PENDAHULUAN
Riau adalah sebuah provinsi di Indonesia. Provinsi ini terletak di Pulau Sumatra dan beribukotakan Pekanbaru.
Luas wilayah provinsi Riau adalah 87.023,66 km². Keberadaannya membentang dari lereng Bukit Barisan sampai Selat Malaka, dengan iklim tropis basah dan rata-rata curah hujan berkisar antara 2000-3000 milimeter per tahun yang dipengaruhi oleh musim kemarau serta musim hujan. Rata-rata hujan per tahun sekitar 160 hari.
Sejarah Riau Secara etimologi, asal kata Riau terdapat bermacam pendapat, Rio dalam bahasa Portugis dapat bermaksud sungai, dan tercatat pada tahun 1514, ada sebuah ekspedisi militer Portugis dikirim menelusuri sungai Siak dengan tujuan mencari lokasi dari sebuah kerajaan yang diyakini mereka ada pada kawasan sungai tersebut. Pada awal kemerdekaan Indonesia, wilayah Riau tergabung dalam provinsi Sumatera yang berpusat di Medan. Kemudian provinsi Sumatera dimekarkan menjadi tiga provinsi, yakni Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Selanjutnya pada tahun 1957, berdasarkan Undang-undang darurat nomor 19 tahun 1957, provinsi Sumatera Tengah kembali dimekarkan atas 3 provinsi yaitu Riau, Jambi dan Sumatera Barat. Berdasarkan Kepmendagri nomor Desember 52/I/44-25, pada tanggal 20 Januari 1959, kota Pekanbaru resmi menjadi ibu kota provinsi Riau mengantikan kota Tanjung Pinang. Pada tahun 2002, berdasarkan Undang-undang nomor 25 tahun 2002, provinsi Riau juga dimekarkan lagi atas 2 provinsi yaitu Riau dan Kepulauan Riau. Sehingga wilayah administrasi provinsi Riau selanjutnya adalah dikurangi dengan wilayah provinsi Kepulauan Riau sekarang.
PERBATASAN
Utara berbatasan dengan Kepulauan Riau dan Selat Melaka
Selatan dengan Provinsi Jambi dan Selat Berhala
Timur berbatasan dengan Laut Cina Selatan (Provinsi Kepulauan Riau)
Barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Sumatera Utara.
JUMLAH PENDUDUK
Jumlah penduduk provinsi Riau berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Riau tahun 2010 sebesar 5.543.031 jiwa.
Kabupaten/Kota yang memiliki jumlah penduduk terbanyak adalah Kota Pekanbaru dengan jumlah penduduk 903.902 jiwa, sedangkan
Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk terkecil adalah Kabupaten Kepulauan Meranti sebesar 176.371 jiwa.
SUKU
Adapun etnis-etnis yang terdapat di provinsi Riau antara lain Melayu, Jawa, Minangkabau, Tionghoa, Mandailing, Batak, Bugis, Aceh, Sunda, Banjar, dan Flores.
Selain itu di provinsi inimasih terdapat sekumpulan masyarakat terasing di kawasan pedalaman
dan bantaran sungai seperti Orang Sakai, Suku Akit, Suku Talang Mamak, dan Suku Laut
BAHASA
Bahasa pengantar masyarakat provinsi Riau pada umumnya menggunakan Bahasa Melayu
dan Bahasa Indonesia.
Penggunaan Bahasa Minang secara luas juga digunakan oleh penduduk di provinsi ini. Selain
itu bahasa Hokkien juga masih banyak digunakan di kalangan masyarakat Tionghoa, terutama
yang bermukim di daerah seperti Selatpanjang, Bengkalis, dan Bagansiapiapi
AGAMA
Agama - agama yang dianut penduduk provinsi ini sangat beragam, diantaranya Islam, Kristen
Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu
SITUS SITUS SEJARAH
Candi Muara Tikus adalah salah satu candi peninggalan kebudayaan Hindu.
Komplek Candi Muara Takus merupakan satu-satunya peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau. Berlokasi di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, jaraknya kurang lebih 135 km dari Kota Pekanbaru. Jarak antara komplek candi ini dengan pusat desa Muara Takus sekitar 2,5 kilometer dan tak jauh dari pinggir sungai Kampar Kanan.
Desa Wisata Buluh Cina dibelah oleh Sungai Kampar yang dikelilingi oleh hutan tropis seluas 100 (seratus) hektare lebih.
Desa Buluh Cina terbagi ke dalam tiga dusun dengan jumlah penduduk sekitar 1500 jiwa atau 300 kepala keluarga (KK). Desa Buluh Cina merupakan desa adat tertua yang mengilhami kelahiran desa-desa yang ada di sekitarnya, seperti Desa Watas Hutan, Desa Pangkalan Baru, Desa Baru, Desa Pandau Jaya dan Desa Tanah Merah
Di desa ini kita melihat rumah panggung khas Melayu Kampar, Balai Adat dan museum dua suku yang berisi peralatan-peralatan yang diwariskan secara turun-temurun dari para leluhur. Di sepanjang tepian sungai, kita dapat menyaksikan anak-anak mandi dan wanita mencuci di atas rakit-rakit. Sampan-sampan penduduk yang lalu lalang mencari ikan atau pergi ke ladang menambah keindahan suasana desa yang sengaja di buat dengan alami, dan kegiatan kegiatan yang di lakukan oleh desa tersebut. Desa Buluh Cina, terletak di Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Lokasi Desa Wisata Buluh Cina berjarak sekitar 20 kilometer atau setengah jam perjalanan mengendarai mobil dari Kota Pekanbaru, ibukota Provinsi Riau. Dan berjarak sekitar 90 kilometer dari Bangkinang, ibukota Kabupaten Kampar.
SITUS – SITUS BUDAYA
Tradisi yang masih berlangsung
Tradisi yang masih berlangsung di Riau hanya ada di suku pedalaman Riau yang di Talang Mamak. Bagi masyarakat pedalaman Talang Mamak, Riau, setiap momen kehidupan memiliki arti penting. Hampir semuanya selalu “dirayakan” dalam sebuah upacara ritual. Masyarakat pedalaman Talak Mamak memiliki adat istiadat turun temurun yang disebut Langkah Lama. Kegiatan budaya yang digelar dengan permainan dan seni tradisi dikalangan Suku Talang Mamak disebut Begawai. Ritual Begawai ada bermacam-macam, karena itulah ada begawai yang digunakan untuk merayakan atau menyemarakkan upacara-upacara adat perkawinan, upacara bulean (pengobatan).
Riau memiliki potensi besar di bidang arsitektur. Sejak zaman dahulu gaya arsitektur bangunan di Riau kuat dipengaruhi oleh corak Hindu-Budha. Belum lagi kerjaan Melayu seperti Siak yang bangunannya dipengaruhi oleh arsitektur Timur Tengah dan Eropa. Gaya arsitektur di Bumi Lancang Kuning ini lebih berwarna lagi dengan adanya kerajaan-kerajaan kecil yang tersebar di seluruh aliran Sungai yang ada di daratan Riau (Sungai Rokan, Siak, Kuantan dan Indragiri). Sesuai dengan perkembangan teknologi kini, bangunan yang ada di Riau pun berkembang. Gaya, arsitektur lama yang sarat dengan nilai-nilai budaya berpadu dengan canggihnya teknologi, salah satu contoh gaya arsitektur dapat dilihat dari Rumah adat Riau identik dengan Melayu.
Balai Salaso Jatuh, Balai salaso jatuh adalah bangunan seperti rumah adat tapi fungsinya bukan untuk tempat tinggal melainkan untuk musyawarah atau rapat secara adat. Sesuai dengan fungsinya bangunan ini mempunyai macam-macam nama antara lain : Balairung Sari, Balai Penobatan, Balai Kerapatan dan lain-lain. Bangunan tersebut kini tidak ada lagi, didesa-desa tempat musyawarah dilakukan di rumah Penghulu, sedangkan yang menyangklut keagamaan dilakukan di masjid. Begitu pula Balai adat di Kabupaten Kampar yang disebut Balai Gadang kini tidak ada lagi. Balai Salaso Jatuh mempunyai selasar keliling yang lantainya lebih rendah dari ruang tengah, karena itu dikatakan Salaso Jatuh. Semua bangunan baik rumah adat maupun balai adat diberi hiasan terutama berupa ukiran. Di puncak atap selalu ada hiasan kayu yang mencuat keatas bersilangan dan biasanya hiasan ini diberi ukiran yang disebut Salembayung atau Sulobuyung yang mengandung makna pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Rumah Melayu Atap Lontik
Rumah lontik yang dapat juga disebut rumah lancang karena rumah ini bentuk atapnya melengkung keatas dan agak runcing sedangkan dindingnya miring keluar dengan hiasan kaki dinding mirip perahu atau lancang. Hal ini melambangkan penghormatan kepada Tuhan dan terhadap sesama. Rumah lontik diperkirakan dapat pengaruh dari kebudayaan Minangkabau karena kabanyakan terdapat di daerah yang berbatasan dengan Sumatera Barat. Tangga rumah biasanya ganjil, bahkan rumah lontik beranak tangga lima, Hal ini ada kaitannya dengan ajaran islam yakni rukun islam lima.
SENI PERTUNJUKAN
Riau sangat kaya akan seni pertunjukan teater, tari, musik dan nyanyia. Inilah bentuk bentuk keseniannya :
Makyong yaitu pertunjukan rakyat di daerah Riau, seperti teater yang pelakunya memakai topeng dan kuku buatan yang panjang, cerita yang diangkat biasanya tidak jauh dari istana, karena perkembangan kesenian ini berawal dari kerajaan. Di zaman dulu, pertunjukan mak yong diadakan orang desa di pematang sawah selesai panen padi. Pertunjukan mak yong dibawakan kelompok penari dan pemusik profesional yang menggabungkan berbagai unsur upacara keagamaan, sandiwara, tari, musik dengan vokal atau instrumental, dan naskah yang sederhana. Tokoh utama pria dan wanita keduanya dibawakan oleh penari wanita. Tokoh-tokoh lain yang muncul dalam cerita misalnya pelawak, dewa, jin, pegawai istana, dan binatang. Pertunjukan mak yong diiringi alat musik seperti rebab, gendang, dan tetawak,
Budaya kesenian masyarakat Riau, seperti seni tari berkembang secara integral dengan seni teater. Misalnya tari Ladun, tari Jalan Kunon, dan tari Lemak Lamun yang menjadi bagian dari teater Mendu. Atau tari Selendang Awang, tari Timang Welo, tari Berjalan Jauh, dan tari Cik Milik yang merupakan bagian penyusun teater Makyong.
Seni Sastra berkembang terpisah dari seni teater, walaupun tidak sepenuhnya lepas. Warisan kesusastraan Riau yang paling menonjol adalah Gurindam Dua Belas karya cipta Raja Ali Haji. Namanya sebagai sastrawan, ahli bahasa, penulis sejarah sekaligus ulama, amat disegani di dunia. Jejaknya dijadikan rintisan bagi sastrawan sesudahnya seperti Raja Ali Kelana, Raja Zaleha, Aisyah Sulaiman, dan lain-lain.
Tari etnik yang berkembang di daerah Riau dilatarbelakangi oleh religi masyarakat kuno (primitif) yang menumbuhkan tari-tarian etnik yang bersifat religius-magis. Tari etnik di Riau dapat dibedakang menjadi tari etnik kerakyatan dan tari etnik kebangsawanan (tari istana), tari kebangsawanan adalah tari yang berkembang dilungkungan istana yang berfungsi untuk seremonial penghormatan raja dan untuk berbagai acara kenegaraan. Pada umumnya tari kebangsawaan bersifat agung, gembira, dan diliputi kemeriahan. Sementara tari etnik kerakyatan adalah menggambarkan ekspresi kehidupan masyarakat pada umumnya, yaitu mengambarkan liku-liku hidup dan kehidupan para petani, nelayan, dan berbagai dinamika lingkungan etnik di pedesaan yang diliputi oleh mitos dan legende se tempat.
Seni Plastis
Seni rupa khas Riau teraplikasi dalam motif hias seni rupa terapan, di antaranya pada seni bangunan, kerajinan, dan kain adat seperti kain tenun Siak, sutera lintang Siantan, serta sutera petak catur dan kain mastuli Daik Lingga. Motif Riau menghindari gambar binatang dan manusia, dan sebagai gantinya, mengeksplorasi motif geometri dan tumbuh-tumbuhan, serta kaligrafi. Motif yang terkenal misalnya: bunga cengkih, pucuk rebung, awan larat, sayap layang-layang, siku keluang, dan lain-lain.
Kerajinan Rakyat
Kerajianan rakyat yang menjadi ciri khas Riau adalah Tenun Songket Bukit Batu . Salah satu budaya rakyat Bukit Batu adalah kerajinan tenun Songket yang menjadi ciri khas kerajaan Siak tempo dulu. Kerajinan tenun Songket traditional asli berasal dari Kecamatan Bukit Batu (dekat desa Bukit Batu)
Legenda / Mitologi
Legenda yang ada di Riau ini sedikit aneh, tentang ikan patin yang banyak di jumpai di Riau. Menurut masyarakat setempat dulunya ikan ini hanya ada di daerah aliran Sungai Indragiri, Sungai Siak, Sungai Kampar, dan Sungai Rokan. Ikan patin yang asli adalah berasal dari sungai dan memiliki aroma khas. Selain itu, ikan patin yang dari sungai biasanya memiliki ukuran lebih panjang dan lebih berat. Pada era tahun 1970-an hingga 1980-an, masyarakat Riau masih sering menjumpai ikan patin yang panjangnya sampai satu meter lebih. ada sebuah cerita rakyat yang telah melegenda di kalangan masyarakat Riau. Berkaitan dengan ikan patin ada sebuah cerita rakyat tersebut mengisahkan seorang nelayan yang bernama Awang Gading, yang menemukan seorang bayi perempuan di atas batu di tepi sungai saat ia pulang memancingWisdom
Local
Hanya ada di suku dalam di Riau yaitu talak mamak yang masih menggunakan pepatah untuk mengingatkan para generasinya. Seperti ini, Hutan mereka bagi dalam tiga kawasan: hutan lindung/keramat (tak boleh sembarangan ditebang sekalipun oleh warganya sendiri), pemukiman dan perladangan. Mereka hanya memanfaatkan hutan lindung dengan memanfaatkan akar-akar tumbuhan sebagai obat, juga daun-daun maupun air dari dalam kayu. Kayu-kayu bekas pun mereka kreasikan menjadi aneka kerajinan/perabotan. Salah satunya adalah Tepak, tempat sirih khas Suku Talang Mamak. Pentingnya menghargai hutan dan tanah ulayat diamanatkan nenek moyang Talak Mamak kepada keturunannya, dalam sebuah pepatah, "langit diaku bapak, bumi diaku ibu", sehingga menjual tanah adat adalah durhaka.
SEBUAH ANALISIS
SITUS – SITUS SEJARAH YANG POTENSIAL
Kebutuhan dan keinginan para wisatawan dalam mempelajari sejarah yang ada di Indonesia sangatlah kurang, Karena dapat kita lihat pelajaran di sekolah, sejarah itu sangat membosankan. Kini bagaimana kita bisa mengangkat bahwa sejarah sangatlah menyenangkan untuk di pelajari. Dengan belajar di luar kelas dan mengunjungi museum yang sekarang juga sudah bisa membuat para wisatawan merasa tidak bosan, karena teknologi yang digunakan membuat para wisatawan belajar lebih interaktif tidak hanya melihat lihat saja.
Di Riau hanya ada satu peninggalan sejarah yang masih tertinggal yaitu Candi Muara Takus, salah satu candi peninggalan agama Budha yang sekarang kurang menarik bagi wisatawan. Jarak lokasi yang jauh dan menghabiskan waktu 2.5 jam dari Pekanbaru ini serta kendaraan sebagai akses kesana tidak ada seperti angkot. Kurang promosi dan kurang menariknya para tour guide menjelaskan candi ini juga menjadi kendala dalam pengembangan salah satu situs sejarah ini.
PENUTUP
Demikianlah yang bisa saya jelaskan tentang potensi-potensi wisata sejarah dan wisata budaya yang saya ketahui di Riau, Semoga dokumen penelitian ini bermanfaat dan anda anda berminat berwisata ke Riau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar