Keluarga Bapak Atu supriadi adalah keluarga besarku. Dimana tempat aku tumbuh dan berkembang selama 19 tahun lamanya. Bapa Atu supriadi M.pd dan Ibu Siti nurhasanah adalah nama kedua orangtua ku. aku sendiri merupakan anak ke 2 dari 3 bersaudara. mereka yang telah merawatku dan membesarkanku dengan hasil jirih payah mereka. aku hidup dengan penuh kasih sayang dari mereka. kedua orangtuaku selalu memberikan pengarahan dalam setiap langkah hidupku. mereka berharap aku menjadi orang sukses dan membanggakan mereka.
keluarga besarku merupakan keturunan asli sunda. dalam kesehariaannya keluarga besarku menggunakan bahasa sunda. setiap nafas dalam kehidupanku mengalir darah sunda. dimana kedua orangtuaku selalu menggajari anak-anaknya tentang kebudayaan sunda dan memprakteknya dalam kesehariaan mulai dari mengunakan bahasa sunda dalam berkomunikasi dengan anak-anaknya karena mereka sangat bangga menjadi orang sunda asli.
perjalanan hidup dan kesehariaan orangtuaku semejak kecil.
Ayah saya lahir di Bogor pada tanggal 7 April 1961. Ayah saya merupakan anak ke 2 dari 10 bersaudara dari pasangan bapa amir dan ibu enting, namun dalam kenyataanya anak dari nenek saya yang masih hidup hanya tingal 3 karena waktu dulu belum ada rumah sakit serta tenaga ahli. kakek saya lama tinggal di banten selama 26 tahun pulang ke bogor tahun 1957 dan pada tahun ini pula kakek saya menikah. selama kecilnya papah saya tinggal di sebuah perkampungan kecil yang suasananya masih asri yang berlokasi di kampung semplak yang sekarang letaknya dekat badan penelitian masalah perhutanan yang bernama CIFOR. dimana kampung itu di huni hanya 40 keluaraga dan semuanya masih ada hubungan saudara satu sama lainnya dan belum ada pendatang oleh sebab itu masyarakat kampung ayah saya masih memegang teguh adat istiadat bahkan masih mempertahankan bahasa sunda sebagai bahasa pengantar sehari-hari. kakek saya merupakan PNS kehutanan dengan gajih Rp 20.000 ( kalau sekarang bernilai sekitar Rp 2.000.000 ) dan nenekku merupakan tukang jahit dengan penghasilan Rp 15.000 ( kalau sekarang senilai dengan Rp 1.500.000. dalam satu kampung itu hanya ada 2 orang yang kaya termasuk keluarga dari ayah saya karena bapa dari kakek saya merupakan orang yang mempunyai semua lahan kehutanan karena itu keluarga dari ayah merupakan keluarga terpandang di kampung. sistem kepercayaan masyarakat dulu adalah animisme dimana masih mempercayai adanya kekuatan roh-roh nenek moyang misalnya apabila ada acara besar seperti dalam suatu keluarga ada yang mau nikah maka sebelumnya ada ritual tolak hujan dll. tetapi masyarakatnya sudah memeluk islam.
di kampung ayah saya masih mempunyai kebiasaan yang unik yang sekarang masih diterapkan yakni apabila seseorang membangun rumah maka sebulumnya mendirikan atap atau genting biasa akan ditaruh sesuatu semacam sesajen yang berisi kopi pahit, pisau satu turuy, kembang 7 rupa serta makanan yang lainnya karena masyarakat percaya itu sebagai tolak bala atau sebagai rasa syukur atas dibangunnya rumah atau apabila ada seseorang yang meninggal maka setiap laki-laki di kampung ayah saya akan mendo'akannya istilahnya kirim puji bagi arwah yang meninggal biasanya itu hari pertama - ketujuh terus empat puluh harinya, seratus harinya sampai satu tahunnya sedangkan bagi para wanitanya membantu dalam menyiapkan makanan bagi para laki-lakinya. sistem barter masih digunakan di perkampungan tempat ayahku tinggal, dimana sistem ini tidak menggunakan uang sebagai alat tukarnya. sistem barter ini berakhir pada tahun 1970an. dalam sistem barter masyarakat kampung ayah saya menukarnya beras dengan lauk pauk sampai nominal jumlah harganya sama tidak ada yang dirugikan ataupun yang di untungkan semuanya sama-sama rata.
di kampung ayah saya masih mempunyai kebiasaan yang unik yang sekarang masih diterapkan yakni apabila seseorang membangun rumah maka sebulumnya mendirikan atap atau genting biasa akan ditaruh sesuatu semacam sesajen yang berisi kopi pahit, pisau satu turuy, kembang 7 rupa serta makanan yang lainnya karena masyarakat percaya itu sebagai tolak bala atau sebagai rasa syukur atas dibangunnya rumah atau apabila ada seseorang yang meninggal maka setiap laki-laki di kampung ayah saya akan mendo'akannya istilahnya kirim puji bagi arwah yang meninggal biasanya itu hari pertama - ketujuh terus empat puluh harinya, seratus harinya sampai satu tahunnya sedangkan bagi para wanitanya membantu dalam menyiapkan makanan bagi para laki-lakinya. sistem barter masih digunakan di perkampungan tempat ayahku tinggal, dimana sistem ini tidak menggunakan uang sebagai alat tukarnya. sistem barter ini berakhir pada tahun 1970an. dalam sistem barter masyarakat kampung ayah saya menukarnya beras dengan lauk pauk sampai nominal jumlah harganya sama tidak ada yang dirugikan ataupun yang di untungkan semuanya sama-sama rata.
Dulu belum ada tv melainkan baru ada radio itupun baru ada saluran RRI Jakarta dan RRI Bogor yang baru masuk. Dulu yang punya radio sekampung itu cuman ada 2 orang yakni keluarga ayah dan keluarga bapa sarmat. Pada tahun 1972 tv sudah ada tetapi itupun baru ada satu keluarga yang mempunyainya, keluarga rw ujang yang letaknya jauh dari jangkauan rumah ayah dan beda kelurahan. Warna film tv nya itu masih hitam putih karena masih ada PKI gerakan 30 September. dulu tv bentuknya kotak dan bebanya berat apabila di bawa kemana -mana beda halnya kalau zaman sekarang bentuknya beragam dan mudah dibawa. Apabila ayah saya mau menonton tv ke rw ujang itu sistemnya beramai- ramai dengan teman ayah pergi kesananya dan itupun cuman malam minggu menontonnya karena jaraknya jauh dari rumah ayah. Sistim menontonnya itu beramai-ramai dan keluarga rw ujang itu sengaja menaruh tv nya di luar rumah agar setiap penduduk bisa menonton tv. dulu masyarakat kampung ayah saya belum ada alat komunikasi seperti zaman sekarang berupa telepon atau hp yang memudahkan orang berinteraksi.
Transportasi yang sudah ada waktu ayah kecil adalah delman, roda (sistemnya ditarik oleh kuda), oplet ( yang sekarang disebutnya mobil ). apabila ayah ingin naik transportasi umum ayah harus jalan kaki dulu menuju pangkalan yang sekarang disebut terminal, jaraknya pun jauh dari tempat tinggal ayah dan ongkos untuk naiknyapun relatif mahal. Di kampung ayah saya warung itu yang berdiri cuman ada 1 yakni milik keluarga bapa sahid yang letaknya jauh dari tempat tinggal ayah. Kalau di kampung tempat tinggal ayah saya itu para petani menjual hasil panen sayurnya secara langsung sistemnya itu ngampar dalam bahasa sunda tetapi bagi yang tidak mengerti itu sistimnya lesehan di bawah hanya menggunkan tikar sebagai alasnya.sistim jual begitu masih ada dikampung saya tinggal tetapi pelaksanaannya pagi yang membedakannya pedagang harus pergi ke pasar dulu untuk membeli bahan pangan yang dibutuhkan untuk dijual sedangkan zaman ayah saya pedagang itu mengambil langsung dari lahan perkebunannya.
Dulu bentuk rumah ayah adalah pangung dimana berfungsi untuk menghindari hewan karena tempat tinggal ayah masih di kawasan hutan jadi jaga-jaga apabila terjadi sesuatu yang tidak di inginkan. Pada tahun 1972 rumah itu sudah pakai keramik untuk alasnya. masyarakat dulu tidak memiliki kamar mandi seperti sekarang apabila ingin mandi biasanya ayah saya akan pergi ke Cisade atau bahkan ketempat pemandiaan umum yang dulunya dinamakan Ca'i dimana sumber airnya menggalir dari kolam bersih dan di tampung ditempat dan tempat penampungnya itu diberi ikan supaya ikan-ikan itu memkan jentik nyamuk , letak lokasi pemandiaanya jauh dari rumah dan jalan menuju sana sedikit curam dan angker. Masyarakat kampung dulunya menggunakan hau sebagai media perapiaan untuk memasak yang terbuat dari tumpukan bata yang disusun terus menggunakan semen untuk melekatkannya terus di tenggahnya itu ada lubang biasanya terbuat dari besi, fungsi dari lubangnya itu sebagai tempat dimana api bisa keluar dan memakai kayu. mengapa orang dulu memakai hau sebagai alat bantu perapiaan karena orang dulu memanfaatkan ranting-ranting yang ada di kehutanan dari pada terbuang dan menumpuk lagi pula dulu tidak ada kompor gas. tetapi sekarang orang sudah jarang orang mengunakan hau di kampung saya paling cuman 6 keluarga yang lainnya menggunakan kompor gas. Dulu baru ada 2 rumah sakit yaitu rumah sakit jiwa dan PMI yang letaknya di pusat kota. walaupun sudah ada rumah sakit masyarakat ayah saya belum sangup membayar penggobatan makanya warga kampung memiliki arternatif penggobatan lainnya seperti dukun. hingga sekarang walaupun rumah sakit sudah banyak yang berdiri dan semua penduduk berkucukupan tapi masih ada yang pergi kedukun untuk pengobatan bahkan untuk proses melahirkan karena penduduk masih tidak percaya dengan keahliaan dari tenaga pegawai rumah sakit. Sistem sosial yang dianut oleh warga kampung dari ayah saya adalah sistem gotong royong, dimana apabila ada acara besar seperti halnya acara pernikahan warga saling memberi, lain halnya kalau sekarang semua tenaga harus memakai uang, makanya gotong royong lebih bagus waktu dahulu.
Perjalanan pendidikan ayah, ayah mulai pendidikannya pada tahun 1965 di sekolah permulaan kalau sekarang lebih dikenal dengan sebutan TK dan keadaan sekolah ini belum ada meja jadi nulisnya di bawah tanah dengan membawa kotak dari kayu untuk menulis dan sekolah percobaan ini tenaga ahlinya cuman ada 1 orang bernama bapa Rohana , dia pula yang merangkak menjadi kepala sekolahnya. Pindah ke SD Cikarawang yang letaknya di Cilubang Tongoh pada tahun 1966, sekolah ini sudah pakai bangku tenga pengajarnya ada 3 + 1 kepala sekolah yang bernama bapa Juju, belum memakai seragam masih menggunakan pakaian bebas tanpa alas kaki dan alat tulis yang digunakan untuk menulis adalah papa kapur nulisnya itu pake grip ( kapur jahit ) terus media yang digunakan semacam batu seperti asbak nulisnya pake grip sampai kelas 2 SD. Kelas 3 – kelas 5 SD sudah menggunakan pena cair yang sudah dicelupkan ke tinta, tintanya sudah dikasih dari sekolah + sudah ada buku tulis. Kelas 5 – kelas 6 sudah ada pensil , tas terbuat dari karung goni + sepatu tetapi belum ada seragam. Sejak dari kecil ayah saya sudah ngagon ( gembala sapi, kerbau , dll ) sesudah selesai baru pada pergi sekolah. Baru ada 3 kelas ( bergantian). Lulus kelas 6 tahun ( 1972 ).
Melanjutkan ke jenjang SMP pada tahun 1972- 1976, di SMP Angkasa telaknya di semplak itupun menuju sekolahnya dengan berjalan kaki , menggunakan rakit untuk menyebrang sungai atau dengan cara ngalung ( berenang ) disini sudah pake seragam warnanya itu biru muda & biru tua disini baru ada 3 kelas makanya masuknya secara bergantiaan, uang jajan ayahku RP 10 ( Rp 10.000 ) dengan tenaga kerja 10 orang. Melanjutkan ke SPG pada tahun 1976 – 1980, yang letaknya di jalan kartini no.1 disini baru ada kapur, menuju tempat SPG ayah saya naik truk di dekat rumah ada penggilingan batu jadi naik berangkat jam 5 pagi dari rumah dan sampainya jam 6 pagi terus pulangnya naik oplet itupun baru nyampe sindang barang selebihnya ayah saya jalan kaki sampai rumah, uang jajanya Rp 25 ( Rp 25.000. sudah memakai seragam (warna putih + hijau daun) + tas biasa dari kain yang dibuat oleh nenek , SPG ini setara dengan SMA/ SMK tetapi sekolah ini sekarang sudah tidak ada di Bogor. Pada tahun 1981- 1985 masuk jenjang perkuliahan D3 di UNBO ( sekarang sudah diganti dengan pakuan bogor ) menggambil jurusan biologi. Melanjutkannya perkuliahan S1 pada tahun 2005-2007 ( pendidikan biologi ) dan S2 nya menggambil pendidikan ( managemen pendidikan ) pada tahun 2007- 2009. Sejak dari SD ayah saya sudah bekerja menjadi kuli di sungai mengambil pasir dengan upah Rp 25 ( Rp 25.000 ) perkubiknya.
dalam tata urutan acara tradisi pernikahan orang sunda yakni adanya proses meminta dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga wanitanya apabila diterima keesokan harinya ada proses lamaran dimana pihak laki-laki membawa seserahan dan menentukan hari,tanggal baiknya suatu pernikahan biasa masih menggunakan perhitungan zaman dulu yakni mencocokan hari lahir, menjumlahkan total nama dan membaginya kedalam tahapan apabila hari baiknya sudah ditentukan mulailah acara proses pernikahannya tetapi sebelum disebarkan undangannya pihak dari pengantin perempuan harus melakukan sedekahan tujuannya agar lancar dalam acara pernikahannya. tetapi satu hari sebelum hari pernikahan pengantin prianya diwajibkan menginap di rumah pihak perempuannya sedangkan bagi pengantin wanitanya malamnya melakukan ritual mandi keringat dan merapihkan alis matanya ini bertujuan sebagai penanda bahwa perempuaan itu sudah menikah. hari pelaksanaan acara pernikahan semua calon pengantin di dandani oleh perias karena akan diadakannya acara ijab kabul tetapi diwajibkan memakai pakaian kebaya serba putih, sesudah acara ijab kabul pesangan pengantin menjalani ritual sungkeman kepada orang tua dari pihak perempuan dan pihak laki-laki secara bergantiaan, keluarga dari pihak laki-laki akan ijin pamitan untuk menjemput sanak keluarganya terlebih dahulu dan pengantin laki-laki harus mengikutinya, apabila ada bunyi petasan berarti bertanda besan sudah datang lalu diadakanlah prosesi penyambutan oleh penari tradisional dan pengawalnya akan mempayunggi pengantin laki-lakinya sesudah itu pihak dari keluarga perempuaannya akan menyambutnya di depan, ibu dari pihak perempuaanya akan mengkalungkan rangkaian bungga melati merupakan bentuk menyambutan diterimanya anggota baru dalam keluarga perempuan, perebutan atau tarik menarik bakakak ayam apabila potongan suami lebih besar maka rejeki laki-lakilah yang besar sebaliknya juga apabila perempuan dapat potongan ayam yang lebih besar maka rejki dia yang besar hingga sekarang masyarakat masih mempercayainya, acara saweran tujuannya biar dilimpahkan rezeki, biasanya dalam suatu acara pernikahan orang sunda asli hiburan yang akan dipertontonkan adalah keseniaan calung, degunggan, dll.
dalam tata urutan acara tradisi pernikahan orang sunda yakni adanya proses meminta dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga wanitanya apabila diterima keesokan harinya ada proses lamaran dimana pihak laki-laki membawa seserahan dan menentukan hari,tanggal baiknya suatu pernikahan biasa masih menggunakan perhitungan zaman dulu yakni mencocokan hari lahir, menjumlahkan total nama dan membaginya kedalam tahapan apabila hari baiknya sudah ditentukan mulailah acara proses pernikahannya tetapi sebelum disebarkan undangannya pihak dari pengantin perempuan harus melakukan sedekahan tujuannya agar lancar dalam acara pernikahannya. tetapi satu hari sebelum hari pernikahan pengantin prianya diwajibkan menginap di rumah pihak perempuannya sedangkan bagi pengantin wanitanya malamnya melakukan ritual mandi keringat dan merapihkan alis matanya ini bertujuan sebagai penanda bahwa perempuaan itu sudah menikah. hari pelaksanaan acara pernikahan semua calon pengantin di dandani oleh perias karena akan diadakannya acara ijab kabul tetapi diwajibkan memakai pakaian kebaya serba putih, sesudah acara ijab kabul pesangan pengantin menjalani ritual sungkeman kepada orang tua dari pihak perempuan dan pihak laki-laki secara bergantiaan, keluarga dari pihak laki-laki akan ijin pamitan untuk menjemput sanak keluarganya terlebih dahulu dan pengantin laki-laki harus mengikutinya, apabila ada bunyi petasan berarti bertanda besan sudah datang lalu diadakanlah prosesi penyambutan oleh penari tradisional dan pengawalnya akan mempayunggi pengantin laki-lakinya sesudah itu pihak dari keluarga perempuaannya akan menyambutnya di depan, ibu dari pihak perempuaanya akan mengkalungkan rangkaian bungga melati merupakan bentuk menyambutan diterimanya anggota baru dalam keluarga perempuan, perebutan atau tarik menarik bakakak ayam apabila potongan suami lebih besar maka rejeki laki-lakilah yang besar sebaliknya juga apabila perempuan dapat potongan ayam yang lebih besar maka rejki dia yang besar hingga sekarang masyarakat masih mempercayainya, acara saweran tujuannya biar dilimpahkan rezeki, biasanya dalam suatu acara pernikahan orang sunda asli hiburan yang akan dipertontonkan adalah keseniaan calung, degunggan, dll.
Dulu seni yang masuk adalah pencak silat ( pakai gamelan tetapi kalau sekarang tidak memakai musik gamelan itu yang menjadi pembedanya ), wayang golek, lenong, tanjidor ( pake terompet besar + bedug besar tetapi sekarang sudah mulai musnah), biasanya ada pada acara pernikahan. Dulu masyarakat meyakini apabila kita menonton pertunjukan wayang golek itu harus menontonnya sampai pertunjukan wayang itu berakhir kalau tidak akan ada yang menghadang diperjalanan pulangnya atau yang lebih parah lagi kita mendapat kecelakaan, sampai saat ini masyarakat masih meyakininya.
Berbeda jauh dengan kehidupan ibu saya sehari-harinya.
ibu saya lahir di Bogor pada tanggal 16 juli 1965, anak ke 5 dari 8 bersaudara dari pasangan bapa rahmat dan ibu halimah. Kakek saya asli orang Cianjur sedangkan nenek saya asli Bogor. Kakek saya bekerja sebagai ABRI sedangkan nenek saya seorang Pembisnis tanah. Ibu saya tinggal di kawasan elite yaitu rumah tua dimana di dalamnya berisi 6 keluarga mulai dari mayor, kolonel, jendral, ABRI dll. Lokasi rumah tua itu di jalan perintis kemerdekaan no 41. Bahasa yang di gunakan sehari – hari adalah bahasa sunda. Kondisi Ekonomi keluarga dari ibu saya serba kecukupan dan mapan dalam memenuhi kebutuhan berbagai hal karena waktu ibu saya lahir teknologi yang cangih sudah dimiliki oleh keluarga kakek dari ibu mulai dari piringan hitam, komputer, kulkas, motor dll. alat komunikasi berupa telepon sudah ada dikeluarga ibu saya. Tetapi yang belum ada adalah leptop karena waktu dulu tidak ada. Keseniaan sudah masuk tetapi keluarga dari ibu saya berada dikawasan elite jadi hidup masing-masing. Tidak terjalin hubungan sosial yang baik karena yang lain pada sibuk dengan urusannya masing –masing. Tidak hanya itu kakek mempunyai usaha bengkel motor + warung beras, sayuran . Di kawasan ibu saya tinggal sudah ada mall, perpustakaan, gelanggang olahraga yang lokasinya dekat rumah. Perjalanan pendidikan ibu saya , SD merdeka 02, SMP PGRI 9, SMA WASITA, ikut kursus dan menikah tahun 1986. Semenjak SD-SMP ibu saya sudah bekerja. Waktu zaman ibu saya sekolah sudah memakai sepatu, tas, seragam beda halnya dengan ayah saya. Perlengkapan rumah tangga di keluarga ibu saya semuanya sudah canggih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar