Minggu, 09 Januari 2011

POTENSI WISATA KALIMANTAN TIMUR
SEBUAH ANALISIS PENJELAJAHAN AWAL

1.PENDAHULUAN.
GAMBARAN UMUM KALIMANTAN TIMUR
Kalimantan Timur


Locator east kalimantan.png
Peta lokasi Kalimantan Timur

2º 25' LS - 4º 24' LU
113º 44' - 119º 00' BT

Dasar hukum

Tanggal penting



245.237,80 km² [1]

3.094.700 jiwa (2008) [2]

Kepadatan
11,22 jiwa/km² [1]

10

4

122[3]

191 / 1.347[3]

Suku
Jawa Transmigran (29,55%), Bugis Transmigran (18,26%), Banjar (13,94%), Dayak (9,91%) dan Kutai (9,21%) dan suku lainnya 19,13%. [4]

Islam (82,3%), Kristen (Protestan & Katolik) (16,4%), Hindu (0,58%), dan Budha (0,78%) (2009)[5]


WITA (UTC+8)

Indung-Indung, Buah Bolok, Lamin Talunsur


Mandau, Bujak, Serepang, Kelibit, Sumpit, Gayang

Singkatan
{{{singkatan}}}


Referensi: {{{ref}}}


Situs web resmi: www.kaltimprov.go.id

Kalimantan Timur adalah wilayah yang berstatus provinsi di Indonesia. Provinsi ini merupakan salah satu dari empat provinsi di Kalimantan.
Kalimantan Timur merupakan provinsi terluas kedua di Indonesia, dengan luas wilayah 245.237,80 km2 atau sekitar satu setengah kali Pulau Jawa dan Madura atau 11% dari total luas wilayah Indonesia. Provinsi ini berbatasan langsung dengan negara tetangga, yaitu Negara Bagian Sabah dan Serawak, Malaysia Timur.[3]
  •  

Sejarah

Sebelum masuknya suku-suku dari Sarawak dan suku-suku pendatang dari luar pulau, wilayah ini sangat jarang penduduknya. Sebelum kedatangan Belanda terdapat beberapa kerajaan yang berada di Kalimantan Timur, diantaranya adalah Kerajaan Kutai (beragama Hindu), Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura, Kesultanan Pasir dan Kesultanan Bulungan.
Menurut Hikayat Banjar, wilayah Kalimantan Timur (Pasir, Kutai, Berau, Karasikan) merupakan sebagian dari wilayah taklukan Kesultanan Banjar, bahkan sejak jaman Hindu. Dalam Hikayat Banjar menyebutkan bahwa pada paruh pertama abad ke-17 Sultan Makassar meminjam tanah sebagai tempat berdagang meliputi wilayah timur dan tenggara Kalimantan kepada Sultan Mustain Billah dari Banjar pada waktu Kiai Martasura diutus ke Makassar dan mengadakan perjanjian dengan I Mangngadaccinna Daeng I Ba’le’ Sultan Mahmud Karaeng Pattingalloang, yaitu Sultan Tallo yang menjabat mangkubumi bagi Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun 1638-1654 yang akan menjadikan wilayah Kalimantan Timur sebagai tempat berdagang bagi Kesultanan Makassar (Gowa-Tallo), [6] dengan demikian mulai berdatanganlah etnis asal Sulawesi Selatan. Sejak 13 Agustus 1787, Sultan Tahmidullah II dari Banjar menyerahkan Kalimantan Timur mejadi milik perusahaan VOC Belanda dan Kesultanan Banjar sendiri dengan wilayahnya yang tersisa menjadi daerah protektorat VOC Belanda.
Sesuai traktat 1 Januari 1817, Sultan Sulaiman dari Banjar menyerahkan Kalimantan Timur, Kalimatan Tengah, sebagian Kalimantan Barat dan sebagian Kalimantan Selatan (termasuk Banjarmasin) kepada Hindia-Belanda. Pada tanggal 4 Mei 1826, Sultan Adam al-Watsiq Billah dari Banjar menegaskan kembali penyerahan wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, sebagian Kalimantan Barat dan sebagian Kalimantan Selatan kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda. [7] Pada tahun 1846, Belanda mulai menempatkan Asisten Residen di Samarinda untuk wilayah Borneo Timur (sekarang provinsi Kalimantan Timur dan bagian timur Kalimantan Selatan) bernama H. Von Dewall. [8]
provinsi Kalimantan Timur selain sebagai kesatuan administrasi, juga sebagai kesatuan ekologis dan historis. Kalimantan Timur sebagai wilayah administrasi dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1956 dengan gubernurnya yang pertama adalah APT Pranoto.
Sebelumnya Kalimantan Timur merupakan salah satu karesidenan dari Provinsi Kalimantan. Sesuai dengan aspirasi rakyat, sejak tahun 1956 wilayahnya dimekarkan menjadi tiga provinsi, yaitu Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat.

Pembentukan Provinsi Kalimantan Timur

Daerah-daerah Tingkat II di dalam wilayah Kalimantan Timur, dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 27 Tahun 1959, Tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Tahun 1955 No.9).
Lembaran Negara No.72 Tahun 1959 terdiri atas:
  • Pembentukan 2 kotamadya, yaitu:
  1. Kotamadya Samarinda, dengan Kota Samarinda sebagai ibukotanya dan sekaligus sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Timur.
  2. Kotamadya Balikpapan, dengan kota Balikpapan sebagai ibukotanya dan merupakan pintu gerbang Kalimantan Timur.
  • Pembentukan 4 kabupaten, yaitu:
  1. Kabupaten Kutai, dengan ibukotanya Tenggarong
  2. Kabupaten Pasir, dengan ibukotanya Tanah Grogot.
  3. Kabupaten Berau, dengan ibukotanya Tanjung Redeb.
  4. Kabupaten Bulungan, dengan ibukotanya Tanjung Selor.

Pembentukan Kota dan Kabupaten Baru

Gedung DPRD Kaltim
Berdarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 1981, maka dibentuk Kota Administratif Bontang di wilayah Kabupaten Kutai dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1989, maka dibentuk pula Kota Madya Tarakan di wilayah Kabupaten Bulungan. Dalam Perkembangan lebih lanjut sesuai dengan ketentuan di dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah, maka dibentuk 2 Kota dan 4 kabupaten, yaitu:
  1. Kabupaten Kutai Barat, beribukota di Sendawar
  2. Kabupaten Kutai Timur, beribukota di Sangatta
  3. Kabupaten Malinau, beribukota di Malinau
  4. Kabupaten Nunukan, beribukota di Nunukan
  5. Kota Bontang (peningkatan kota administratif Bontang menjadi kotamadya)
Berdasarkan pada Peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 2002, maka Kabupaten Pasir mengalami pemekaran dan pemekarannya bernama Kabupaten Penajam Paser Utara.
Pada tanggal 17 Juli 2007, DPR RI sepakat menyetujui berdirinya Tana Tidung sebagai kabupaten baru di Kalimantan Timur, maka jumlah keseluruhan kabupaten/kota di Kalimantan Timur menjadi 14 wilayah. Pada tahun yang sama, nama Kabupaten Pasir berubah menjadi Kabupaten Paser berdasarkan PP No. 49 Tahun 2007.

Pemerintahan

Gubernur

No.
Foto
Nama
Dari
Sampai
1.
Aji pangeran tumenggung.jpg
2.
Inche Abdoel Moeis.jpg
3.
03-Gubernur-03 A Moes Hasan.jpg
4.
Soekadio.jpg
5.
Abdulwahabsyahranie.jpg
6.
Errysoepardjan.jpg
7.
Soewandi-roestam.jpg
8.
09-gubernur-09 HM Ardans.jpg
9.
10-Gubernur-10 Suwarna AF.jpg
10.
Yurnalisngayoh.jpg

Tarmizi abdul karim.JPG
11.
Drs H Awang Faroek Ishak, MM, M.Si.jpg
sekarang

 

Daftar wakil gubernur

No.
Nama
Dari
Sampai
Keterangan
1.
H.M. Ardans, SH

2.

3.
Suwarna A.F.

4.

5.

6.
Drs. Yurnalis Ngayoh

7.
sekarang

Saat ini Gubernur dijabat oleh Awang Faroek Ishak. Ia mencalonkan diri sebagai menjadi Gubernur Kalimantan Timur pada tahun 2008 dan akhirnya terpilih pada putaran kedua dan dilantik pada 17 Desember 2008.

Pembantu Gubernur

Selanjutnya sebagai perpanjangan tangan dari Gubernur Kepala Dearah Provinsi Kalimantan Timur dalam mengelola Administrasi Pemerintahan dan Pembangunan di daerah ini, dibentuk 2 (dua) Pembantu Gubernur yang bertugas Mengkoordinir Wilayah Utara dan Wilayah Selatan, yaitu:
  1. Pembantu Gubernur Wilayah Utara, berkedudukan di Kota Tarakan yang dalam hal ini merupakan perpanjangan tangan gubernur untuk Wilayah Kabupaten Berau, Bulungan dan Kota Administratif Tarakan.
  2. Pembantu Gubernur Wilayah Selatan, berkedudukan di Kota Balikpapan yang dalam hal ini merupakan perpanjangan tangan gubernur untuk Kotamadya Balikpapan, Kabupaten Kutai, Kabupaten Paser dan Kota Administratif Bontang.
Kemudian institusi dua Pembantu Gubernur Kalimantan Timur Wilayah Selatan dan Utara tersebut telah ditiadakan sejak tahun 1999. Kebijakan penghapusan institusi ini semata-mata untuk memenuhi ketentuan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.

Kabupaten dan Kota

Wilayah Provinsi Kalimantan Timur dibagi menjadi 10 kabupaten dan 4 kota, yaitu:
No.
Kabupaten/Kota
Ibu kota
1
Tanjungredep
2
Tanjungselor
3
Sendawar
4
Tenggarong
5
Sangatta
6
Malinau
7
Nunukan
8
Tanah Grogot
9
Penajam
10
Tideng Pale
11
-
12
-
13
-
14
-

 

Kondisi Geografis dan Sumber Daya Alam

Salah satu kawasan Hutan hujan tropis di Pujungan, Malinau.
Kalimantan Timur merupakan provinsi terluas di Indonesia dengan luas wilayah kurang lebih 245.237,80 km² atau sekitar satu setengah kali Pulau Jawa dan Madura atau 11% dari total luas wilayah Indonesia. Provinsi ini berbatasan langsung dengan negara tetangga, yaitu Negara Bagian Sabah dan Serawak, Malaysia Timur. [14]

Keanekaragaman Hayati

Di Kalimantan Timur kira-kira tumbuh sekitar 1000-189.000 jenis tumbuhan,[rujukan?] antara lain anggrek hitam yang harga per bunganya dapat mencapai Rp, 100.000,- hingga Rp, 500.000,-

Sumber Daya Alam

Masalah sumber daya alam di sini terutama adalah penebangan hutan ilegal yang memusnahkan hutan hujan, selain itu Taman Nasional Kutai yang berada di Kabupaten Kutai Timur ini juga dirambah hutannya. Kurang dari setengah hutan hujan yang masih tersisa, seperti Taman Nasional Kayan Mentarang di bagian utara provinsi ini. Pemerintah lokal masih berusaha untuk menghentikan kebiasaan yang merusak ini.

Perekonomian

Hasil utama provinsi ini adalah hasil tambang seperti minyak, gas alam dan batu bara. Sektor lain yang kini sedang berkembang adalah agrikultur, pariwisata dan industri pengolahan.
Beberapa daerah seperti Balikpapan dan Bontang mulai mengembangkan kawasan industri berbagai bidang demi mempercepat pertumbuhan perekonomian. Sementara kabupaten-kabupaten di Kaltim kini mulai membuka wilayahnya untuk dibuat perkebunan seperti kelapa sawit dan lain-lain.
Kalimantan Timur memiliki beberapa tujuan pariwisata yang menarik seperti kepulauan Derawan di Berau, Taman Nasional Kayan Mentarang dan Pantai Batu Lamampu di Nunukan, peternakan buaya di Balikpapan, peternakan rusa di Penajam, Kampung Dayak Pampang di Samarinda, Pantai Amal di Kota Tarakan, Pulau Kumala di Tenggarong dan lain-lain.
Tapi ada kendala dalam menuju tempat-tempat di atas, yaitu transportasi. Banyak bagian di provinsi ini masih tidak memiliki jalan aspal, jadi banyak orang berpergian dengan perahu dan pesawat terbang dan tak heran jika di Kalimantan Timur memiliki banyak bandara perintis. Selain itu, akan ada rencana pembuatan Highway Balikpapan-Samarinda-Bontang-Sangata demi memperlancar perekonomian.

Sosial Kemasyarakatan

Tarian dari warga Suku Dayak Kenyah.
Kalimantan Timur memiliki beberapa macam suku bangsa. selama ini yang dikenal oleh masyarakat luas, padahal selain dayak ada 1 suku yang juga memegang peranan penting di Kaltim yaitu suku Kutai. Suku Kutai merupakan suku melayu asli Kalimantan Timur, yang awalnya mendiami wilayah pesisir Kalimantan Timur. Lalu dalam perkembangannya berdiri dua kerajaan Kutai, kerajaan Kutai Martadipura yang berdiri lebih dulu dengan rajanya Mulawarman, lalu berdiri pula belakangan kerajaan Kutai Kartanegara yang kemudian menaklukan Kerajaan Kutai Martadipura, dan lalu berubah nama menjadi kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.
Di Kalimantan Timur terdapat juga banyak suku suku pendatang dari luar, seperti Bugis, Jawa dan Makassar. Bahasa Jawa dan Bahasa Bugis adalah dua dari banyak bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat Kalimantan Timur. Suku Bugis banyak mendiami Kalimantan, Samarinda, Sangatta dan Bontang. Sedangkan suku Jawa banyak mendiami Samarinda dan Balikpapan.

Bahasa Daerah

Bahasa daerah di Kalimantan TimurBahasa-bahasa daerah di Kalimantan Timur merupakan bahasa Austronesia dari rumpun Malayo-Polynesia, diantaranya adalah Bahasa Tidung,Bahasa Banjar, Bahasa Berau dan Bahasa Kutai. Bahasa lainnya adalah Bahasa Lundayeh.

PARIWISATA SENI DAN BUDAYA

OBJEK WISATA KALTIM (KALIMANTAN TIMUR)

Provinsi Kalimantan Timur memiliki sedikitnya 56 objek wisata, antara lain wisata alam yang dibaur dengan budaya daerah, keraton, sejarah, dan bahari, yang tersebar di sejumlah kabupaten dan kota.
wisata kaltim
Misalnya Kabupaten Kutai Barat antara lain Danau Jempang, Taman Anggrek Kersik Luway, Air Terjun Jentur Gemuruh, dan Lamin adat di Desa Tering,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kaltim Firminus Kunum di Samarinda, Jumat (16/10).
“Sebanyak 56 objek wisata itu adalah jumlah minimal, karena masih banyak lagi objek wisata alam menarik yang terus dikembangkan oleh masing-masing kabupaten dan kota di Kaltim,” katanya.
Ia mengatakan di Samarinda juga terdapat tujuh objek wisata yang meliputi Kebun Raya Unmul Samarinda (KRUS), Kawasan Wisata Desa Budaya Pampang, Upacara Pelas Tahun, Air Terjun Tanah Merah, Masjid Raya Darussalam, Tepian Mahakam dan lokasi kerajinan Sarung Samarinda.
Selanjutnya di Kabupaten Kutai Timur terdapat empat lokasi objek wisata bahari dan wisata alam, yakni Pantai Pangandaraan, Goa pangandaran, Goa Gunung Kombeng, dan kawasan Wisata Desa Maiau Baru.
Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) memiliki sedikitnya tiga objek wisata, yakni Pantai Tanjung Jumelai dan Pulau Kwangen. Keduanya terletak di Kecamatan Penajam. Selain itu ada lokasi penangkaran rusa yang terletak di Kecamatan Waru.
Kemudian di Kabupaten Berau terdapat lima objek wisata keraton dan wisata bahari, antara lain Kerajaan Gunung Tabur, bekas Keraton Samba Liung dan Makam Raja. Kemudian ada juga Pulau Derawan yang sudah terkenal keindahannya, Pulau Sangalakidan sejumlah pulai kecil lain.
Kota Bontang sedikitnya memiliki tiga objek wisata, yakni Pulau Beras Beras Basah yang lokasinya berdekatan dengan pabrik LNG, kemudian objek wisata permukiman warga di atas air laut Bontang Kuala dan objek wisata Padang Golf Hotel Bintang Sintuk.

 

 

Lagu Daerah

  • Burung Enggang (bahasa Kutai)
  • Meharit (Bahasa Kutai)
  • Sabar'ai-sabar'ai (Bahasa Banjar)
  • Anjat Manik (Bahasa Berau Benua)
  • Bebilin (Bahasa Tidung)
  • Andang Sigurandang (Bahasa Tidung)
  • Bedone (Bahasa Dayak Benuaq)
  • Ayen Sae (Bahasa Dayak)
  • Sorangan (Bahasa Banjar)
  • Lamin Talunsur (Bahasa Kutai)
  • Buah Bolok (Bahasa Kutai)
  • Aku Menyanyi (Bahasa Kutai)
  • Sungai Kandilo (Bahasa Pasir)
  • Rambai Manguning (Bahasa Banjar)
  • Ading Manis (Bahasa Banjar)
  • Indung-Indung (Bahasa Melayu Berau)
  • Basar Niat (Bahasa Melayu Berau)
  • Berampukan (Bahasa Kutai)
  • Undur Hudang (Bahasa Kutai)
  • Kada Guna Marista (Bahasa Banjar)
  • Tajong Samarinda (Bahasa Kutai)
  • Citra Niaga (Bahasa Kutai)
  • Taman Anggrek Kersik Luwai
  • Ne Poq Batangph
  • Banuangku
  • Kekayaan Alam Etam (Bahasa Kutai)
  • Mambari Maras (Bahasa Banjar)
  • Kambang Goyang (Bahasa Banjar)
  • Apandang Jakku
  • Keledung
  • Ketuyak
  • Jalung
  • Antu
  • Mena Wang Langit
  • Tung Tit
  • To Kejaa
  • Ting Ting Nging
  • Endut-Endut
  • Enjung-Enjung
  • Julun Lajun
  • Sungai Mahakam
  • Samarinda Kota Tepian (Bahasa Kutai)
  • Jagung Tepian
  • Kandania
  • Sarang Kupu
  • Adui Indung
  • Nasi Bekepor (Bahasa Kutai)
  • Nasib Awak
  • Tenau
  • Luwai

Seni Suara

  • Bedeguuq (Dayak Benuaq)
  • Berijooq (Dayak Benuaq)
  • Ninga (Dayak Benuaq)
  • Enluei (Dayak Wehea)

Seni Berpantun

  • Perentangin (Dayak Benuaq)
  • Ngelengot (Dayak Benuaq)
  • Ngakey (Dayak Benuaq)
  • Ngeloak (Dayak Benuaq)

 

 

 

Agama

Masyarakat di Kalimantan Timur menganut berbagai agama yang diakui di Indonesia, yaitu:

Seni dan Budaya

Musik

Tarian

  • Tarian Bedewa dari suku Tidung (Kabupaten Nunukan)
  • Tarian Iluk Bebalon dari suku Tidung (Kota Tarakan)
  • Tarian Besyitan dari suku Tidung (Kabupaten Malinau)
  • Tarian Kedandiu dari suku Tidung (Kabupaten Bulungan)
  • Tarian Gantar dari Suku Dayak Benuaq
  • Tarian Ngeleway dari Suku Dayak Benuaq
  • Tarian Ngerangkaw dari Suku Dayak Benuaq
  • Tarian Kencet dari Suku Dayak Kenyah
  • Penyembuhan Penyakit

Tolak Bala/Hajatan/Selamatan

Perkawinan

Senjata Tradisional

Upacara Adat Kematian










2.SITUS SITUS SEJARAH

A.SITUS SEJARAH
Peninggalan Sejarah Kota Tarakan Borneo - Ardiz Tarakan BorneoTugu Perabuan Jepang
Tugu perabuan Jepang terletak di jalan Markoni Gg.III dengan jarak 4 km dari pusat Kota Tarakan (Borneo), tugu ini merupakan saksi sejarah kehadiran orang-orang Jepang ini berbentuk segi empat pipih di lengkapi dengan tulisan kanji. Tinggi bangunan 2 m, lebar 50 cm bagian dasarnya di buat tiga tingkatan di lengkapi dengan 2 lubang kecil berdiameter 5 cm hal terdapat tulisan kanji yang terdapat pada bagian depan sisi kiri tugu, bangunan persegi ini sebagai tempat upacara penguburan abu jenazah orang-orang Jepang yang meninggal, tugu ini di bangun tahun 1933, hal ini merupakan bukti sejarah awal kedatangan orang-orang jepang di Trakan yang kemungkinan sebagai pedagang dan selanjutnya Trakan di jadikan rute ekspansi tentara Jepang bagian Timur Indonesia pada masa Perang dunia II.

Peninggalan Sejarah Kota Tarakan Borneo - Ardiz Tarakan Borneo
Tugu Australia
Tugu australia merupakan salah satu bukti sejarah pergolakan politik perang dunia II di Tarakan (Borneo), Berlokasi di jalan pulau Kalimantan Kp.Satu 5 km dari pusat Kota atau sekitar 400 meter sebelah timur Kantor Walikota Tarakan (Borneo). tugu ini dibangun untuk mengenang 225 tentara australia Bridge ke-26 devisi 9 yang gugr dalam peperangan pembebasan Tarakan (Borneo) dari tuga kesatuan Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, berasal dari negara bagian Victoria dan Australia Selatan. Banguna ini berbentuk persegi panjang dan pada awalnya monumen tersebut juga difungsikan sebagai tanda pintu gerbang memasuki komplek makam yang berada di bagian utara, Atas permintaan Pemerintah Australia seluruh makam di pindahkan ke negara asalnya.

Wisata Borneo Tarakan Tugu Australia - Ardiz

KOTA TUA DI KALIMANTAN TIMUR:
kota tua di Kalimantan Timur bernama Kota Bangun. Kota ini menjadi bagian dari sejarah Kerajaan Kutai Kertanegara di kawasan Sungai Mahakam. Begitu pula dengan Kota Bangun yang dilalui oleh Sungai Mahakam dan Sungai Belayan.
Terdapat Jembatan Martadipura yang menghubungkan bagian utara dan selatan kota ini. Kota ini terkenal dengan hasil ikan segarnya seperti ikan baong, ikan gabus, dan ikan betutu. Bagi Anda yang pernah melihat atraksi ikan pesut atau lumba-lumba air tawar di Pantai Ancol, Jakarta, bisa jadi itu adalah ikan pesut yang didatangkan dari wilayah perairan Kota Bangun.
Pada hikayat Banjar, cerita tentang Kesultanan Banjarmasin, disebutkan bahwa ada permukiman tertua yang terletak di antara Kabupaten Kutai Kertanegara dan Kerajan Kutai Lama bernama Kota Bangun. Hikayat Banjar ini pernah dibukukan di Malaysia pada 1990 oleh Johannes Jacobus.
Hal yang menarik dari Kota Bangun adalah wisata airnya yang tersebar di beberapa wilayah pemukiman penduduk. Danau Melintang, salah satunya. Tempat wisata yang begitu teduh ini menyimpan keindahan yang tiada duanya ketika matahari baru akan terbit dan menjelang tenggelam. Kicauan burung dan tenangnya aliran air sungai menambah asyiknya menikmati pesona danau yang memiliki teman akrab bernama Danau Semayang ini.
Ketika air Sungai Mahakam surut, kedua danau tersebut akan menyatu. Pada malam hari ketika air Sungai Mahakam sedang naik, kedua danau itu memisahkan diri dengan posisi Danau Melintang terletak di sebelah kanan. Sungguh menarik, bukan ? Ini bukan mitos, Anda bisa membuktikannya sendiri dengan datang ke Kota Bangun.
Seolah Kota Bangun memiliki peradabannya sendiri, Danau Semayang dan Danau Melintang hadir sebagai mata pencaharian penduduk yang bermukim di sepanjang jalur sungai dan danaunya.
Anda juga dapat menemui Desa Melintang, desa terapung khas Kalimantan di atas Danau Melintang yang lebih mirip dengan lautan luas. Banyak perahu yang dirakit dengan tiang-tiang penyangga agar desa tersebut tetap kokoh meskipun angin yang bertiup sedang tidak bersahabat.
Kota Bangun menyimpan keindahan yang tak kalah menarik dari danaunya yaitu sudut Desa Melintang yang terletak di Kecamatan Muara Wis. Di tempat ijni, para penduduknya sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Mereka mengumpulkan ikan yang baru saja mereka tangkap dari sungai, danau, dan rawa di sekitarnya.
Ikan-ikan itu kemudian diolah agar awet dan memiliki nilai jual dengan cara diasap atau diasinkan lalu dijual dengan nama Jukut Salai yang artinya ikan asap. Ikan ini dijual dengan harga kurang dari lima puluh ribu rupiah per kilogramnya.

DESA TRADISIONAL DI KALIMANTAN TIMUR
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEirf7I4q9Fzyb9zZVGMNBPxFynqmcKDF_svN3j0C0lqQfYChcc9kKgPiWRmENm6W5mbvF4L71H0ixDtFrTv7QeMCsIjwLjJFPF95jLt6gbOLKfm2gIKsut7-EL9YorVy0MIIkcFih4yzUs/s320/desa+pampang.jpgJika ke Kalimantan Timur khususnya Samarinda, sebaiknya mengunjungi tempat yang satu ini, yaitu Desa Pampang di Samarinda. Di desa ini kita dapat melihat kebudayaan salah satu suku Dayak yang dipertunjukkan khusus untuk wisatawan. Di sana pengunjung dapat melihat pertunjukkan budaya suku Dayak dan tari-tarian kurang lebih sekitar 2 jam yang dilangsungkan di rumah adat. Di samping itu, juga dapat melihat secara langsung kehidupan masyarakat Dayak.

Penghuni Desa Pampang merupakan orang turunan Dayak Kenyah yang awalnya berdomisili di daerah Apokayan, Kutai Barat. Mereka secara bertahap kemudian pindah dan membentuk pemukiman di daerah Sungai Siring, 20 km dari Kota Samarinda dan menamakan pemukiman tersebut Desa Pampang. Pada tahun 1991, secara resmi Pemerintah Kalimantan Timur menetapkan secara resmi Desa Pampang sebagai Desa Budaya.

Penduduk Desa Pampang menjalankan kehidupan sesuai dengan adat istiadat yang berlaku, mendirikan rumah adat yang disebut Lamin, membuat kerajinan, dan menjalankan upacara adat secara teratur. Meski tetap memegang adat Dayak yang berlaku, penduduk Desa Pampang, tetap tersentuh oleh kemajuan pembangunan. Mereka bersekolah dan memakai pakaian sehari-hari yang sama. Sekarang bahkan sudah jarang ditemui orang Dayak di Desa Pampang yang masih bertelinga panjang.

Saat mengunjungi Desa Pampang, sepanjang jalan masuk dari Gapura Desa Pampang, akan terlihat areal persawahan. Setelah 1 km, terlihat pemukiman penduduk dengan rumah berornamen khas Dayak Kenyah. Dan obyek wisata utama adalah Lamin atau rumah panjang sebagai pusat berlangsungnya kegiatan adat. Di dalam Lamin terdapat ruangan luas dan tinggi nyaris tanpa sekat yang dihiasi dengan ukiran khas yang indah.

Pada hari kerja, kegiatan di Lamin relatif tidak ada, hanya diramaikan oleh para ibu-ibu yang menjual souvenir khas mereka seperti hiasan manik. Beberapa menjual asesoris dengan bahan asli dari binatang seperti gigi beruang madu, tanduk babi, dan sisir dari bulu landak. Bahan asli dari binatang ini dipercaya mempunyai kekuatan magis tertentu untuk penyembuhan penyakit atau penangkal bahaya.

Acara kesenian baru digelar pada hari Minggu dengan jam yang terbatas, yaitu jam 14.00-15.00 WITA. Pengunjung yang akan menyaksikan upacara adat akan ditarik bayaran Rp 2000 dan tiket untuk kendaraaan Rp 5000. Upacara adat besar-besaran diadakan setahun sekali, dikenal dengan nama Pelas Tahun.

Akses menuju Desa Pampang relatif mudah dengan kendaraan pribadi. Dari Kota Samarinda, pengunjung dapat mengambil jalan menuju arah utara, ke arah jalan Kota Bontang. Setelah kurang lebih 20 km akan terlihat gapura Desa Pampang di sebelah kiri jalan. Setelah masuk sekitar 1 km akan terlihat pemukiman penduduk Desa Pampang. Sayang, tidak seluruh jalan masuk dalam keadaan baik.






Situs insitu




Prasasti Kutai atau tiang batu (Yupa)
http://www.cc.cc/img/product/2009/200909/20090911/252066_0_Prasasti_Kutai_Atau_Tiang_Batu_225.jpg
http://www.cc.cc/img/zoom.png
http://www.cc.cc/img/product/2009/200909/20090911/252066_1_Prasasti_Kutai_Atau_Tiang_Batu_225.jpg
http://www.cc.cc/img/zoom.png


http://www.cc.cc/img/product/2009/200909/20090911/252066_0_Prasasti_Kutai_Atau_Tiang_Batu_45.jpghttp://www.cc.cc/img/product/2009/200909/20090911/252066_1_Prasasti_Kutai_Atau_Tiang_Batu_45.jpg







Art

Prasasti Kutai atau tiang batu (Yupa)
Keberadaan prasasti Kutai atau tiang bayu (yupa) merupakan bukti tentang keberadaan kerajaan pertama pertama yang ada di Indonesia. Selain itu keberadaan Yupa di Kalimantan Timur, tepatnya di Bukit Berubus, Muara Kamal yang ditemukan pada tahun 1879 merupakan bukti pertama ditemukannya tulisan di Indonesia. Keberadaan tulisan dalam sejarah manusia, merupakan simbol peradaban yang besar. Dalam ilmu sejarah keberadaan tulisan sebagai bukti bahwa manusia telah masuk kedalam zaman sejarah atau bisa dikatan sudah masuk zaman Nirleka.

Sampai saat ini telah ditemukan sebanyak tujuh buah Yupam, dan kemungkinan masih banyak m, dan kemungkinan masih banyak Yupa-yupa yang lain. Prasasti yang ditemukan di Kalimantan Timur pada asanya hanya ditemukan sekitar empat buah Yupa, seiring dengan berjalannya waktu dan penggalian terhadap benda-benda sejarah terus digalakan maka ditemukan tiga buah Yupa yang lainnya. Menurut Kern, hurup yang dipahat pada yang lainnya. Menurut Kern, hurup yang dipahat pada Yupa itu adalah hurup Palawa yang berasal dari awa abad ke V Masehi, sedangkan bahasanya adalah Sanskerta. Pendirian sebuah Yupa merupakan perintah yang muncul dari seorang penguasa pada masa itu, penguasa yang dimaksud disini adalah Mulawarman. Dari keterangan ini kita bisa memastikan bahwa dia adalah seorang Indonesia asli, karena hakekatnya masih menggunakan nama Indonesia asli, Kudungga.

Prasasti yang ditemukan dan membahas atau menulis tentang silsilah kebedaan Mulawarman, yang dinyatakan sebagai penguasa di Kerajan atau daerah Kutai kuno itu, berbunyi:
Crimatah cri-narendrasya,
Kundungasya mahatmanah,
Putro cvavarmmo vikhyatah,
Vancakartta yathancuman,
Tasya putra mahatmanah,
Trayas traya ivagnayah,
Tesan trayanam pravarah,
Tapo-bala-damanvitah,
Cri mulavarmma rajendro,
Yastpa bahusuvarnnakam,
Tasya yajnasya yupo yam,
Dvijendrais samprakalpitah.

Terjemahan dari isi Yupa trsebut adalah:
“Sang Maharaja Kudungga, yang amat mulia, mempunyai putra yang mashur, Sang Aswawarmman namanya, yang seperti sang Angsuman (=dewa matahari) menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang Aswawarmman mempunyai putra tiga, seperti api (yang suci) tiga. Yang terkemuka dari ketiga putra itu ialah Sang Mulawarmman, raja yang berperadaban baik, kuat dan kuasa. Sang Mulawarmman telah mengadakan kenduri (selamatan yang dinamakan) emas-amat-banyak. Untuk peringatan kenduri (salamatan) itulah tugu batu ini didirikan oleh pra Brahmana.”

Dari Prasasti ini kita dapat mengetahui tentang keberadaan silsilah penguasa daerah Kutai kuno. Dalam prasasti setidak-tidaknya ada menyebutkan tiga angkatan keluarga, dimulai dari Kudungga yang mempunyai anak bernama Aswawarmman, dan Aswawarmman mempunyai tiga orang anak, seorang di antaranya adalah bernama Mulawarmman.

Yang tidak kalah menarik dari keberadaan prasasti ini adalah berita penyebutan pendiri kerajaan (vansakertta/wangsakerta) ialah Aswawarmman, bukan Kudungga ayahnya. Disini justru yang dikayakan sebagai raja pertamanya adalah Aswawarmman, bukan Kudungga. Nama Aswawarmman sudah mengenal berbau nama-nama India, sedangkan nama Kudungga sendiri masih tergolong nama asli Indonesia.

Penunjukan Aswawarmman sebagai raja pertama dimungkinkan bahwa pada masa sebelumnya, yaitu Kudungga masih dalam bentuk keluarga, sedangkan pada masa Aswawarmman sudah mengenal yang namanya sistem tata pemerintahan termasuk tulisan. Hal ini didasari oleh nama yang digunakan dan adanya sebuah tulisan. Dengan adanya pengaruh India dan India sudah sejak lama mengenal sistem kerajaan maka tidak menuntu kemungkinan pada masa Aswawarmman pertama kalinya diterapkan sistem pemerintahan kerajaan, dari yang sebelumnya bersifat kelompok dan keluarga.

Prasasti lain yang dikelurkan oleh Raja Mulawarmman, berbunyi sebagai berikut:
Crimad-viraja-kirtteh
Rajnah cri-mulavarmmanah punyam
Crnantu vipramukhyah
Ye canya sadhavah purusah
Bahudana-jivadanam
Sakalpavrksam sabhumidanan ca
Tesam punyagananam
Yupo yam stahipito vipraih

Terjemahan dari isi prasati diatas adalah:
“dengarkanlah oleh kamu sekalian, Brahmana yang terkemuka, dan sekalian orang baik lain-lainya, tentang kebaikan budi Sang Mulawarmman, raja besar yang sangat mulia. Kebaikan budi ini ialah berwujud sedekah banyak sekali, seolah-olah sedekah kehidupan atau semata-mata pohon Kalpa (yang memberi segaa keinginan), dengan sedekah tanah (yang dihadiahkan).
Berhubungan dengan semua kebaikan itulah tugu in didirikan oleh para Brahmana (sebagai peringatan).”

Dalam prasasti ini menceritakan tentang kebaikan Raja Mulawarmman yang tidak pernah putus memberikan hadiah kepada orang-orang yang dicintainya. Kebaikan ini merupakan sebuah wujud pengabdian seorang pemimpin demi mensejahtrakan rakyatnya dari brbagai golongan.
Prasati yang ketiga berbunyi:
Sri-mulavarmmana rajna
Yad dattan tila-patvvatam
Sa-dipamalaya sarddham
Yupo yam likhitas tayoh

Artinya:
“Tungu ini ditulis untuk (peringatan) dua (perkara) yang telah disedekahkan oleh Sang Raja Mulawarmman, yakni segunung minyak (kental), dengan lampu serta malai bunga.”
Prasasti yang keempat berbuny:
Srimato nrpamukhyasya
Rajnah sri muavarmmanah
Danam punyatame ksetre
Yad dattam vaprakesvare
Dvijatibhyo gnikalpebhyah
Vinsatir nggosahasrikam
Tasya punyasya yupo yam
Krto viprair ihagataih
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

“Sang Mulawarman, raja yang mulia dan terkemuka, telah memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada para brahman yang seperti api, (bertempat) di tanah yang sangat suci (bernama) Waprakeswara. Untuk (peringatan) akan kebaikan budi yang raja itu, tugu ini telah dibuat oleh para brahmana yang datang di tempat ini”.

Prasasti lain yang ditemukan di Wilayah Kutai, berbunyi sebagai berikut:
Sri-mulavarmma rajendra (h) sama vijitya parttya (van)
Karadam nrpatimms cakre yatha raja yudhisthirah
Catvarimsat sahasrani sa dadau vapprakesvare
Ba … trimsat sahasrani punar ddadau
Malam sa punar jivadanam pritagvidham
Akasadipam dharmmatma parttivendra (h) svake pure
… … … … … … … mahatmana
Yupo yam sth (apito) viprair nnana desad iha (gataih//)

Terjemahan dari tulisan diatas adalah sebagai berikut:

“Raja Mulawarman yang tersohor telah mengalahkan raja-raja di medan perang, dan menjadikan mereka bawahannya seperti yang dilakukan oleh raja Yudisthira. Di Waprakeswara Raja Mulawarman menghadiahkan (sesuatu) 40 ribu, lalu 30 ribu lagi. Raja yang saleh tersebut juga memberikan Jivadana dan cahaya terang (?) di kotanya. Yupa ini didirikan oleh para Brahmana yang datang ke sini dari pelbagai tempat”.

Dari berbagai prasasti yang ditemukan di Kalimantan Timur sampai saat ini, kita dapat mengetahui nama-nama berbagai tokoh, serta bagaimana sepak terjang kehidupan mereka dalam menjalankan kepercayaan atau keagamaan. Namun sampai sangat sedikit keterangan yang menyebutkan tentang kehidupan dan keadaan masyaraktnya. Keterbatasan mengenai masalah kehidupan masyarakat ini tidak terlepas dari sebuah kebiasaan para raja pada masa itu. Pada zaman kerajaan Hindu-Budha sangat sedikit sumber yang menyinggung masalah kemasyarakatan, tetapi mereka kebanykan membahas mengenai kehidupan Raja dan bagaimana raja tersebut berhubungan dengan agamanya. Dalam agama Hindu Budha dikenal konsep Dewa Raja, yaitu Raja sebagai perwakilan dewa atau titisan dewa.

Karena raja sebagai orang besar dan dianggap sebagai utusan Dewa untuk mengelola atau mengatur bumi, maka nama seorang Raja banyak tercatat dalam berbagai tulisan seperti prasasti. Nama raja selain tercatat dalam masalah pemerintahan juga tidak sedikit banyak tertulis dalam masalah keagamaan.

Sumber
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. “Sejarah Nasional Indonesia II” Jakarta: Balai Pustaka

SITUS EKSITU
Muara Kaman merupakan sebuah kecamatan yang berada di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Kecamatan berpenduduk 28.244 jiwa (2005) ini memiliki luas wilayah mencapai 3.410,10 km2 yang dibagi dalam 19 desa.
Muara Kaman merupakan daerah cikal bakal berdirinya Kerajaan Kutai pada abad ke-4 dengan rajanya yang terkenal yakni Mulawarman. Salah satu bukti bekas peninggalan Kerajaan Kutai yang masih dapat dijumpai di Muara Kaman adalah sebuah batu berbentuk balok panjang yang disebut Lesong Batu. Batu ini lah yang menjadi bahan untuk membuat prasasti yupa pada masa kejayaan kerajaan Hindu tertua di Indonesia tersebut.
Kecamatan Muara Kaman
Berkas:Lokasi_muarakaman_kutai_kartanegara.jpg
Peta lokasi Kecamatan Muara Kaman
Asmuni S.Sos
Luas
3.410,10 km²
Jumlah penduduk
28.244 (2005)
- Kepadatan
8 jiwa/km²
Desa/kelurahan
19
1. Desa di Kecamatan Muara Kaman
Kecamatan Muara Kaman terdiri dari 19 Desa yakni:
  1. Benua Puhun
  2. Bukit Jering
  3. Bunga Jadi
  4. Kupang Baru
  5. Lebaho Ulaq
  6. Liang Buaya
  7. Menamang Kanan
  8. Menamang Kiri
  9. Muara Kaman Ilir
  10. Muara Kaman Ulu
  11. Muara Siran
  12. Panca Jaya
  13. Puan Cepak
  14. Rantau Hempang
  15. Sabintulung
  16. Sedulang
3.SITUS SITUS BUDAYA

tradisi di kalimantan timur
1.Tradisi Penguburan Dalam Gua-Gua di Kalimantan

Tradisi penguburan dalam gua yang ada di wilayah Kalimantan, antara lain terdapat di Liang Nyeloi, Gua Malui, Gua Kasali, Gua Tengkorak (Batu Sopang), Gua Tengkorak (Longkali), Gua Tengkorak (Muser), dan Gua Lungun Aji Bawo (Nitihaminoto et.al., 1999; Prasetyo et.al., 1995; Sugiyanto, 2004). 

Liang Nyeloi, yang terletak di daerah perbukitan batu kapur di Desa Tongka, Kecamatan Gunung Timang, Kalimantan Tengah, merupakan sebuah gua yang digunakan sebagai tempat penguburan masyarakat tradisional. Jenis penguburan yang terdapat di dalam gua tersebut berupa penguburan dengan menggunakan keriring. Ada sekitar ... buah keriring yang semuannya berisi rangka manusia utuh yang sudah agak rapuh. Jumlah keriring dan kondisi rangka manusia yang ada menunjukkan bahwa penguburan yang dilakukan di Liang Nyeloi adalah penguburan langsung (primer) dengan menggunakan wadah kubur keriring (Nitihaminoto et.al., 1999). 

Gua Malui, yang terletak di Gunung Kapur di wilayah Kecamatan Haruai, merupakan sebuah gua yang didalamnya banyak ditemukan tulang tengkorak dan beberapa tulang manusia yang lain. Temuan tulang tengkorak ini menunjukkan bahwa gua Malui pernah digunakan sebagai lokasi penguburan kedua (sekundet), sesuai dengan kondisi temuan rangka yang tidak lengkap (Prasetyo et.al., 1995). 

Gua Tengkorak, yang terdapat di Desa Batu Kajang, Kevamatan Batu Sopang, Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur, merupakan sebuah lubang gua pada dinding batu kapur dengan ketinggian sekitar 15 meter dari permukaan tanah. Pada sudut dinding sebelah kiri dekat mulut gua terdapat sekelompok tengkorak manusia yang jumlahnya sekitar 36 buah dan beberapa tulang manusia lain yang jumlahnya tidak seberapa banyak (Sugiyanto, 2004). Jumlah tulang tengkorak yang ditemukan menunjukkan adanya aktivitas penguburan yang cukup sering, dan tampaknya juga merupakan sisasisa penguburan sekunder atau bahkan ada kecenderungan sebagai sisa-sisa penguburan ketiga. 

Gua Tengkorak yang lain, terdapat di wilayah Kecamatan Longkali dan Desa Muser, Kecamatan Batu Sopang, Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur. Kedua Gua Tengkorak itu juga dilaporkan mempunyai temuan tulang tengkorak manusia didalamnya, sama dengan yang ditemui di Gua Tengkorak yang terdapat di Desa Batu Kajang (Sugiyanto, 2004). 

Gua Lungun Aji Bawo, yang terletak di Gunung batu kapur Belawung di Desa Muser, Kecamatan Batu Sopang, Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur, merupakan sebuag gua yang didalamnya terdapat fragmen sebuah lungun bagian wadah yang cukup besar tanpa tutup. Lungun ini menurut keterangan penduduk setempat adalah kubur seorang tokoh yang bernama Aji Bawo. Legenda yang beredar di masyarakat Desa Muser, menceritakan bahwa tutup lungun itu dibawa dan digunakan oleh lawan Aji Bawo untuk menaklukan daerah-daerah lainnya (Sugiyanto, 2004). 

Masyarakat Pendukung Tradisi Penguburan Dalam Gua

Temuan sisa-sisa penguburan yang berupa wadah kubur lengkap dengan isinya dan sekelompok tulang tengkorak pada ruangan gua jelas menunjukkan bahwa gua-gua tersebut dulunya pernah digunakan sebagai lokasi penguburan oleh masyarakat tradisional. Tulang tengkorak yang ada memang belum sempat dianalisis dengan cermat, tetapi jika melihat morfologi bentuknya, jelas terlihat bahwa tengkorak tersebut merupakan tipa tengkorak manusia modern seperti yang ada sekarang. 

Menurut wadah kubur yang digunkan jenis penguburan dalam gua di wilayah Kalimantan dapat dibagi dalam 2 kelompok : kelompok pertama : yang menggunakan wadah kubur keriring, lungun, atau tebela, dan kelompok kedua : yang tidak menggunakan wadah kubur. Sedang menurut kondisi temuan rangka manusia yang dikuburkan, dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok penguburan langsung (primer) yang diwakili oleh temuan keriring di Liang Nyeloi. Kelompok kedua merupakan jenis penguburan kedua (sekunder) dengan dan tanpa wadah kubur. 

Sementara itu data etnografi memperlihatkan bahwa pada beberapa kelompok masyarakat tradisional yang hidup di Kalimantan, memang masih melaksanakan sistem penguburan dengan menggunakan keriring, tebela dan lungun serta tempayan sebagai wadah kubur pada penguburan pertama. Kemudiam untuk penguburan kedua (sekunder), dapat menggunakan wadah kubur yang sama atau langsung diletakkan dalam gua atau ceruk yang lokasinya cukup jauh dari pemukiman. 

Sebagian besar kelompok masyarakat tradisiobnal yang berdiam di pedalaman Kalimantan Timur masih banyak yang mempraktekkan sistem penguburan tradisional. Seperti masyarakat yang terdapat di Kecamatan Long Pujungan, Kerayan, dan Kayan Mentarang serta masyarakat Punan yang ada di daerah hulu dan sepanjang Sungai Sajau di Kabupaten Berau (Arifin, 1996b; Intan et.al., 1995). 

Pada kelompok masyarakat yang ada di Long Pujungan, Kerayan dan Kayan Mentarang, biasanya menyelenggarakan penguburan kedua (sekunder) dengan satu upacara dan pesta kematian yang besar. Pada upacara penguburan tersebut, tulang tengkorak dan tulang lainnya yang penting diambil dan dibersihkan untuk kemudian dipindahkan ke wadah kubur yang baru. Wadah kubur yang digunakan untuk penguburan pertama dan kedua pada prinsipnya sama, dan yang membedakan hanya cara penguburannya saja. Pada penguburan pertama si mayat dimasukkan dalam wadah kubur, sedangkan pada penguburan kedua yang dimasukkan kembali dalam wadah kubur hanya tulang tengkorak dan beberapa tulang lainnya yang penting. Salah satu tempat yang dipilih sebagai tempat penyimpanan wadah kubur pada penguburan kedua ini adalah liang atau gua-gua yang terdapat di perbukitan batu kapur di sekitar pemukiman penduduk.

Sedangkan pada masyarakat Dayak Punan Benau yang berdiam gua-gua di pedalaman Kalimantan timur di wilayah Kab. Berau dan Kab. Bulungan, terdapat satu kebiasaan penguburan yang menempatkan mayat pada sebuah liang batu begitu saja tanpa mengenal adanya proes penguburan selanjutnya. Pada penguburan langsung ini mayat si mati hanya dibungkus dengan kain atau ditutupi dengan daun-daunan saja. Selanjutnya liang atau gua tersebut tidak pernah lagi ditempati oleh kelompok suku Dayak Punan, karena diantara mereka sangat takut dengan keberadaan hantu si mati (Intan et.al., 1995).

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgoUvVZAwB0poPTZ4mZwtZbLG3m3y3QR3DzOn6UY8tHo9B2tOvBwizAiBaUx_ZUZcNZcpCJB6PWEzoEBo1IWp5_xOI9Hp5mg7634zAhDwZAFwxfERA_bOcwu_TkHrOMFikjyxd1VHbsRiWm/s320/safar-1.jpg
Tradisi yang masih dijadikan agenda tahunan di Kabupaten Kotawaringin Timur selain upacara simah laut di Ujung Pandaran adalah Mandi Safar yang dilaksanakan di Sungai Mentaya Sampit. Bagaimana sesungguhnya mandi safar itu ?
Berikut beberapa artikel yang bisa disimak ...

Kegiatan budaya berupa 'Mandi Safar' yang merupakan tradisi masyarakat yang mendiami tepian sungai Mentaya, dipromosikan sebagai atraksi wisata Kalimantan Tengah (Kalteng). 

"Budaya mandi Safar dijadikan objek wisata lantaran unik dan menarik," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalteng, melalui Kepala Bidang Pengembangan Destinasi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalteng, Aida Meyarti, di Palangkaraya, Minggu (2/8). 

Mengutip sebuah buku catatan tentang budaya tersebut, ia menuturkan, atraksi tersebut dilaksanakan pada hari Arba Musta'mir atau hari Rabu terakhir dalam bulan Safar (bulan kedua dalam Kalender Hijriah). 

Berdasarkan keterangan, upacara Mandi Safar dilakukan untuk mengenang dan memperingati peristiwa mati syahidnya Husin bin Ali bin Abi Tholib yang memimpin tentaranya berangkat dari Mekkah ke Kota Kuffah. 



Masyarakat yang akan mengikuti prosesi Mandi Safar, sebelum menceburkan diri ke dalam sungai Mentaya, telah membekali diri dengan daun Sawang yang diikat di kepala atau di pinggang. 

Daun Sawang tersebut sebelumnya dirajah oleh sesepuh atau alim ulama setempat. Menurut kepercayaan, pemakaian Daun Sawang itu agar orang yang mandi terjaga keselamatannya dari segala gangguan baik dari gangguan binatang maupun makhluk halus. 

Setelah selesai mandi, masyarakat berkumpul di tempat acara yaitu di Pelabuhan Sampit untuk bersama-sama membaca doa mohon keselamatan yang dipimpin oleh kiai setempat. 

Selanjutnya masyarakat beramai-ramai memperebutkan aneka makanan yang dibentuk seperti gunungan terdiri dari 41 jenis kue tradisional seperti kue cucur, apem putih, apem merah, wajik, ketupat burung, dan lain-lain. 

Kegiatan Mandi Safar merupakan satu di antara atraksi budaya bernuansa agama yang akan terus dipromosikan guna menambah perbendaharaan objek wisata Kalteng. 

Dengan lebih banyaknya atraksi budaya menjadi objek wisata, diharapkan Kalteng lebih dikenal luas sehingga kian banyak wisatawan mengunjungi wilayah itu. 

"Bila kian banyak wisatawan maka diharapkan kian banyak pula uang dibelanjakan di wilayah ini harapannya warga Kalteng kian sejahtera di kemudian hari," demikian Aida Meyarti. (Ant/OL-03)


SAMPIT - Ribuan warga -tidak hanya dari Kota Sampit, tapi juga beberapa daerah sekitarnya- memenuhi tepian Dermaga Habaring Hurung, Sampit, Kaltim, hingga Pusat Perbelanjaan Mentaya pada Kamis (25/2). Secara bersama, mereka menceburkan diri ke Sungai Mentaya yang membelah Kota Sampit. Orang tua, remaja, laki-laki, dan perempuan mengikuti ritual mandi Safar yang diadakan Dinas Pariwisata Kotim. Acara itu juga dihadiri para pejabat Kotim.

Menurut Ketua Panitai H Supriadi MT, kegiatan mandi Safar 2009 bertujuan mengangkat budaya lokal. Dengan begitu, seluruh masyarakat Indonesia lebih mengetahui budaya yang ada di Kotim.

Sementara itu, pada pelaksanaan mandi Safar, kegiatan diawali dengan pemberian daun sawang yang sudah dirajah. Daun sawang tersebut diarak bersamaan dengan nasi dan kue gunungan, kemudian dibagikan di Dermaga Habaring Hurung. Warga pun lalu menceburkan diri ke sungai. "Ini dilakukan agar adanya saling menghargai antarmasyarakat dan pejabat pemerintahan serta mengakrabkan dan menguatkan rasa persatuan pimpinan dan masyarakatnya," kata Supriadi.








RUMAH ADAT DI KALIMANTAN TIMUR
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/0/09/Rumah_Bubungan_Tinggi_Anjungan_Kalsel_TMII_Jakarta.JPG/200px-Rumah_Bubungan_Tinggi_Anjungan_Kalsel_TMII_Jakarta.JPG
http://bits.wikimedia.org/skins-1.5/common/images/magnify-clip.png
Rumah Bubungan Tinggi
Rumah Banjar adalah rumah tradisional suku Banjar. Arsitektur tradisional ciri-cirinya antara lain mempunyai perlambang, mempunyai penekanan pada atap, ornamental, dekoratif dan simetris.
Rumah tradisonal Banjar adalah type-type rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri mulai sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Pada tahun 1871 pemerintah kota Banjarmasin mengeluarkan segel izin pembuatan Rumah Bubungan Tinggi di kampung Sungai Jingah yang merupakan rumah tertua yang pernah dikeluarkan segelnya. [1]Umumnya rumah tradisional Banjar dibangun dengan ber-anjung (ba-anjung) yaitu sayap bangunan yang menjorok dari samping kanan dan kiri bangunan utama karena itu disebut Rumah Baanjung. Anjung merupakan ciri khas rumah tradisional Banjar, walaupun ada pula beberapa type Rumah Banjar yang tidak ber-anjung. Tipe rumah yang paling bernilai tinggi adalah Rumah Bubungan Tinggi yang biasanya dipakai untuk bangunan keraton (Dalam Sultan). Jadi nilainya sama dengan rumah joglo di Jawa yang dipakai sebagai keraton. Keagungan seorang penguasa pada masa pemerintahan kerajaan diukur oleh kuantitas ukuran dan kualitas seni serta kemegahan bangunan-bangunan kerajaan khususnya istana raja (Rumah Bubungan Tinggi). Dalam suatu perkampungan suku Banjar terdiri dari bermacam-macam jenis rumah Banjar yang mencerminkan status sosial maupun status ekonomi sang pemilik rumah. Dalam kampung tersebut rumah dibangun dengan pola linier mengikuti arah aliran sungai maupun jalan raya terdiri dari rumah yang dibangun mengapung di atas air, rumah yang didirikan di atas sungai maupun rumah yang didirikan di daratan, baik pada lahan basah (alluvial) maupun lahan kering.
  •  

Jenis-jenis Rumah Adat Banjar

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/1/1b/Maket_Rumah_Anjung_Surung.jpg/200px-Maket_Rumah_Anjung_Surung.jpg
http://bits.wikimedia.org/skins-1.5/common/images/magnify-clip.pngRumah Cacak Burung(gambar kiri) dan Rumah Palimbangan dengan Anjung memakai Tawing Layar (kanan).
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/0/07/Maket_Rumah_Balai_Laki.jpg/200px-Maket_Rumah_Balai_Laki.jpg
http://bits.wikimedia.org/skins-1.5/common/images/magnify-clip.pngmodel kiri, Rumah Balai Laki yang asli dan model kanan pengembangan bentuk Rumah Balai Laki dengan tambahan atap jurai pada emper depan sampai emper samping kiri dan kanan

Sejarah dan Perkembangan Rumah Adat Banjar

Rumah adat Banjar, biasa disebut juga dengan Rumah Bubungan Tinggi karena bentuk pada bagian atapnya yang begitu lancip dengan sudut 45º.
Bangunan Rumah Adat Banjar diperkirakan telah ada sejak abad ke-16, yaitu ketika daerah Banjar di bawah kekuasaan Pangeran Samudera yang kemudian memeluk agama Islam, dan mengubah namanya menjadi Sultan Suriansyah dengan gelar Panembahan Batu Habang.
Sebelum memeluk agama Islam Sultan Suriansyah tersebut menganut agama Hindu. Ia memimpin Kerajaan Banjar pada tahun 1596–1620.
Pada mulanya bangunan rumah adat Banjar ini mempunyai konstruksi berbentuk segi empat yang memanjang ke depan.
Namun perkembangannya kemudian bentuk segi empat panjang tersebut mendapat tambahan di samping kiri dan kanan bangunan dan agak ke belakang ditambah dengan sebuah ruangan yang berukuran sama panjang. Penambahan ini dalam bahasa Banjar disebut disumbi.
Bangunan tambahan di samping kiri dan kanan ini tamapak menempel (dalam bahasa Banjar: Pisang Sasikat) dan menganjung keluar.
Bangunan tambahan di kiri dan kanan tersebut disebut juga anjung; sehingga kemudian bangunan rumah adat Banjar lebih populer dengan nama Rumah Ba-anjung.
Sekitar tahun 1850 bangunan-bangunan perumahan di lingkungan keraton Banjar, terutama di lingkungan keraton Martapura dilengkapi dengan berbagai bentuk bangunan lain.
Namun Rumah Ba-anjung adalah bangunan induk yang utama karena rumah tersebut merupakan istana tempat tinggal Sultan.
Bangunan-bangunan lain yang menyertai bangunan rumah ba-anjung tersebut ialah yang disebut dengan Palimasan sebagai tempat penyimpanan harta kekayaan kesultanan berupa emas dan perak.
Balai Laki adalah tempat tinggal para menteri kesultanan, Balai Bini tempat tinggal para inang pengasuh, Gajah Manyusu tempat tinggal keluarga terdekat kesultanan yaitu para Gusti-Gusti dan Anang.
Selain bangunan-bangunan tersebut masih dijumpai lagi bangunan-bangunan yang disebut dengan Gajah Baliku, Palembangan, dan Balai Seba.
Pada perkembangan selanjutnya, semakin banyak bangunan-bangunan perumahan yang didirikan baik di sekitar kesultanan maupun di daerah-daerah lainnya yang meniru bentuk bangunan rumah ba-anjung.
Sehingga pada akhirnya bentuk rumah ba-anjung bukan lagi hanya merupakan bentuk bangunan yang merupakan ciri khas kesultanan (keraton), tetapi telah menjadi ciri khas bangunan rumah penduduk daerah Banjar.

Rumah Adat Banjar di Kaltim

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/e/ef/Rumah_Balai_Bini_Kecamatan_Kumai.jpg/200px-Rumah_Balai_Bini_Kecamatan_Kumai.jpg
http://bits.wikimedia.org/skins-1.5/common/images/magnify-clip.png
Rumah Baanjung tipe Rumah [Gajah] Balai Bini di Kecamatan Kumai, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
Kemudian bentuk bangunan rumah ba-anjung ini tidak saja menyebar di daerah Kalimantan Selatan, tetapi juga menyebar sampai-sampai ke daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Sekalipun bentuk rumah-rumah yang ditemui di daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur mempunyai ukuran yang sedikit berbeda dengan rumah Ba-anjung di daerah Banjar, namun bentuk bangunan pokok merupakan ciri khas bangunan rumah adat Banjar tetap kelihatan.
Di Kalimantan Tengah bentuk rumah ba-anjung ini dapat dijumpai di daerah Kotawaringin Barat, yaitu di Pangkalan Bun, Kotawaringin Lama dan Kumai.
Menyebarnya bentuk rumah adat Banjar ke daerah Kotawaringin ialah melalui berdirinya Kerajaan Kotawaringin yang merupakan pemecahan dari wilayah Kerajaan Banjar ketika diperintah oleh Sultan Musta’inbillah.
Sultan Musta’inbillah memerintah sejak tahun 1650 sampai 1672, kemudian ia digantikan oleh Sultan Inayatullah.
Kerajaan Kotawaringin yang merupakan pemecahan wilayah Kerajaan Banjar tersebut diperintah oleh Pangeran Dipati Anta Kesuma sebagai sultannya yang pertama.
Menyebarnya bentuk rumah adat Banjar sampai ke daerah Kalimantan Timur disebabkan oleh banyaknya penduduk daerah Banjar yang merantau ke daerah ini, yang kemudian mendirikan tempat tinggalnya dengan bentuk bangunan rumah ba-anjung sebagaimana bentuk rumah di tempat asal mereka.
Demikianlah pada akhirnya bangunan rumah adat Banjar atau rumah adat ba-anjung ini menyebar kemana-mana, tidak saja di daerah Kalimantan Selatan, tetapi juga di daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.

Kondisi Rumah Adat Banjar

Akan tetapi sekarang dapat dikatakan bahwa rumah ba-anjung atau rumah Bubungan Tinggi yang merupakan arsitektur klasik Banjar itu tidak banyak dibuat lagi.
Sejak tahun 1930-an orang-orang Banjar hampir tidak pernah lagi membangun rumah tempat tinggal mereka dengan bentuk rumah ba-anjung.
Masalah biaya pembangunan rumah dan masalah areal tanah serta masalah mode nampaknya telah menjadi pertimbangan yang membuat para penduduk tidak mau membangun lagi rumah-rumah mereka dengan bentuk rumah ba-anjung.
Banyak rumah ba-anjung yang dibangun pada tahun-tahun sebelumnya sekarang dirombak dan diganti dengan bangunan-bangunan bercorak modern sesuai selera zaman.
Tidak jarang dijumpai di Kalimantan Selatan si pemilik rumah ba-anjung justru tinggal di rumah baru yang (didirikan kemudian) bentuknya sudah mengikuti mode sekarang.
Apabila sekarang ini di daerah Kalimantan Selatan ada rumah-rumah penduduk yang mempunyai gaya rumah adat ba-anjung, maka dapatlah dipastikan bangunan tersebut didirikan jauh sebelum tahun 1930.
Untuk daerah Kalimantan Selatan masih dapat dijumpai beberapa rumah adat Banjar yang sudah sangat tua umurnya seperti di Desa Sungai Jingah, Kampung Melayu Laut di Melayu, Banjarmasin Tengah, Banjarmasin, Desa Teluk Selong Ulu, Maratapura, Banjar, Desa Dalam Pagar), Desa Tibung, Desa Gambah (Kandangan), Desa Birayang (Barabai), dan di Negara.
Masing-masing rumah adat tersebut sudah dalam kondisi yang amat memprihatinkan, banyak bagian-bagian rumah tersebut yang sudah rusak sama sekali.
Pemerintah sudah mengusahakan subsidi buat perawatan bangunan-bangunan tersebut. Namun tidak jarang anggota keluarga pemilik rumah menolak subsidi tersebut karena alasan-alasan tertentu , seperti malu atau gengsi. Karena merasa dianggap tidak mampu merawat rumahnya sendiri.
Bagaimanapun keadaan rumah-rumah tersebut, dari sisa-sisa yang masih bisa dijumpai dapat dibayangkan bagaimana artistiknya bangunan tersebut yang penuh dengan berbagai ornamen menarik.
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/9/93/Gajah_Manyusu_Tipe_2_Teluk_Selong_Ulu.jpg/220px-Gajah_Manyusu_Tipe_2_Teluk_Selong_Ulu.jpg
http://bits.wikimedia.org/skins-1.5/common/images/magnify-clip.png
Rumah Banjar yang lapuk dimakan zaman

Bagian dan Konstruksi Rumah Tradisonal Banjar

Pondasi, Tiang dan Tongkat

Keadaan alam yang berawa-rawa di tepi sungai sebagai tempat awal tumbuhnya rumah tradisional Banjar, menghendaki bangunan dengan lantai yang tinggi. Pondasi, tiang dan tongkat dalam hal ini sangat berperan. Pondasi sebagai konstruksi paling dasar, biasanya menggunakan kayu Kapur Naga atau kayu Galam. Tiang dan tongkat menggunakan kayu ulin, dengan jumlah mencapai 60 batang untuk tiang dan 120 batang untuk tongkat.

Kerangka

Kerangka rumah ini biasanya menggunakan ukuran tradisional depa atau tapak kaki dengan ukuran ganjil yang dipercayai punya nilai magis / sakral. Bagian-bagian rangka tersebut adalah :
  1. susuk dibuat dari kayu Ulin.
  2. Gelagar dibuat dari kayu Ulin, Belangiran, Damar Putih.
  3. Lantai dari papan Ulin setebal 3 cm.
  4. Watun Barasuk dari balokan Ulin.
  5. Turus Tawing dari kayu Damar.
  6. Rangka pintu dan jendela dari papan dan balokan Ulin.
  7. Balabad dari balokan kayu Damar Putih. Mbr>
  8. Titian Tikus dari balokan kayu Damar Putih.
  9. Bujuran Sampiran dan Gorden dari balokan Ulin atau Damar Putih.
  10. Tiang Orong Orong dan Sangga Ributnya serta Tulang Bubungan dari balokan kayu Ulin, kayu Lanan, dan Damar Putih.
  11. Kasau dari balokan Ulin atau Damar Putih.
  12. Riing dari bilah-bilah kayu Damar putih.

Lantai

Di samping lantai biasa, terdapat pula lantai yang disebut dengan Lantai Jarang atau Lantai Ranggang. Lantai Ranggang ini biasanya terdapat di Surambi Muka, Anjung Jurai dan Ruang Padu, yang merupakan tempat pembasuhan atau pambanyuan. Sedangkan yang di Anjung Jurai untuk tempat melahirkan dan memandikan jenazah. Biasanya bahan yang digunakan untuk lantai adalah papan ulin selebar 20 cm, dan untuk Lantai Ranggang dari papan Ulin selebar 10 cm.

Dinding

Dindingnya terdiri dari papan yang dipasang dengan posisi berdiri, sehingga di samping tiang juga diperlukan Turus Tawing dan Balabad untuk menempelkannya. Bahannya dari papan Ulin sebagai dinding muka. Pada bagian samping dan belakang serta dinding Tawing Halat menggunakan kayu Ulin atau Lanan. Pada bagian Anjung Kiwa, Anjung Kanan, Anjung Jurai dan Ruang Padu, kadang-kadang dindingnya menggunakan Palupuh.

Atap

Atap bangunan biasanya menjadi ciri yang paling menonjol dari suatu bangunan. Karena itu bangunan ini disebut Rumah Bubungan Tinggi. Bahan atapnya terbuat dari sirap dengan bahan kayu Ulin atau atap rumbia.

Ornamentasi (Ukiran)

Penampilan rumah tradisional Bubungan Tinggi juga ditunjang oleh bentuk-bentuk ornamen berupa ukiran. Penempatan ukiran tersebut biasanya terdapat pada bagian yang konstruktif seperti tiang, tataban, pilis, dan tangga. Sebagaimana pada kesenian yang berkembang dibawah pengaruh Islam, motif yang digambarkan adalah motif floral (daun dan bunga). Motif-motif binatang seperti pada ujung pilis yang menggambarkan burung enggang dan naga juga distilir dengan motif floral. Di samping itu juga terdapat ukiran bentuk kaligrafi. Kaligrafi Arab merupakan ragam hias yang muncul belakangan yang memperkaya ragam hias suku Banjar. (Museum Lambung Mangkurat - Banjarbaru, "Rumah Tradisional Bubungan Tinggi dan Kelengkapannya", 1992/1993)

Pengaruh Sistem Religi dan Sistem Pengetahuan

Meskipun orang Banjar sudah memeluk Islam, namun dalam kegiatan sehari-hari yang sehubungan dengan kebudayaan masih melekat unsur aninisme, Hindu-Buddha yang berkembang sebagai dasar adat pada masa lalu. Akan tetapi hal itu tidak secara keseluruhan. Religi yang dianggap asal adalah dari Kaharingan yang dikembangkan oleh orang Dayak. Pengaruh Hindu, Buddha, Islam maupun Kristen tidak berarti kepercayaan nenek moyang dengan segala upacara religinya hilang begitu saja. Orang-orang Dayak yang telah memeluk Islam dianggap sebagai Suku Bangsa Banjar dan tidak lagi menganggap dirinya sebagai suku Dayak. Suku Banjar hampir semua sendi keagamaanya didasarkan pada sentimen keagamaan yang bersumber pada ajaran Islam. Jadi setiap setiap rumah tangga memiliki peralatan yang berhubungan dengan pelaksanaan keagamaan. Demikian pula pada rumah tradisional Banjar banyak dilengkapi dengan ukiran yang berkaitan dengan persaudaraan, persatuan, kesuburan, maupun khat-khat kaligrafi Arab yang bersumber dari ajaran Islam seperti dua kalimat syahadat, nama-nama Khalifah, Shalawat, atau ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur'an.
Namun ukiran-ukiran di rumah Banjar juga masih ada yang berhubungan dengan kepercayaan Kaharingan, Aninisme, Dinanisme, maupun Hindu-Buddha, misalnya swastika, enggang, naga dan sebagainya

Cara Menentukan Ukuran Rumah Adat Banjar

Cara Menentukan Ukuran Rumah Adat Banjar dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain :
  1. Panjang dan lebar rumah ditentukan ukuran depa suami dalam jumlah ganjil. (Depdikbud, Brotomoeljono, Rumah Tradisional Kalimantan Selatan, 1986 : 87)
  2. Dihitung dengan mengambil gelagar pilihan, kemudian dihitungkan dengan perhitungan gelagar, geligir, gelugur. Bila hitungannya berakhir dengan geligir atau gelugur maka itu pertanda tidak baik sehingga harus ditutup dengan gelagar. Hitungan gelagar akan menyebabkan rumah dan penghuninya mendapatkan kedamaian dan keharmonisan. (Depdikbud, Brotomoeljono, Rumah Tradisional Kalimantan Selatan, 1986 : 87)
  3. Cara lain menurut Alfani Daud, MA. (1997 : 462); Ukuran panjang dan lebar rumah dilambangkan delapan ukuran lambang binatang yaitu naga, asap, singa, anjing, sapi, keledai, gajah, gagak. Panjang ideal dilambangkan naga dan lebarnya dilambangkan gajah.Yang tidak baik ialah lambang binatang asap, anjing, keledai, atau gagak. (Jumlah) panjang depa seseorang yang membangun rumah dibagi delapan mewakili binatang berturut-turut seperti tersebut terdahulu. (Tiap depa dikalikan 12). Bila panjang rumah 6 depa, berarti 6 x 12 ukuran atau 72 ukuran, maka jika ukurannya dilambangkan oleh binatang naga, haruslah ditambah 1/12 depa lagi. Untuk memperoleh ukuran lambang gajah, panjang itu harus ditambah 7/12 depa atau dikurangi 1/12 depa. (Alfani Daud, MA, Islam dan Masyarakat Banjar, 1997 : 462)

Filosofi Rumah Adat Banjar

Pemisahan jenis dan bentuk rumah Banjar sesuai dengan filsafat dan religi yang bersumber pada kepercayaan Kaharingan pada suku Dayak bahwa alam semesta yang terbagi menjadi 2 bagian, yaitu alam atas dan alam bawah.Rumah Bubungan Tinggi merupakan lambang mikrokosmos dalam makrokosmos yang besar.Penghuni seakan-akan tinggal di bagian dunia tengah yang diapit oleh dunia atas dan dunia bawah. Di rumah mereka hidup dalam keluarga besar, sedang kesatuan dari dunia atas dan dunia bawah melambangkan Mahatala dan Jata (suami dan isteri).
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/f/f8/Maket_Bubungan_Tinggi.JPG/200px-Maket_Bubungan_Tinggi.JPG
http://bits.wikimedia.org/skins-1.5/common/images/magnify-clip.png
rumah Bubungan Tinggi melambangkan berpadunya Dunia Atas dan Dunia Bawah

Dwitunggal Semesta

Pada peradaban agraris, rumah dianggap keramat karena dianggap sebagai tempat bersemayam secara ghaib oleh para dewata seperti pada rumah Balai suku Dayak Bukit yang berfungsi sebagai rumah ritual. Pada masa Kerajaan Negara Dipa sosok nenek moyang diwujudkan dalam bentuk patung pria dan wanita yang disembah dan ditempatkan dalam istana. Pemujaan arwah nenek moyang yang berwujud pemujaan Maharaja Suryanata dan Puteri Junjung Buih merupakan simbol perkawinan (persatuan) alam atas dan alam bawah Kosmogoni Kaharingan-Hindu. Suryanata sebagai manifestasi dewa Matahari (Surya) dari unsur kepercayaan Kaharingan-Hindu, matahari yang menjadi orientasi karena terbit dari ufuk timur (orient) selalu dinantikan kehadirannya sebagai sumber kehidupan, sedangkan Puteri Junjung Buih berupa lambang air, sekaligus lambang kesuburan tanah berfungsi sebagai Dewi Sri di Jawa. Pada masa tumbuhnya kerajaan Hindu, istana raja merupakan citra kekuasaan bahkan dianggap ungkapan berkat dewata sebagai pengejawantahan lambang Kosmos Makro ke dalam Kosmos Mikro. Puteri Junjung Buih sebagai perlambang "dunia Bawah" sedangkan Pangeran Suryanata perlambang "dunia atas". Pada arsitektur Rumah Bubungan Tinggi pengaruh unsur-unsur tersebut masih dapat ditemukan. Bentuk ukiran naga yang tersamar/didestilir (bananagaan) melambangkan "alam bawah" sedangkan ukiran burung enggang melambangkan "alam atas".

Pohon Hayat

Wujud bentuk rumah Banjar Bubungan Tinggi dengan atapnya yang menjulang ke atas merupakan citra dasar dari sebuah "pohon hayat" yang merupakan lambang kosmis. Pohon Hayat merupakan pencerminan dimensi-dimensi dari satu kesatuan semesta. Ukiran tumbuh-tumbuhan yang subur pada Tawing Halat (Seketeng) merupakan perwujudan filosofi "pohon kehidupan" yang oleh orang Dayak disebut Batang Garing dalam kepercayaan Kaharingan yang pernah dahulu berkembang dalam kehidupan masyarakat Kalimantan Selatan pada periode sebelumnya.

Payung

Wujud bentuk rumah Banjar Bubungan Tinggi dengan atapnya yang menjulang ke atas merupakan sebuah citra dasar sebuah payung yang menunjukkan suatu orientasi kekuasaan ke atas. Payung juga menjadi perlambang kebangsawanan yang biasa menggunakan "payung kuning" sebagai perangkat kerajaan. Payung kuning sebagai tanda-tanda kemartabatan kerajaan Banjar diberikan kepada para pejabat kerajaan di suatu daerah.

Simetris

Wujud bentuk rumah Banjar Bubungan Tinggi yang simetris, terlihat pada bentuk sayap bangunan atau anjung yang terdiri atas Anjung Kanan dan Anjung Kiwa. Hal ini berkaitan dengan filosofi simetris (seimbang) dalam pemerintahan Kerajaan Banjar, yang membagi kementerian, menjadi Mantri Panganan (Kelompok Menteri Kanan) dan Mantri Pangiwa (Kelompok Menteri Kiri), masing-masing terdiri atas 4 menteri, Mantri Panganan bergelar 'Patih' dan Mantri Pangiwa bergelar 'Sang', tiap-tiang menteri memiliki pasukan masing-masing. KOnsep simetris ini tercermin pada rumah bubungan tinggi.

Kepala-Badan-Kaki

Bentuk rumah Bubungan Tinggi diibaratkan tubuh manusia terbagi menjadi 3 bagian secara vertikal yaitu kepala, badan dan kaki. Sedangkan anjung diibaratkan sebagai tangan kanan dan tangan kiri yaitu anjung kanan dan anjung kiwa (kiri).

Tata Nilai Ruang

Pada rumah Banjar Bubungan Tinggi (istana) terdapat ruang Semi Publik yaitu Serambi atau surambi yang berjenjang letaknya secara kronologis terdiri dari surambi muka, surambi sambutan, dan terakhir surambi Pamedangan sebelum memasuki pintu utama (Lawang Hadapan) pada dinding depan (Tawing Hadapan ) yang diukir dengan indah. Setelah memasuki Pintu utama akan memasuki ruang Semi Private. Pengunjung kembali menapaki lantai yang berjenjang terdiri dari Panampik Kacil di bawah, Panampik Tangah di tengah dan Panampik Basar di atas pada depan Tawing Halat atau "dinding tengah" yang menunjukkan adanya tata nilai ruang yang hierarkis. Ruang Panampik Kecil tempat bagi anak-anak, ruang Panampik Tangah sebagai tempat orang-orang biasa atau para pemuda dan yang paling utama adalah ruang Panampik Basar yang diperuntukkan untuk tokoh-tokoh masyarakat, hanya orang yang berpengetahuan luas dan terpandang saja yang berani duduk di area tersebut. Hal ini menunjukkan adanya suatu tatakrama sekaligus mencerminkan adanya pelapisan sosial masyarakat Banjar tempo dulu yang terdiri dari lapisan atas adalah golongan berdarah biru disebut Tutus Raja (bangsawan) dan lapisan bawah adalah golongan Jaba (rakyat) serta diantara keduanya adalah golongan rakyat biasa yang telah mendapatkan jabatan-jabatan dalam Kerajaan beserta kaum hartawan.

Tawing Halat/Seketeng

Ruang dalam rumah Banjar Bubungan Tinggi terbagi menjadi ruang yang bersifat private dan semi private. Diantara ruang Panampik Basar yang bersifat semi private dengan ruang Palidangan yang bersifat private dipisahkan oleh Tawing Halat artinya "dinding pemisah", kalau di daerah Jawa disebut Seketeng. Jika ada selamatan maupun menyampir (nanggap) Wayang Kulit Banjar maka pada Tawing Halat ini bagian tengahnya dapat dibuka sehingga seolah-olah suatu garis pemisah transparan antara dua dunia (luar dan dalam) menjadi terbuka. Ketika dilaksanakan "wayang sampir" maka Tawing Halat yang menjadi pembatas antara "dalam" (Palidangan) dan luar (Paluaran/Panampik Basar) menjadi terbuka. Raja dan keluarganya serta dalang berada pada area "dalam" menyaksikan anak wayang dalam wujud aslinya sedangkan para penonton berada di area "luar" menyaksikan wayang dalam bentuk bayang-bayang.

Denah Cacak Burung

Denah Rumah Banjar Bubungan Tinggi berbentuk "tanda tambah" yang merupakan perpotongan dari poros-poros bangunan yaitu dari arah muka ke belakang dan dari arah kanan ke kiri yang membentuk pola denah Cacak Burung yang sakral. Di tengah-tengahnya tepat berada di bawah konstruksi rangka Sangga Ribut di bawah atap Bubungan Tinggi adalah Ruang Palidangan yang merupakan titik perpotongan poros-poros tersebut. Secara kosmologis maka disinilah bagian paling utama dari Rumah Banjar Bubungan Tinggi. Begitu pentingnya bagian ini cukup diwakili dengan penampilan Tawing Halat (dinding tengah) yang penuh ukiran-ukiran (Pohon Hayat) yang subur makmur. Tawing Halat menjadi fokus perhatian dan menjadi area yang terhormat. Tawang Halat melindungi area "dalam" yang merupakan titik pusat bangunan yaitu ruang Palidangan (Panampik Panangah).
1.seni pertunjukan
Seni Tari suku Banjar terbagi menjadi dua, yaitu seni tari yang dikembangkan di lingkungan istana (kraton), dan seni tari yang dikembangkan oleh rakyat. Seni tari kraton ditandai dengan nama "Baksa" yang berasal dari bahasa Jawa (beksan) yang menandakan kehalusan gerak dalam tata tarinya. Tari-tari ini telah ada dari ratusan tahun yang lalu, semenjak zaman hindu, namun gerakan dan busananya telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi dewasa ini. Contohnya, gerakan-gerakan tertentu yang dianggap tidak sesuai dengan adab islam mengalami sedikit perubahan. Seni tari daerah Banjar yang terkenal misalnya :
  • Tari Baksa Kembang, dalam penyambutan tamu agung.
  • Tari Baksa Panah
  • Tari Baksa Dadap
  • Tari Baksa Lilin
  • Tari Baksa Tameng
  • Tari Radap Rahayu, dalam upacara perkawinan
  • Tari Kuda Kepang
  • Tari Japin/Jepen
  • Tari Tirik
  • Tari Gandut
  • Tarian Banjar lainnya
i tari khas kalimantan timur
http://www.kidnesia.com/var/gramedia/storage/images/media/images/tari-belian-senteyu/659957-1-ind-ID/Tari-Belian-Senteyu_medium.jpg
Tari Belian Senteyu. Foto:dayakborneo.com
Tarian dimaksudkan dan bertujuan untuk mengobati orang sakit dan mengusir roh jahat. Sekilas, tarian ini tidak jauh berbeda dengan tari Belian Bawo. Perbedaannya adalah pada kostum.
Tarian Belian Bawo memakai gelang bergemerincing yang memekakkan telinga pendengarnya pada Belian Sentiyu memakai persembahan beras yang akan ditaburkan oleh pemeliannya.

Gamelan Banjar

  • Gamelan Banjar Tipe Keraton
  • Gamelan Banjar Tipe Rakyatan

Lagu Daerah

Lagu daerah Banjar yang terkenal misalnya :

Seni Rupa Dwimatra

Seni Anyaman

Seni anyaman dengan bahan rotan, bambu dan purun sangat artistik. Anyaman rotan berupa tas dan kopiah.

Seni Lukisan Kaca

Seni lukisan kaca berkembang pada tahun lima puluhan, hasilnya berupa lukisan buroq, Adam dan Hawa dengan buah kholdi, kaligrafi masjid dan sebagainya. Ragam hiasnya sangat banyak diterapkan pada perabot berupa tumpal, sawstika, geometris, flora dan fauna.

Seni Tatah/Ukir

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/c/c8/Sasanggan.jpg/200px-Sasanggan.jpg
http://bits.wikimedia.org/skins-1.5/common/images/magnify-clip.png
Motif ukiran juga diterapkan pada sasanggan yang terbuat dari kuningan.
Seni ukir terdiri atas tatah surut (dangkal) dan tatah babuku (utuh). Seni ukir diterapkan pada kayu dan kuningan. Ukiran kayu diterapkan pada alat-alat rumah tangga, bagian-bagian rumah dan masjid, bagian-bagian perahu dan bagian-bagian cungkup makam. Ukiran kuningan diterapkan benda-benda kuningan seperti cerana, abun, pakucuran, lisnar, perapian, cerek, sasanggan, meriam kecil dan sebagainya. Motif ukiran misalnya Pohon Hayat, pilin ganda, swastika, tumpal, kawung, geometris, bintang, flora binatang, kaligrafi, motif Arabes dan Turki.

Pencak Silat Kuntau Banjar

Pencak Silat Kuntau Banjar adalah ilmu beladiri yang berkembang di Tanah Banjar dan daerah perantaun suku Banjar.

Jukung Banjar

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/6/63/Miniatur_Jukung_Gundul.JPG/200px-Miniatur_Jukung_Gundul.JPG
http://bits.wikimedia.org/skins-1.5/common/images/magnify-clip.png
Miniatur jukung gundul suku Banjar
Erik Petersen telah mengadakan penelitian tentang jukung Banjar dalam bukunya Jukungs Boat From The Barito Basin, Borneo. Jukung adalah transportasi khas Kalimantan. Ciri khasnya terletak pada teknik pembuatannya yang mempertahankan sistem pembakaran pada rongga batang kayu bulat yang akan dibuat menjadi jukung. Jenis Jukung :
  1. Jukung Sudur (rangkaan)
    1. Jukung Sudur Biasa
    2. Jukung Sudur Bakapih
    3. Jukung Sudur Anak Ripang
  2. Jukung Patai
    1. Jukung Biasa
    2. Jukung Hawaian
    3. Jukung Kuin
    4. Jukung Pelanjan
    5. Jukung Ripang Hatap
    6. Jukung Pemadang
  3. Jukung Batambit
    1. Jukung Tambangan
    2. Jukung Babanciran
    3. Jukung Undaan
    4. Jukung Parahan
    5. Jukung Gundul
    6. Jukung Pandan Liris
    7. Jukung Tiung
Jenis perahu lainnya misalnya :
  1. Penes
  2. Kelotok

Wayang Banjar

Wayang Banjar terdiri dari :
  1. Wayang kulit Banjar
  2. Wayang gung/wayang Gong yaitu (wayang orang versi suku Banjar

Mamanda

Mamanda merupakan seni teater tradisonal suku Banjar.

Tradisi Bananagaan

  1. Naga Badudung
  2. Kepala Naga Gambar Sawit
  3. Kepala Naga Darat

Seni Tradisonal Banjar Berbasis Sastra (Folklor Banjar)

Lamut

Madihin

Etimologi dan definisi

Madihin berasal dari kata madah dalam bahasa Arab artinya nasihat, tapi bisa juga berarti pujian. Puisi rakyat anonim bergenre Madihin ini cuma ada di kalangan etnis Banjar di Kalsel saja. Sehubungan dengan itu, definisi Madihin dengan sendirinya tidak dapat dirumuskan dengan cara mengadopsinya dari khasanah di luar folklor Banjar.
Tajuddin Noor Ganie (2006) mendefinisikan Madihin dengan rumusan sebagai berikut : puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi yang berlaku secara khusus dalam khasanah folklor Banjar di Kalsel.

Bentuk fisik

Masih menurut Ganie (2006), Madihin merupakan pengembangan lebih lanjut dari pantun berkait. Setiap barisnya dibentuk dengan jumlah kata minimal 4 buah. Jumlah baris dalam satu baitnya minimal 4 baris. Pola formulaik persajakannya merujuk kepada pola sajak akhir vertikal a/a/a/a, a/a/b/b atau a/b/a/b. Semua baris dalam setiap baitnya berstatus isi (tidak ada yang berstatus sampiran sebagaimana halnya dalam pantun Banjar) dan semua baitnya saling berkaitan secara tematis.
Madihin merupakan genre/jenis puisi rakyat anonim berbahasa Banjar yang bertipe hiburan. Madihin dituturkan di depan publik dengan cara dihapalkan (tidak boleh membaca teks) oleh 1 orang, 2 orang, atau 4 orang seniman Madihin (bahasa Banjar Pamadihinan). Anggraini Antemas (dalam Majalah Warnasari Jakarta, 1981) memperkirakan tradisi penuturan Madihin (bahasa Banjar : Bamadihinan) sudah ada sejak masuknya agama Islam ke wilayah Kerajaan Banjar pada tahun 1526.

Status Sosial dan Sistim Mata Pencaharian Pamadihinan

Madihin dituturkan sebagai hiburan rakyat untuk memeriahkan malam hiburan rakyat (bahasa Banjar Bakarasmin) yang digelar dalam rangka memperintai hari-hari besar kenegaraan, kedaerahan, keagamaan, kampanye partai politik, khitanan, menghibur tamu agung, menyambut kelahiran anak, pasar malam, penyuluhan, perkawinan, pesta adat, pesta panen, saprah amal, upacara tolak bala, dan upacara adat membayar hajat (kaul, atau nazar).
Orang yang menekuni profesi sebagai seniman penutur Madihin disebut Pamadihinan. Pamadihinan merupakan seniman penghibur rakyat yang bekerja mencari nafkah secara mandiri, baik secara perorangan maupun secara berkelompok.
Setidak-tidaknya ada 6 kriteria profesional yang harus dipenuhi oleh seorang Pamadihinan, yakni : (1) terampil dalam hal mengolah kata sesuai dengan tuntutan struktur bentuk fisik Madihin yang sudah dibakukan secara sterotipe, (2) terampil dalam hal mengolah tema dan amanat (bentuk mental) Madihin yang dituturkannya, (3) terampil dalam hal olah vokal ketika menuturkan Madihin secara hapalan (tanpa teks) di depan publik, (4) terampil dalam hal mengolah lagu ketika menuturkan Madihin, (5) terampil dalam hal mengolah musik penggiring penuturan Madihin (menabuh gendang Madihin), dan (6) terampil dalam hal mengatur keserasian penampilan ketika menuturkan Madihin di depan publik.
Tradisi Bamadihinan masih tetap lestari hingga sekarang ini. Selain dipertunjukkan secara langsung di hadapan publik, Madihin juga disiarkan melalui stasiun radio swasta yang ada di berbagai kota besar di Kalsel. Hampir semua stasiun radio swasta menyiarkan Madihin satu kali dalam seminggu, bahkan ada yang setiap hari. Situasinya menjadi semakin bertambah semarak saja karena dalam satu tahun diselenggarakan beberapa kali lomba Madihin di tingkat kota, kabupaten, dan provinsi dengan hadiah uang bernilai jutaan rupiah.
Tidak hanya di Kalsel, Madihin juga menjadi sarana hiburan alternatif yang banyak diminati orang, terutama sekali di pusat-pusat pemukiman etnis Banjar di luar daerah atau bahkan di luar negeri. Namanya juga tetap Madihin. Rupa-rupanya, orang Banjar yang pergi merantau ke luar daerah atau ke luar negeri tidak hanya membawa serta keterampilannya dalam bercocok tanam, bertukang, berniaga, berdakwah, bersilat lidah (berdiplomasi), berkuntaw (seni bela diri), bergulat, berloncat indah, berenang, main catur, dan bernegoisasi (menjadi calo atau makelar), tetapi juga membawa serta keterampilannya bamadihinan (baca berkesenian).
Para Pamadihinan yang menekuni pekerjaan ini secara profesional dapat hidup mapan. Permintaan untuk tampil di depan publik relatif tinggi frekwensinya dan honor yang mereka terima dari para penanggap cukup besar, yakni antara 500 ribu sampai 1 juta rupiah. Beberapa orang di antaranya bahkan mendapat rezeki nomplok yang cukup besar karena ada sejumlah perusahaan kaset, VCD, dan DVD di kota Banjarmasin yang tertarik untuk menerbitkan rekaman Madihin mereka. Hasil penjualan kaset, VCD, dan DVD tersebut ternyata sangatlah besar.
Pada zaman dahulu kala, ketika etnis Banjar di Kalsel masih belum begitu akrab dengan sistem ekonomi uang, imbalan jasa bagi seorang Pamadihinan diberikan dalam bentuk natura (bahasa Banjar : Pinduduk). Pinduduk terdiri dari sebilah jarum dan segumpal benang, selain itu juga berupa barang-barang hasil pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan.

Keberadaan Madihin di Luar Daerah Kalsel

Madihin tidak hanya disukai oleh para peminat domestik di daerah Kalsel saja, tetapi juga oleh para peminat yang tinggal di berbagai kota besar di tanah air kita. Salah seorang di antaranya adalah Pak Harto, Presiden RI di era Orde Baru ini pernah begitu terkesan dengan pertunjukan Madihin humor yang dituturkan oleh pasangan Pamadihinan dari kota Banjarmasin Jon Tralala dan Hendra. Saking terkesannya, beliau ketika itu berkenan memberikan hadiah berupa ongkos naik haji plus (ONH Plus) kepada Jon Tralala. Selain Jhon Tralala dan Hendra, di daerah Kalsel banyak sekali bermukim Pamadihinan terkenal, antara lain : Mat Nyarang dan Masnah pasangan Pamadihinan yang paling senior di kota Martapura), Rasyidi dan Rohana(Tanjung), Imberan dan Timah (Amuntai), Nafiah dan Mastura Kandangan), Khair dan Nurmah (Kandangan), Utuh Syahiban Banjarmasin), Syahrani (Banjarmasin), dan Sudirman(Banjarbaru). Madihin mewakili Kalimantan Timur pada Festival Budaya Melayu.

Datu Madihin, Pulung Madihin, dan Aruh Madihin

Pada zaman dahulu kala, Pamadihinan termasuk profesi yang lekat dengan dunia mistik, karena para pengemban profesinya harus melengkapi dirinya dengan tunjangan kekuatan supranatural yang disebut Pulung. Pulung ini konon diberikan oleh seorang tokoh gaib yang tidak kasat mata yang mereka sapa dengan sebutan hormat Datu Madihin.
Pulung difungsikan sebagai kekuatan supranatural yang dapat memperkuat atau mempertajam kemampuan kreatif seorang Pamadihinan. Berkat tunjangan Pulung inilah seorang Pamadihinan akan dapat mengembangkan bakat alam dan kemampuan intelektualitas kesenimanannya hingga ke tingkat yang paling kreatif (mumpuni). Faktor Pulung inilah yang membuat tidak semua orang Banjar di Kalsel dapat menekuni profesi sebagai Pamadihinan, karena Pulung hanya diberikan oleh Datu Madihin kepada para Pamadihinan yang secara genetika masih mempunyai hubungan darah dengannya (hubungan nepotisme).
Datu Madihin yang menjadi sumber asal-usul Pulung diyakini sebagai seorang tokoh mistis yang bersemayam di Alam Banjuran Purwa Sari, alam pantheon yang tidak kasat mata, tempat tinggal para dewa kesenian rakyat dalam konsep kosmologi tradisonal etnis Banjar di Kalsel. Datu Madihin diyakini sebagai orang pertama yang secara geneologis menjadi cikal bakal keberadaan Madihin di kalangan etnis Banjar di Kalsel.
Konon, Pulung harus diperbarui setiap tahun sekali, jika tidak, tuah magisnya akan hilang tak berbekas. Proses pembaruan Pulung dilakukan dalam sebuah ritus adat yang disebut Aruh Madihin. Aruh Madihin dilakukan pada setiap bulan Rabiul Awal atau Zulhijah. Menurut Saleh dkk (1978:131), Datu Madihin diundang dengan cara membakar dupa dan memberinya sajen berupa nasi ketan, gula kelapa, 3 biji telur ayam kampung, dan minyak likat baboreh. Jika Datu Madihin berkenan memenuhi undangan, maka Pamadihinan yang mengundangnya akan kesurupan selama beberapa saat. Pada saat kesurupan, Pamadihinan yang bersangkutan akan menuturkan syair-syair Madihin yang diajarkan secara gaib oleh Datu Madihin yang menyurupinya ketika itu. Sebaliknya, jika Pamadihinan yang bersangkutan tidak kunjung kesurupan sampai dupa yang dibakarnya habis semua, maka hal itu merupakan pertanda mandatnya sebagai Pamadihinan telah dicabut oleh Datu Madihin. Tidak ada pilihan bagi Pamadihinan yang bersangkutan, kecuali mundur teratur secara sukarela dari panggung pertunjukan Madihin

Peribahasa Banjar Berbentuk Puisi

[sunting] Etimologi dan Definisi

Secara etimologis, istilah peribahasa menurut Winstead (dalam Usman, 1954) berasal dari bahasa Sanksekerta pari dan bhasya, yakni bahasa (bhasya)yang yang disusun secara beraturan (pari). Etnis Banjar di Kalsel menyebut peribahasa dengan istilah paribasa (Hapip, 2001:137), istilah ini hampir sama dengan istilah paribasan dalam bahasa Jawa yang digunakan di DI Yogyakarta, Jateng, dan Jatim.
Menurut Tajuddin Noor Ganie (2006:1) dalam bukunya berjudul Jatidiri Puisi Rakyat Etnis Banjar di Kalsel, peribahasa Banjar ialah kalimat pendek dalam bahasa Banjar yang pola susunan katanya sudah tetap dengan merujuk kepada suatu format bentuk tertentu (bersifat formulaik), dan sudah dikenal luas sebagai ungkapan tradisional yang menyatakan maksudnya secara samar-samar, terselubung, dan berkias dengan gaya bahasa perbandingan, pertentangan, pertautan, dan perulangan.
Berdasarkan karakteristik bentuk fisiknya, peribahasa Banjar menurut Ganie (2006:1) dapat dipilah-pilah menjadi 2 kelompok besar, yakni :
  1. Peribahasa Banjar berbentuk puisi, terdiri atas :
    1. Gurindam
    2. Kiasan
    3. Mamang Papadah
    4. Pameo Huhulutan
    5. Saluka
    6. Tamsil
  2. Peribahasa Banjar berbentuk kalimat, terdiri atas :
    1. Ibarat
    2. Papadah
    3. Papatah-patitih
    4. Paribasa
    5. Paumpamaan.
Perbedaan bentuk fisik antara peribahasa Banjar yang berbentuk puisi dengan peribahasa Banjar yang berbentuk kalimat terletak pada jenis gaya bahasa yang dipergunakannya. Peribahasa berbentuk puisi mempergunakan gaya bahasa perulangan, sementara peribahasa berbentuk kalimat mempergunakan gaya bahasa perbandingan, pertautan, dan pertentangan.

Simpulan

Berdasarkan paparan dan contoh-contoh di atas, maka dapat disimpulkan semua ragam/jenis peribahasa Banjar berbentuk puisi, setidak-tidaknya memiliki salah satu dari 3 ciri karakteristik bentuk, yakni :
  1. adanya pengulangan atas kosa-kata yang sama,
  2. adanya kosa-kata yang hampir sama secara morfologis, dan
  3. adanya kosa-kata yang saling bersajak a/a/a/a, a/b/a/b, dan a/b/b/a baik secara vertikal maupun secara horisontal di awal, di tengah, atau di akhir baris/larisk. Ciri-ciri karakteristik bentuk yang demkian itu identik dengan gaya bahasa perulangan (repetisi).

Pantun Banjar

Etimologi, Definisi, dan Bentuk Fisik

Pantun merupakan pengembangan lebih lanjut dari Peribahasa Banjar. Istilah pantun sendiri menurut Brensetter sebagaimana yang dikutipkan Winstead (dalam Usman, 1954) berasal dari akar kata tun yang kemudian berubah menjadi tuntun yang artinya teratur atau tersusun. Hampir mirip dengan tuntun adalah tonton dalam bahasa Tagalog artinya berbicara menurut aturan tertentu (dalam Semi, 1993:146-147).
Sesuai dengan asal-usul etimologisnya yang demikian itu, maka pantun memang identik dengan seperangkat kosa-kata yang disusun sedemikian rupa dengan merujuk kepada sejumlah kriteria konvensional menyangkut bentuk fisik dan bentuk mental puisi rakyat anonim.
Setidak-tidaknya ada 6 kriteria konvensional yang harus dirujuk dalam hal bentuk fisik dan bentuk mental pantun ini, yakni : (1) setiap barisnya dibentuk dengan jumlah kata minimal 4 buah, (2) jumlah baris dalam satu baitnya minimal 2 baris (pantun kilat) dan 4 baris (pantun biasa dan pantun berkait), (3) pola formulaik persajakannya merujuk kepada sajak akhir vertikal dengan pola a/a (pantun kilat), a/a/a/a, a/a/b/b, dan a/b/a/b (pantun biasa dan pantun berkait), (4) khusus untuk pantun kilat, baris 1 berstatus sampiran dan baris 2 berstatus isi, (5) khusus untuk pantun biasa dan pantun berkait, baris 1-2 berstatus sampiran dan baris 3-4 berstatus isi, dan (6) lebih khusus lagi, pantun berkait ada juga yang semua barisnya berstatus isi, tidak ada yang berstatus sampiran.
Zaidan dkk (1994:143)mendefinisikan pantun sebagai jenis puisi lama yang terdiri atas 4 larik dengan rima akhir a/b/a/b. Setiap larik biasanya terdiri atas 4 kata, larik 1-2 merupakan sampiran, larik 3-4 merupakan isi. Berdasarkan ada tidaknya hubungan antara sampiran dan isi ini, pantun dapat dipilah-pilah menjadi 2 genre/jenis, yakni pantun mulia dan pantun tak mulia.
Disebut pantun mulia jika sampiran pada larik 1-2 berfungsi sebagai persiapan isi secara fonetis dan sekaligus juga berfungsi sebagai isyarat isi. Sementara, pantun tak mulia adalah pantun yang sampirannya (larik 1-2) berfungsi sebagai persiapan isi secara fonetis saja, tidak ada hubungan semantik apa-apa dengan isi pantun di larik 3-4.
Sementara Rani (1996:58) mendefinsikan pantun sebagai jenis puisi lama yang terdiri atas 4 baris dalam satu baitnya. Baris 1-2 adalah sampiran, sedang baris 3-4 adalah isi. Baris 1-3 dan 2-4 saling bersajak akhir vertikal dengan pola a/b/a/b.
Hampir semua suku bangsa di tanah air kita memiliki khasanah pantunnya masing-masing. Menurut Sunarti (1994:2), orang Jawa menyebutnya parikan, orang Sunda menyebutnya sisindiran atau susualan, orang Mandailing menyebutnya ende-ende, orang Aceh menyebutnya rejong atau boligoni, sementara orang Melayu, Minang, dan Banjar menyebutnya pantun. Dibandingkan dengan genre/jenis puisi rakyat lainnya, pantun merupakan puisi rakyat yang murni berasal dari kecerdasan linguistik local genius bangsa Indonesia sendiri.
Istilah pantun tidak ditemukan padanannya dalam bahasa Banjar, sehubungan dengan itu istilah ini langsung saja diadopsi untuk memberi nama fenomena yang sama yang ada dalam khasanah puisi rakyat anonim berbahasa Banjar (Folklor Banjar).
Dalam definisi yang sederhana pantun Banjar adalah pantun yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar. Definisi pantun Banjar menurut rumusan Tajuddin Noor Ganie (2006) adalah puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi khusus yang berlaku dalam khasanah folklor Banjar.

Fungsi Sosial Pantun Banjar

Pada masa-masa Kerajaan Banjar masih jaya-jayanya (1526-1860), pantun tidak hanya difungsikan sebagai sarana hiburan rakyat semata, tetapi juga difungsikan sebagai sarana retorika yang sangat fungsional, sehingga para tokoh pimpinan masyarakat formal dan informal harus mempelajari dan menguasainya dengan baik, yakni piawai dalam mengolah kosa-katanya dan piawai pula dalam membacakannya.
Tidak hanya itu, di setiap desa juga harus ada orang-orang yang secara khusus menekuni karier sebagai tukang olah dan tukang baca pantun (bahasa Banjar Pamantunan). Uji publik kemampuan atas seorang Pamantunan yang handal dilakukan langsung di depan khalayak ramai dalam ajang adu pantun atau saling bertukar pantun yang dalam bahasa Banjar disebut Baturai Pantun. Para Pamantunan tidak boleh tampil sembarangan, karena yang dipertaruhkan dalam ajang Baturai Pantun ini tidak hanya kehormatan pribadinya semata, tetapi juga kehormatan warga desa yang diwakilinya.

Status Sosial Pamantunan

Pamantunan merupakan seniman penghibur rakyat yang bekerja mencari nafkah secara mandiri dengan mengandalkan kemampuannya dalam mengolah kosa-kata berbahasa Banjar sehingga dapat dijadikan sebagai sarana retorika yang fungional.
Setidak-tidaknya ada 6 kriteria profesional yang harus dipenuhi oleh seorang Pamantunan, yakni : (1) terampil mengolah kosa-katanya sesuai dengan tuntutan yang berlaku dalam struktur bentuk fisik pantun Banjar, (2) terampil mengolah tema dan amanat yang menjadi unsur utama bentuk mental pantun Banjar, (3) terampil mengolah vokal ketika menuturkannya sebagai sarana retorika yang fungsional di depan khalayak ramai, (4) terampil mengolah lagu ketika menuturkannya sebagai sarana retorika yang fungsional, (5) terampil dalam hal olah musik penggiring penuturan pantun (menabuh gendang pantun), dan (6) terampil dalam menata keserasian penampilannya sebagai seorang Pamantunan.

 Datu Pantun, Pulung Pantun, dan Aruh Pantun

Tuntutan profesional yang begitu sulit untuk dipenuhi oleh seorang Pamantunan membuatnya tergoda untuk memperkuat tenaga kreatifnya dengan cara-cara yang bersifat magis, akibatnya, profesi Pamantunan pada zaman dahulu kala termasuk profesi kesenimanan yang begitu lekat dengan dunia mistik. Dalam hal ini sudah menjadi kelaziman di kalangan Pamantunan ketika itu untuk memperkuat atau mempertajam kemampuan kreatif profesionalnya dengan kekuatan supranatural yang disebut Pulung.
Pulung adalah kekuatan supranatural yang berasal dari alam gaib yang diberikan oleh Datu Pantun. Konon, berkat Pulung inilah seorang Pamantunan dapat mengembangkan bakat alam dan intelektualitasnya hingga ke tingkat yang paling kreatif (mumpuni).
Faktor Pulung inilah yang membuat tidak semua orang Banjar di Kalsel dapat menekuni profesi sebagai Pamantunan, karena Pulung hanya diberikan kepada oleh Datu Pantun kepada Pamantunan yang secara genetika masih mempunyai hubungan darah dengannya (hubungan nepotisme).
Datu Pantun adalah seorang tokoh mistis yang bersemayam di Alam Banjuran Purwa Sari, alam pantheon yang tidak kasat mata, tempat tinggal para dewa kesenian rakyat. Datu Pantun diyakini sebagai orang pertama yang secara geneologis menjadi cikal bakal pantun di kalangan etnis Banjar di Kalsel.
Konon, Pulung harus diperbarui setiap tahun, jika tidak, maka tuah magisnya akan hilang tak berbekas lagi. Proses pembaruan Pulung dilakukan dalam sebuah ritus adat yang khusus digelar untuk itu, yakni Aruh Pantun. Aruh Pantun dilaksanakan pada malam-malam gelap tanggal 21, 23, 25, 27, dan 29) di bulan Rabiul Awal atau Zulhijah.
Datu Pantun diundang berhadir dengan cara membakar dupa dan memberinya sajen berupa nasi ketan, gula kelapa, 3 biji telur ayam kampung, dan minyak likat baboreh secukupnya. Jika Datu Pantun berkenan memenuhi undangan, maka Pamantunan yang bersangkutan akan kesurupan (trance) selama beberapa saat. Sebaliknya, jika Pamantunan tak kunjung kesurupan itu berarti mandatnya sebagai seorang Pamantunan sudah dicabut oleh Datu Pantun. Tidak pilihan baginya kecuali mundur secara teratur dari panggung Baturai Pantun (pensiun).

Wisata ziarah
Kesultanan Bulungan atau Bulongan adalah kesultanan yang pernah menguasai wilayah pesisir Kabupaten Bulungan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, dan Kota Tarakan sekarang. Kesultanan ini berdiri pada tahun 1731, dengan raja pertama bernama Wira Amir gelar Amiril Mukminin (17311777), dan Raja Kesultanan Bulungan yang terakhir atau ke-13 adalah Datuk Tiras gelar Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin (1931-1958).[1]

Sejarah Kerajaan Bulungan

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/d/d1/Istana-kesultanan-bulungan.jpg/210px-Istana-kesultanan-bulungan.jpg
http://bits.wikimedia.org/skins-1.5/common/images/magnify-clip.png
Istana Kesultanan Bulungan pada abad ke-20.
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/c/cb/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_De_sultan_van_Bulungan_en_zijn_echtgenote_Borneo_TMnr_10001599.jpg/210px-COLLECTIE_TROPENMUSEUM_De_sultan_van_Bulungan_en_zijn_echtgenote_Borneo_TMnr_10001599.jpg
http://bits.wikimedia.org/skins-1.5/common/images/magnify-clip.png
Sultan Jalaluddin bersama permaisuri (tahun 1940).
http://bits.wikimedia.org/skins-1.5/common/images/magnify-clip.png
Atraksi Mendayung saat kedatangan pejabat kolonial ke Kesultanan Bulungan (hingga 1930).
Berdirinya Kerajaan Bulungan tidak dapat dipisahkan dengan mitos ataupun legenda yang hidup secara turun-temurun dalam masyarakat. Legenda bersifat lisan dan merupakan cerita rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya yang tidak tertulis dan sering kali mengalami distorsi maka sering kali pula dapat jauh berbeda dengan kisah aslinya. Yang demkian itulah disebut dengan folk history (sejarah kolektif). Kuwanyi, adalah nama seorang pemimpin suku bangsa Dayak Hupan (Dayak Kayan) karena tinggal di hilir Sungai Kayan, mula-mula mendiami sebuah perkampungan kecil yang penghuninya hanya terdiri atas kurang lebih 80 jiwa di tepi Sungai Payang, cabang Sungai Pujungan. Karena kehidupan penduduk sehari-hari kurang baik, maka mereka pindah ke hilir sebuah sungai besar yang bernama Sungai Kayan.
Suatu hari Kuwanyi pergi berburu ke hutan, tetapi tidak seekorpun binatang yang diperolehnya, kecuali seruas bambu besar yang disebut bambu betung dan sebutir telur yang terletak di atas tunggul kayu Jemlay. Bambu dan telur itu dibawanya pulang ke rumah. Dari bambu itu keluar seorang anak laki-laki dan ketika telur itu dipecah ke luar pula seorang anak perempuan. Kedua anak ini dianggap sebagai kurnia para Dewa. Kuwanyi dan istrinya memelihara anak itu baik-baik sampai dewasa. Ketika keduanya dewasa, maka masing-masing diberi nama Jauwiru untuk yang laki-laki dan yang perempuan bernama Lemlai Suri. Keduanya dikawinkan oleh Kuwanyi.

Kisah Jauwiru dan Lemlai Suri kini diabadikan dengan didirikannya sebuah Monumen Telor Pecah. Monumen tersebut terletak di antara Jl. sengkawit dan Jl. Jelarai, Kota Tanjung Selor, yang mengingatkan kita tentang cikal bakal berdirinya kesultanan Bulungan.
Bulungan, berasal dari perkataan Bulu Tengon (Bahasa Bulungan), yang artinya bambu betulan. Karena adanya perubahan dialek bahasa Melayu maka berubah menjadi “Bulungan”. Dari sebuah bambu itulah terlahir seorang calon pemimpin yang diberi nama Jauwiru. Dan dalam perjalanan sejarah keturunan, lahirlah kesultanan Bulungan. Setelah Kuwanyi wafat maka Jauwiru menggantikan kedudukan sebagai ketua suku bangsa Dayak (Hupan). Kemudian Jauwiru mempunyai seorang putera bernama Paran Anyi.
Paran Anyi tidak mempunyai seorang putera, tetapi mempunyai seorang puteri yang bernama Lahai Bara yang kemudian kawin dengan seorang laki-laki bernama Wan Paren, yang menggantikan kedudukannya. Dari perkawinan Lahai Bara dan Wan Paren lahir seorang putera bernama Si Barau dan seorang puteri bernama Simun Luwan. Pada masa akhir hidupnya, Lahai Bara mengamanatkan kepada anak-anaknya supaya “Lungun” yaitu peti matinya diletakkan di sebelah hilir [[sungai Kipah]]. Lahai Bara mewariskan tiga macam benda pusaka, yaitu ani-ani (kerkapan). Kedabang, sejenis tutup kepala dan sebuah dayung (bersairuk). Tiga jenis barang warisan ini menimbulkan perselisihan antara Si Barau dan saudaranya, Simun Luwan. Akhirnya Simun Luwan berhasil mengambil dayung dan pergi membawa serta peti mati Lahai Bara.
Karena kesaktian yang dimiliki oleh Simun Luwan, hanya dengan menggoreskan ujung dayung pada sebuah tanjung dari sungai Payang, maka tanjung itu terputus dan hanyut ke hilir sampai ke tepi Sungai Kayan, yang sekarang terletak di kampung Long Pelban. Di Hulu kampung Long Pelban inilah peti mati Lahai Bara dikuburkan. Menurut kepercayaan seluruh keturunan Lahai Bara, terutama keturunan raja-raja Bulungan, dahulu tidak ada seorangpun yang berani melintasi kuburan Lahai Bara ini, karena takut kutukan Si Barau ketika bertengkar dengan Simun Luwan. Bahwa siapa saja dari keturunan Lahai Bara bila melewati peti matinya niscaya tidak akan selamat. Tanjung hanyut itu sampai sekarang oleh suku-suku bangsa Dayak Kayan dinamakan Busang Mayun, artinya Pulau Hanyut.
Kepergian Simun Luwan disebabkan oleh perselisihan dengan saudaranya sendiri, saat itu merupakan permulaan perpindahan suku-suku bangsa Kayan, meninggalkan tempat asal nenek moyang mereka di sungai Payang menuju sungai Kayan, dan menetap tidak jauh dari Kota Tanjung Selor, ibu kota Kabupaten Bulungan sekarang. Suku bangsa Kayan hingga sekarang masih terdapat di beberapa perkampungan di sepanjang sungai Kayan, di hulu Tanjung Selor, di Kampung Long Mara, Antutan dan Pimping. Simun Luwan mempunyai suami bernama Sadang, dan dari perkawinan mereka lahir seorang anak perempuan bernama Asung Luwan. Asung Luwan kawin dengan seorang bangsawan dari Brunei, yaitu Datuk Mencang.
http://bits.wikimedia.org/skins-1.5/common/images/magnify-clip.png
Para kerabat Kesultanan Bulungan
Sejak pemerintahan Datuk Mencang inilah timbulnuya kerajaan Bulungan. Datuk Mencang adalah salah seorang putera Raja Brunei di Kalimantan Utara yang telah mempunyai bentuk pemerintahan teratur. Datuk Mencang berlabuh di muara sungai Kayan Karena kehabisan persediaan air minum. Dengan sebuah perahu kecil Datuk Mencang dan Datuk Tantalani menyusuri sungai Kayan mencari air tawar, tetapi suku bangsa Kayan sudah siap menghadang kedatangan mereka. Mujur pihak Datuk Mencang dan Datuk Tantalani cukup bijaksana dapat mengatasi keadaan dan berhasil mengadakan perdamaian dengan penduduk asli sungai Kayan. Dari hasil perdamaian ini akhirnya Datuk Mencang kawin dengan Asung Luwan, salah seorang puteri keturunan Jauwiru.
Menurut legenda, lamaran Datuk Mencang atas Asung Luwan ditolak, kecuali Pangeran dari Brunei itu sanggup mempersembahkan mas kawin berupa kepala Sumbang Lawing, pembunuh Sadang, kakaknya. Melalui perjuangan, ketangkasan dan kecerdasan, akhirnya Datuk Mencang dapat mengalahkan Sumbang Lawing. Perang tanding dilakukan dengan uji ketangkasan membelah jeruk yang bergerak dengan senjata. Datuk Mencang lebih unggul dan meme-nangkan uji ketangkasan tersebut.
Setelah Asung Luwan menikah dengan datuk Mencang (1555-1594), berakhirlah masa pemerintahan di daerah Bulungan yang dipimpin oleh Kepala Adat/Suku, karena sejak Datuk Mencang memimpin daerah Bulungan, pemimpinnya disebut sebagai Kesatria/Wira.

Sultan Bulungan

Berikut adalah daftar Sultan Bulungan, daftar berikut masih belum sempurna, karena ada tahun yang hilang serta nama yang tidak diketahui.[2]

Masa Pemerintahan Yang Dipimpin Oleh Seorang Kesatria/Wira

  • Datuk Mencang (Seorang bangsawan dari Brunei), beristrikan Asung Luwan(1555-1594)
  • Singa Laut, Menantu dari Datuk Mencang (1594-1618)
  • Wira Kelana, Putera Singa Laut (1618-1640)
  • Wira Keranda, Putera Wira Kelana (1640-1695)
  • Wira Digendung, putra Wira Keranda (1695-1731)
  • Wira Amir, Putera Wira Digendung Gelar Sultan Amiril Mukminin (1731-1777)

Masa Pemerintahan Yang Dipimpin Oleh Seorang Sultan

  • Aji Muhammad/Sultan Alimuddin bin Muhammad Zainul Abidin/Sultan Amiril Mukminin/Wira Amir (1877-1817)
  • Muhammad Alimuddin Amirul Muminin Kahharuddin I bin Sultan Alimuddin (jabatan ke-1) (1817-1861)[3]
  • Muhammad Jalaluddin bin Muhammad Alimuddin (1861-1866)
  • Muhammad Alimuddin Amirul Muminin Kahharuddin I bin Sultan Alimuddin (jabatan ke-2) (1866-1873)
  • Muhammad Khalifatul Adil bin Maoelanna (1873-1875)
  • Muhammad Kahharuddin II bin Maharaja Lela (1875-1889)
  • Sultan Azimuddin bin Sultan Amiril Kaharuddin (1889-1899).
  • Pengian Kesuma (1899-1901). Ia adalah istri Sultan Azimuddin.
  • Sultan Kasimuddin
  • Datu Mansyur (1925-1930), Pemangku jabatan sultan
  • Maulana Ahmad Sulaimanuddin (1930-1931)
  • Maulana Muhammad Jalaluddin (1931-1958)
Pada tahun 1850, orang Belanda, yang menaklukkan Berau pada tahun 1834 dan dikenakan kedaulatan mereka untuk Kutai pada tahun 1848, yang ditandatangani dengan Sultan Bulungan Kontrak Politik. Bersemangat untuk memerangi pembajakan dan perdagangan budak, bersedia untuk melawan pembajakan dan perdagangan budak, mereka mulai untuk campur tangan di wilayah ini.
Sampai tahun 1860, Bulungan berada di bawah Kesultanan Sulu. Selama periode ini, kapal Sulu pergi ke Tarakan dan kemudian di Bulungan untuk perdagangan langsung dengan Tidung. Pengaruh ini berakhir pada 1878 dengan penandatanganan perjanjian antara Inggris dan Spanyol yang dirancang untuk Sulu.
Pada 1881, Perusahaan Kalimantan Utara Chartered dibentuk, yang merupakan Borneo utara di bawah yurisdiksi Inggris, tetapi Belanda mulai menolak. Kesultanan itu akhirnya dimasukkan dalam kerajaan Hindia Belanda pada tahun 1880-an kolonial. Orang Belanda menginstal sebuah pos pemerintah di Tanjung Selor pada tahun 1893. Pada tahun 1900-an, seperti banyak negara-negara kerajaan lain di kepulauan ini, Sultan terpaksa menandatangani Korte verklaring, pernyataan "singkat" oleh yang menjual sebagian besar kekuasaannya atas tanah hulu.
Orang Belanda akhirnya mengakui perbatasan antara dua wilayah hukum pada tahun 1915. Kesultanan ini dikenakan status Zelfbestuur, "administrasi sendiri", pada tahun 1928, lagi-lagi seperti banyak negara pangeran Hindia Belanda.
Penemuan minyak di BPM (Bataafse Petroleum Maatschappij) di pulau Bunyu dan Tarakan akan memberikan sangat penting bagi Bulungan untuk orang Belanda, karena Tarakan ibukota daerah.
4.SEBUAH ANALISIS

c. situs situs sejarah yang potensial dan situs situs budaya yang potensial

A.NEED AND WANTS
Wisata budaya di Kaltim meliputi peninggalan sejarah dan keanekaragaman tradisi, kesenian lokal/ setempat yang spesifik serta menarik. Kesemuanya masih ditunjang oleh pengembangan sektor jasa (yang dapat mendukung kegiatan pariwisata); sektor pertambangan, industri, dan kehutanan yang cukup potensial di daerah Kaltim.

Dengan potensi wisata seperti itu, sektor pariwisata di Kaltim tergolong primadona dalam menghasilkan devisa negara. Selain itu, sektor ini diharapkan menjadi salah satu sektor yang dapat menyerap tenaga kerja sebanyak-banyaknya, di saat krisis ekonomi yang tak kunjung selesai ini. Melalui model padat karya, tentu sektor pariwisata akan ikut mendorong tumbuhnya perekonomian nasional dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Persyaratan utama yang dibutuhkan adalah keamanan dan ketenangan politik. Kedua hal itu sangat diharapkan oleh para wisatawan asing yang akan berkunjung ke Indonesia, khususnya Kaltim.

Jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang ber kunjung ke Kaltim pada 1997 dan 1998 adalah 42.817 orangdan 19.590 orang, sementara wisatawan domestik 1.345.650 orang dan 788.686 orang. Dengan demikian, jumlah total wisatawan pada 1997 dan 1998 adalah 1.388.467 orang dan 808.276 orang. Jumlahnya menurun drastis karena faktor keamanan yang kurang kondusif serta kerusuhan yang sedang marak di tanah air, terutama kerusuhan medio Mei 1998 di Jakarta, Solo, Medan, dan Surabaya. Ternyata, secara signifikan faktor ini sangat berpengaruh terhadap kunjungan wisatawan asing maupun domestik ke Kaltim. Nasib yang sama juga menimpa daerah lain.jadi kaltim membutuhkan aparat keamanan untuk mengamankan dan mengawasi provinsi kaltim,agar para wisatawan yang ingin berkunjung tidak mengurungkan niat nya untuk berwisata ke kaltim dan Negara tempat asal wisatawan mengijinkan warga nya untuk ke Indonesia terutama ke kaltim dan mencabut peringatan travel warning ke Indonesia.selain itu untuk menunjang pariwisata di kaltim,infrastruktur di kaltim harus diperbaiki,seperti bandara,jalan raya,agar akses untuk ke daerah tujuan wisata bisa tercapai dengan mudah dan cepat,selain itui dengan akses yang mudah,kaltim akan banyak menarik wisatawan,karena kaltim di dukung oleh banyak potensi pariwisata.dan keinginan kaltim untuk menjadikan tempat daerah wisata nya sebagai primadona tourism perlahan bisa terpenuhi.


B.1 MUST TO HAVE
Yang harus dimiliki untuk memenuhi kebutuhan konsumen adalah,pengelolaan dan pengembangan situs bersejarah seperti museum,arca,dan prasasti  harus dijaga dan dilestarikan betul nilai sejarah nya,agar saat para wisatawan datang kesana mereka akan sangat tertarik untuk mengetahui nilai sejarah situs tersebut.

B.2 NICE TO HAVE
Pengelola juga harus memperbaiki akses untuk mencapai tempat situs bersejarah tersebut,agar para wisatawan tidak menunggu lama unutk sampai kesana,selain itu pemda setempat juga wajib memfasilitasi dan memperbaki sarana dan prasarana yg ada,agar para wisatawan bias betah dan akan balik lagi jika berkunjung kesana.

C.SHADOW NEED COAST
Dan biaya yg dibutuhkan konsumen juga relative tidak mahal unutk melihat dan mengunjungi situs sejarah di Kalimantan timur,mungkin bagi wisatawan dari daerah lain harus mengeluarkan cost lebih,karena dia harus menggunakan pesawat atau kapal untuk sampai di Kalimantan timur,beda dengan masyarakat kaltim,mereka hanya perlu naik bus atau kendaraan pribadi unutk sampai kesana.


PENUTUP
Demikian analisis saya mengenai potensi wisata yang ada di Kalimantan timur,kurang lebih nya saya mohon maaf.karena manusia tidak pernah lepas dari kesalahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar