam tatanan kemasyarakatan.  Bahkan seorang yang dituakan atau disebut raja harus diagungkan dengan sesungguhnya dan bukan hanya manis dibibir. Hal ini terlihat dalam petuah berikut, “Dijolo raja sipareahan, di pudi sipaimaon” yang diartikan “Bila raja di depan harus diagungkan, dan bila dibelakangpun harus dinantikan.” Sikap ini memang benar-benar dipraktekkan oleh seorang Batak, karena mereka akan merasa malu bila dikatakan seperti petuah berikut, “Unang songon ulubalang so mida musu” yang artinya bahwa seorang Batak tidak boleh seperti hulubalang yang tidak melihat musuh, beraninya hanya dibelakang layar.

4.     SEBUAH ANALISIS
a)     Situs-situs Sejarah yang Potensial

     Keunggulannya :

Situs-situs sejarah yang ada di Sumatera Utara semuanya mempunyai daya tarik yang tinggi dan berpotensi untuk dijadikan objek wisata. Karena bangunan-bangunannya serta barang-barang yang ada dan kondisinya masih sama seperti dahulu, sehingga sangat cocok bagi pengunjung yang menyukai dan mempelajari wisata-wisata sejarah ataupun hanya sekedar melihat dan berkunjung saja, mengagumi kekayaan yang ada.  
 
     Kendala dan Penyelesaian :

Tak semua situs yang menarik ini layak dikunjungi, karena ada beberapa yang mengalami kendala dan memerlukan perbaikan, meskipun sebenarnya tempat ini sangat menarik untuk dikunjungi. Namun ada beberapa kendala yang dihadapi, seperti bangunan yang usang , sehingga bisa runtuh sewaktu-waktu dan membahayakan pengunjung, selain itu akses dan transportasi yang lumayan sulit dan agak jauh, sehingga pengunjung membutuhkan waktu dan usaha yang cukup lama untuk menuju lokasi. Sarana dan prasarana yang disediakan juga masih buruk dan barang-barang peninggalan yang kurang terawat dengan baik, karena masih kurangnya perhatian dan kurangnya kerjasama yang baik dari pemerintah maupun masyarakat sekitar, serta pengunjung. Sebagai contoh : banyaknya sampah yang berserakan di sekitar objek, barang-barang di museum yang tampak usang dan kotor, cat-cat tembok yang mengelupas, objek-objek yang aksesnya sulit dan tidak tersedia transportasi, serta sarana dan prasarana yang buruk. Selain itu, masih kurangnya promosi untuk objek-objek yang menarik ini.
Sebaiknya kendala-kendala yang ada segera diperbaiki dan diselesaikan masalahnya. Agar para pengunjung bisa nyaman dan lebih banyak lagi yang berkunjung. Karena kepuasan pengunjung adalah kepuasan kita juga. Kita harus mampu untuk memenuhi kebutuhan para pengunjung, karena banyak yang akan semakin banyak yang tertarik akan situs-situs sejarah yang ada disini, apabila tempatnya layak untuk dikunjungi dan memenuhi kebutuhannya. Untuk mengatasinya sebaiknya melakukan:
·         Perbaikan bangunan-bangunan yang hampir runtuh dan mengecat tembok-tembok yang usang, tanpa merubah bentuk aslinya.
·         Menyediakan sarana dan prasarana yang baik di semua objek situs sejarah.
·         Mengganti dan memperbaiki barang-barang museum yang sudah tak layak, misal: dengan membersihkan secara rutin, dan membuat replikanya.
·         Menyediakan akses yang mudah, misal: dengan membuat jalur alternatif dengan jalan yang bagus dan transportasi yang memadai.
·         Melakukan promosi lebih banyal lagi, misal : lewat internet,majalah, koran, elektronik, atau menyebar pamflet dan memasang banner.
·         Menyediakan dan memberikan info-info yang menarik dan jelas bagi pengunjung.
·         Melakukan perawatan secara rutin untuk semua objek bersejarah dan tetap mempertahankan nilai sejarah yang ada.

b)    Situs Budaya / Khasanah Budaya

     Keunggulannya :

Situs Budaya/Khasanah Budaya yang dimiliki Sumatera Utara sangat beragam dan unik, masing-masing memiliki ciri khas yang berbeda di setiap daerah. Budayanya masih sangat kental, selain itu kesenian dan tradisinya juga masih rutin dilakukan oleh beberapa masyarakatnya, terutama masyarakat pedalaman. Budayanya beragam dan unik, sangat menarik dijadikan objek wisata. Apalagi ada perkampungan yang khusus membuat kain ulos khas Sumatera Utara, kita bisa juga belajar dan merasakan kehidupan mereka. Benar-benar sesuatu yang berbeda dan menarik untuk dikunjungi. Bangunan-bangunan arsitekturnya juga sangat unik dan masih kental dengan hukum adat yang ada, begitu juga dengan keseniannya.
  
          Kendala dan Penyelesaian :

Ada yang menjadi kendala dalam pelaksanaan tradisi ataupun warisan-warisan budaya yang ada, karena masih banyak orang yang belum mengetahui tentang budaya dan seni, serta objek-objek wisata ziarah. Transportasi menuju lokasi sangat jarang, bahkan nyaris tidak ada, selain itu, akses menuju lokasi juga jauh dan jalan yang kurang memadai. Warisan budaya, kesenian, makam, serta objek lainnya ini bisa saja menjadi punah, apabila tidak dilakukan secara turun temurun, bisa hilang dimakan zaman modern seperti sekarang ini. Dibutuhkan usaha yang keras untuk tetap dapat mempertahankan warisan /khasanah budaya yang ada.
Berdasarkan hal tersebut diharapkan masyarakat setempat turut berpartisipasi dalam mempertahankan dan memaksimalkan potensi situs-situs budaya di Provinsi Sumatera Utara. Promosi hendaknya dilakukan secara terus-menerus agar situs-situs budaya Provinsi Sumatera Utara makin dikenal oleh khalayak ramai dan mendunia.
 
       PENUTUP

Sumatera Utara mempunyai warisan sejarah dan budaya yang tidak kalah menarik dengan kawasan lain di Indonesia, tetapi kurang dimanfaatkan secara efektif. Beberapa situs sejarah seperti Barus, Portibi, Benteng Putri Hijau, Kota Cina, maupun makam Raja Sidabutar, batu persidangan Siallagan, ataupun tradisi megalitik Nias masih saja terlantar dan lama kelamaan menjadi hilang dari wujud nyatanya dan lama kelamaan hanya ada dalam ingatan sebagian masyarakat saja. Selain itu, beberapa bangunan bersejarah seperti yang ada di Medan dan beberapa kota di Sumatra Utara juga masih ada yang luput dari perhatian penyelamatan sehingga lambat laun juga bisa menjadi hilang. Akibatnya situs maupun bangunan bersejarah sebagai warisan kebanggaan masyarakat Sumatera Utara itu tidak pernah menjadi objek atau destinasi wisata yang menarik yang mampu menyerap wisatawan secara bermanfaat dan ekonomis.
Peninggalan sejarah yang cukup banyak ini ternyata belum mampu menyerap wisatawan banyak, ini terjadi karena belum maksimalnya pemanfaatan yang dilakukan pada objek-objek dan peninggalan yang ada. Karena kebanyakan para investor maupun pemerintah hanya fokus terhadap objek wisata alam dan penginapannya saja untuk menunjang kepuasan pengunjung. Padahal banyak situs-situs sejarah budaya yang sangat berpotensi tinggi dan beragam, serta memiliki keunikan, yang seharusnya diseimbangkan dengan pembangunan ataupun perbaikan bagi objek wisata alam. Bila tidak dilakukan perbaikan dan pertahanan secara segera, maka bisa-bisa warisan sejarah dan budaya ini, hilang dimakan zaman modern seperti ini.
Hal ini sangat berbeda dengan kondisi di luar negeri seperti Inggris contohnya, yang tetap merawat dan menjadikan wisata sejarah dan budayanya menjadi wisata unggulan dibandingkan dengan wisata alamnya, sehingga seimbang antara wisata alam dan sejarah budayanya dan dapat menyerap pengunjung. Mereka melakukan perawatan secara rutin dan ada badan yang dibentuk khusus untuk mengelola situs sejarah dan budaya, maupun benda-benda cagar budaya.
Inilah yang harusnya dicontoh dan diterapkan di Indonesia, agar situs-situs sejarah dan budaya yang ada tetap ada, dan tak akan hilang dan tak terlupakan begitu saja. Serta menjadikannya sebagai objek wisata unggulan, karena keunikannya, keragamannya, serta nilai sejarah yang tinggi.. J
Demikian tulisan akhir saya, terima kasih.. J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar