Senin, 15 November 2010

TUGAS 3# MENGUNGKAP IDE PERILAKU DI MASA ORANGTUAKU

B
erbicara budaya generasi orangtua saya, ada 7 unsur kebudayaan yang sangat erat hubungan. Kali ini saya akan menceritakan 7 unsur kebudayaan pada generasi orang tua saya. Saya .. Adinda Iftitah Laras, anak kedua dari G.Sunaryo dan Nur Fachriah,  keduanya orangtua saya lahir dan besar di lingkungan Jakarta pada Era-60an. Percampuran dua budaya Jawa dan Sunda dari kakek nenek kedua orangtua saya ini, tetapi yang akan saya cerita pada bagian 3 ini lebih ke sistem budaya ayah saya  dan sistem pengetahuan ibu saya yang memang sudah pintar sejak kecil.

A.   BAHASA

          Berbicara bahasa, kakek nenek dari ayah saya adalah keturunan asli Jawa (Kutoarjo), saya biasanya memanggilnya dengan “MBAH KAKUNG” (sebutan untuk kakek), dan “MBAH UTIH” (sebutan untuk nenek) sedangkan kakek dan nenek dari ibu saya juga keturanan asli Sunda (Majalengka) biasanya saya memanggilnya dengan sebutan “AKI” (sebutan untuk kakek), dan “NINI” (sebutan untuk nenek). Dalam bahasa sehari – hari nenek saya masih menggunakan bahasa jawa dalam berbicara, namun tidak kepada kami para cucunya, karena saya sendiri tidak begitu mengerti bahasa jawa, kalau pun bisa berbicara bahasa jawa cuma kata – kata yang gampang saja seperti :
iki opo ? = ini apa
ora opo-opo = tidak apa-apa
matur nuwun =  terima kasih
Ketidakbisaan saya dalam berbahasa Jawa, karena dari sejak kecil sudah lafal berbicara bahasa Indonesia, jadi untuk berlajar bahasa Jawa itu sangat sulit.

B.    SENI

          Seni yang dapat terlihat kelurga besar ayah saya masih pekat adalah nembang (menyanyi). Sedikit sama memang dari seni kebudayaan Jawa, namun nembang (menyanyi)  disini bukan seperti nembang jawa yang halus, tetapi menyanyi yang mempunyai aliran bermacam – macam. Tetapi itulah kesenian yang turun sampai cucunya. Nenek dan kakek saya merantau dari Jawa ke Jakarta hanya untuk bisa membesarkan ke 10 anaknya yang sekarang sudah sukses, memang nenek dan kakek saya tidak mempunyai suara bagus untuk menyanyi, namun anehnya hampir semua PAK DE (sebutan paman dalam bahasa Jawa) bisa menyanyi, apalagi dengan aliran musik keroncong, sampai kaka sepupu saya Mba Rika adalah salah satu penyanyi keroncong top di TVRI dan sudah banyak memenangkan lomba menyanyi keroncong. Rata – rata beberapa cucu dari nenek saya bisa menyanyi dengan suara bagus dengan aliran yang berbeda.

C.   SISTEM RELIGI

          Kelurga saya yang menganut agama islam masih sangat kental dengan adat dan tradisi orang Jawa, maupun dalam islam sendiri itu tidak di ajarkan. Seperti :
·         Setelah ada yang meninggal dalam keluarga kita, pasti ada namanya doa bersama dari 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari yang harus mengadakan pengajian.

D.  WUJUD ILMU PENGETAHUAN

          Dalam sistem pengetahuan, ibu dan ayah diajarkan dengan cara mendidik yang hampir sama dengan anak jaman sekarang. Namun kalau jaman sekarang sudah banyak sekali les privat / tambahan yang di buka untuk melengkapi pelajaran – pelajaran yang tidak dimengerti di sekolah, sedangkan dahulu kalau tidak mengerti pelajaran disekolah atau ada PR, ibu saya senang mengajarkan teman – temannya karena ibu saya terbilang anak yang pintar di sekolahnya dan kebanyakan temannya selalu minta di ajarin ulang dalam bentuk kelompok. Dalam sistem kependidikan, dari SD, SMP, masih memakai caturwulan dimana dalam setahun di hanya ada masa aktif belajar 4 bulan dan terdapat 3 kali ujian. Dan pada saat ibu saya SMA sudah memakai sistem semester. Sistem kelulusan pada saat SD memakai nilai ijasah. Saat ibu saya SMP sudah ada pelajaran bahasa inggris. Setelah lulus SMA Negeri 1 Jakarta ibu saya melanjutkan kuliah ke Muhamadiyah mengambil Perkantoran dan kemudian S1-nya mengambil program pendidikan di IKIP Rawamangun yang sekarang menjadi kampus saya Univesitas Negeri Jakarta.

E.    SISTEM TEKNOLOGI

          Dalam perkembangan, teknologi pun semakin berkembang. Dahulu saat ayah dan ibu saya menginjak sekolah dari SD sampai SMA dalam mengajar, seorang guru masih menggunakan papan tulis yang alat tulisnya masih menggunakan kapur. Buku tulis, pulpen dengan 4 warna dan pensil sudah dapat digunakan murid – murid di jaman ayah dan ibu saya sekolah dasar. Sistem teknologi seperti kalkulator juga sudah ada untuk alat menghitung. Saat ayah dan ibu saya memasuki jenjang SMA mulailah ada sebuah komputer yang hanya bisa dipakai mengetik saja.
          Teknologi lainnya adalah televisi yang masih berwarna hitam putih yang kebanyakan belum sebagian orang punya. Dan pada saat itu hanya satu stasiun televise yang aktif melakukan siaran yaitu TVRI. Setelah itu ada pager yang digunakan sebagai alat komunikasi sebelum adanya handphone, caranya dengan menelepon operator pager tersebut menyebutkan nomer tujuan pesan yang ingin dikirim dam pesannya apa, setelah itu si operator akan mengirim pesan tersebut ke nomer tujuan. Sebelum adanya peger, ibu saya jika ingin menelepon bisa dengan kartu telepon yang didalamnya terdapat saldo yang bisa digunakan di telepon umum.

F.     SISTEM SOSIAL

          Nini saya adalah seorang anak perempuan keturunan darah biru (Ningrat), anak dari kakek buyut saya yang bernama Raden Abdul Hadat. Namun sayangnya saya tidak dapat gelar nama Raden, karena Nini Enah (nama penggilan nini saya) seorang anak perempuan yang jika ingin tetap berdarah biru harus menikah dengan pria berdarah biru juga, namun pada kenyataannya tidak. Beda dengan saudara lakinya yang sudah mendapat gelar Raden, jika ia menikah dengan bukan keturunan darah biru, maka gelar tersebut tidak akan hilang.
Namun sayangnya ibu saya tidak terlalu dekat dengan kelurga besarnya, karena kalau saja saya melihat sisilah kelurga dari nenek saya sangatlah yang sangat ribet. Kata ibu saya, hampir setiap saya berkunjung ke Majalengka kalau di Majalengka itu hampir semua orang yang kita kenal pasti masih berhubungan saudara dengan kita, tidak tau sambungannya darimana.
Beda dengan sisilah kelurga besar dari Mbah Utih, dengan punya anak 10 yang sekarang sudah menghasilkan 26 cucu dan 16 cicit.

G.  SISTEM EKONOMI

          Nilai mata uang yang berbeda saat ayah dan ibu saya kecil, dahulu untuk naek angkutan umun hanya Rp. 5- (lima perak) dan uang ongkos ibu saya saat sekolah hanya Rp. 10- (sepuluh perak) bahkan untuk jajan pun tak bisa. Kalaupun mau jajan harus rela jalan dari sekolah sampai rumah yang jaraknya lumayan jauh. Nilai mata uang ini  sangat besar, namun nominalnya yang kecil.
          Mbah utie yang hanya seorang perantau dari Jawa bisa sukses dengan banyak tanah, seorang yang bekerja keras dan mempunyai kepintaran dalam menghitung. Dahulu apa saja yang bisa nenek jual dia kerjakan, dari membantu orang mencarikan sofa, emas sampai berlian. Dan dahulu saya ayah saya kecil masih mengenal sistem barter, jadi jika ada orang yang mencari sofa, nenek saya dengan semangatnya mencarikan orang tersebut sofa dan sistem pambayarannya dengan barter, tau kalian apa yang dibarterkan ? itu adalah tanah yang sebanding dengan harga sofa tersebut. Begitupun saya berbisnis emas dan berlian. Sehingga sampai saat ini nenek saya maupun bukan orang asli Jakarta, tetapi seperti orang Jakarta yang kebanyakan adalah juragan tanah. Tetapi dengan hasil seperti ini, sekarang mbah utih bisa menuntaskan semua anaknya sampai ke perguruan tinggi dan menjadi orang sukses.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar