Tentunya saya amat bersyukur karena saya terlahir dengan selamat. Hari jum’at Tanggal 17 Juli 1990 pada pukul 17.15 saya terlahir dengan nama Awad Afiru, namun saya lebih akrab dipanggil “Piyu”. Saya adalah buah hati pertama dari Ibu Fatimah dan Bapak Suratman dari dua bersaudara. Ibu saya berdarah Banten dan Ayah saya Medan (Melayu). Singkatnya, saya adalah perpaduan Jawa dan Sumatra. Saya tinggal di desa Citerep, PAndeglang-Banten. Daerah pesisir Pantai Tanjung lesung yang eksotik dan menyimpan seribu cerita. Saya lahir dan besar disana. Kondisi Sosial, Politik, dan ekonomi disini cukup stabil atau bisa disebut “Terlihat Stabil” memang seperti itulah kondisi Politik masa Orde Baru. Koramil dan Kodim sering lalu lalang, tanpa masalah, tak ada pergolakan, demonstrasi, dan perlawanan. Itulah pemikiranku yang belum bisa melihat bias stabilitas politik Orde Baru. Tahun 1995-an saya masuk TK (Taman Kanak-kanak) Al-Jamiatussyuban, dua tahun kemudian saya melanjutkan ke SD (Sekolah Dasar) Negeri 1 Citerep. Masa-masa yang amat penuh gejolak tak terjawab, mungkin ini adalah Reaksi dari Pembangunan Kawasan Wisata Tanjung Lesung yang di usung oleh PT. BWJ. Yang telah merubah dengan “congkak” peta tanah Warga Citerep sebagai imbas dari Pembangunan Kawasan Wisata Tanjung Lesung. Atas nama Pembebasan tanah, banyak warga yang terpaksa menyerahkan tanahnya dengan harga yang murah, bila warga menolak, maka tidak aka nada penyelesaian. Sesuai dengan ajaran Agama yang kental di keluarga saya, dengan sepenuh hati saya lanjutkan pendidikan ke Pesantren Modern Darunnajah setelah lulus dari SDN 1 Citerep. Tentunya saya masuk pada tingkat MTs (Madrasah Tsanawiyah) sederajat SMP (Sekolah Menengah Pertama). Pesantren ini beralamat di JakSel (Jakarta Selatan), ulu Jami. Banyak pengalaman menarik yang belum saya dapatkan sebelumnya, namun saya mendapatkannya disini, ditahun yang sama dari kekuasaan Megawati sebagai presiden, tahun 2003. Seperti Pesantren Modern pada umumnya, tertutup dari dunia luar (khususnya lingkungan sosial), disana saya banyak belajar mengurus diri sendiri lebih mandiri dan berbanding 70% dengan situasi dirumah tercinta. Sebagai seorang anak yang proaktif dan periang, banyak berbagai jenis olahraga yang saya geluti dan berbuah berbagai prestasi. Sepakbola, roller blade, ---, ----. Hal ini pada akhirnya membawa saya pada pengalaman yang tidak bisa begitu saja didapatkan orang lain atau sesama anak Pesantren Darunnajah. Tanggal 24 Maret 2003, saya mendapatkan kesempatan untuk ikut dalam rombongan Jambore perwakilan dari Pesantren Darunnajah menuju 5 Negara di Asia Tenggara. Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia dan terakhir Singapura. Hanya 10 dari 400 anak Pesantren ini yang mendapatkan kesempatan ini, dan saya adalah salahsatunya yang termuda, karena saya baru saja menginjak kelas 1 MTs/ SMP. Tahun 2004-an, saya pindah ke SMP Muhamadiyah II Jogjakarta. karena memang lingkungan pesantren yang begitu tertutup membuat saya tidak “betah” dan kebetulan ayah saya pindah tugas (pekerjaan ayah saya adalah Wiraswasta: kontraktor). Hingga akhinya saya menyelesaikan Pendidikan SMP disana. Lalu melanjutkan ke SMA (Sekolah Menengah Atas) Muhamadiyah I sekitar Tahun 2006. Lalu saya pindah lagi ke SMA Taman Siswa Jogjakarta. Tahun 2007 saya pindah ke SMAN I Pandeglang karena ayah saya pindah lagi. Hingga akhirnya lulus sekitar tahun 2009. Tidak sedikit pun saya menyesali perpindahan ini (walaupun tidak biasa). Karena banyak pengalaman berharga yang saya dapatkan. Karena bagi saya, berbicara dengan orang yang sama setiap hari, amatlah membosankan. Lingkungan yang berbeda dan baru selalu memberikan inspirasi baru. Allhamdulillah, saya lulus UAN. Banyak pilihan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Universitas. Ada universitas yang coba saya masuki. UGM (Universitas Gajah Mada)dan UNJ (Universitas Negeri Jakarta). Pada gelombang awal, saya mencoba masuk ke UGM dahulu untuk Fakultas Ekonomi. Melalui SMPTN, Ujian Mandiri dan lain-lain. Namun tidak ada yang membuahkan hasil, semua test yang saya jalani gagal. Akhirnya saya putuskan untuk mengadu nasib di UNJ. Pertama, saya menjalani test SMPTN untuk Jurusan Manajenent, namun gagal. Lalu, Jurusan Sosiologi, namun gagal kembali. Akhirnya, atas saran kawan saya (Mr. X), dengan alasan yang cukup logis, dia menyakinkan saya untuk masuk Jurusan Usaha Pariwisata. Pertama, saya adalah orang yang (mungkin) mempunyai banyak pengalaman (perpindahan sekolake berbagai kota).lalu kedua, pariwisata adalah Jurusan yang mengutamakan Praktek dibandingkan Teori, hal ini amat cocok dengan kepribadian saya yang tidak suka berfikir terlalu lama, namun lebih menyukai bertindak cepat. Lagipula, untuk prospek pada masa depan, pariwisata mempunyai jaminan kerja yang luas. Tentu dengan usaha yang keras. Ini hanyalah kesan pertama saya pada saat pertama masuk Jurusan Pariwisata. Selanjutnya, saya dapat merasakan dengan sendirinya bagaimana Pariwisata itu amat menjanjikan. Pada awal ketertarikan saya, hanyalah Motif-motif ekonomi. Ya, karena saya pikir, Pariwisata dapat membuka jaringan baru bagi saya untuk masa depan dan tentunya pengalaman-pengalaman yang menjanjikan. Akan tetapi kini saya dapat melihat motif-motif tersembunyi dari jurusan pariwisata ini. Semakin dalam kita mengekplorasi sebuah tempat pariwisata, maka kita tidak dapat terlepas dari masalah Sosial, Politik dan Budaya kawasan wisata tersebut. Indonesia menjadi tempat favorit Wisatawan asing, karena memang mempunyai potensi alam yang menjanjikan. Namun ada banyak tempat wisata yang belum tereksplorasi. Lebih daripada itu, kita semua tahu bahwa “Bali” adalah surganya wisatawan. Akan tetapi pantaskah ada sebuah kalimat; “Indonesia sebelah mananya Bali?” itu adalah sebuah kritik yang amat pedas dari wisatawan yang lugu. Disinilah akhirnya kita dapat menemukan tugas kita sesungguhnya sebagai mahasiswa Pariwisata. Terkadang eksplorasi mengorbankan banyak pihak, terutama warga setempat dan tanah adat (kuburan, tempat suci dll). Seperti yang saya sebutkan diatas, di tanjung lesung (daerah tempat saya tinggal), pembangunan kawasan wisata ini menyerobot tanah warga. Lalu apa solusinya? Kita ditempatkan pada posisi dimana kita harus memberikan kenyamana, pelayanan dan rasa aman kepada wisatawan (pengembang wisata). Akan tetapi, jika kita melakukan apa yang dilakukan PT. BWJ di tanjung lesung, tidak akan ada kenyamanan seperti yang diharapkan, karena PT tersebut telah berbuat tidak adil kepada warga. Dan tidak ada jaminan (sebuah kemungkinan) tidak akan terjadi pergolakan pada warga, karena jika lahan produksi sebuah masyarakat yang terganggu, akan menggangu pola berfikir masyarakat tersebut. Hal ini biasanya berujung pada; penyerangan, terror, boikot dan lain- lain. Kita sebagai bagian dari masyarakat dan bagian dari sebuah program pembangunan kawasan wisata, harus dapat menjembatani keinginan masyarakat (warga) dan wisatawan. Biasanya, ditempat-tempat wisata yang sudah maju, mapan dan nyaman, masyarakat sekitar dengan sendirinya menjaga situasi keamanan ditempat wisata tersebut karena semua elemen kekuatan masyarakat telah bergantung pada kawasan wisata tersebut. Untuk itu telaah sosial, ekonomi, politik serta budaya sebuah kawasan wisata amat diperlukan dibandingkan hanya sekedar menyelesaikan masalah-masalah konflik yang terjadi dari teori-teori yang memenuhi buku-buku akademik. Alasan sebuah teori selalu berubah, karena fakta dari teori tersebut ikut berubah seiring waktu. Berbeda dengan pengalaman langsung. Dimana kita ikut dalam sebuah penyelesaian konflik (warga dan pengembang wisata) yang terjadi. Karena hanya yang merasa terlibat secara pribadi yang pantas berfikir tentang sebuah masalah yang terjadi. Itu barulah pantas disebut “pikiran”.
Saya bangga menjadi bagian keluarga Pariwisata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar