Senin, 15 November 2010

Tugas 3# Mengungkap Ide/Perilaku yang Muncul di Masa Orang Tuaku

Perilaku Masyarakat Jawa Tempo Dulu!!
“Anak Jaman Dulu LEBIH MANDIRI Dari Anak Jaman Sekarang!!”

“Jawa tulen”, sebuah frase yang menjadi favoritku ketika seseorang bertanya “Asalnya dari mana dek??”. Mari saya perkenalkan kepada kalian kedua orang tua yang dengan penuh cinta mendidik, merawat dan membesarkan saya. Mereka adalah pasangan Heri Supriyanto dan Masfufah. Sedikit cerita mereka berasal dari Desa Cepokomulyo, Kabupaten Kepanjen, Malang. Berikut saya akan bercerita mengenai mereka melalui ide atau perilaku yang muncul pada generasi mereka di tanah Jawa:
Orang Tuaku Tercinta ((:

Bahasa
Dalam keseharian mereka tentu bercengkrama menggunakan bahasa Jawa. Tetapi di sekolah mereka berbahasa Indonesia. Budaya tersebut masih diterapkan hingga kini, saya pun di rumah wajib berbahasa Jawa. Berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi, yang dikenal dengan unggah-ungguh. Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat.

*      Seni
Cerita menarik yang dengan antusias diungkapakan oleh Ibu saya adalah mengenai permainan tradisional yang sering dimainkan ketika generasi mereka kecil, beberapa diantaranya yaitu Permainan Beklen (Bekel) yang dimana permainnan  ini  merupakan adu ketangkasan antara 2 atau 4 orang anak perempuan yang berumur 7-12 tahun, alat yang dipergunakan adalah bola bekel dari karet berdiameter 3cm dan kulit kerang ataukewuk/kuningan yang berjumlah 10 buah, kemudian terdapat juga Permainan Congklak, permainan ini dilakukan oleh perempuan baik anak-anak maupun dewasa, pemain berjumlah 2 orang, alat yang digunakan dari kayu berbentuk sperti perahu dengan panjang 80cm dan lebar 15 cm, dan tinggi 10 cm, pada kedua ujungnya terdapat lubang yang disebut indung atau induk. Diantara kedua induk terdapat lubang kecil beriameter 5 cm dan setiap deret berjumlah 7 lubang, lubang tersebut diisi dengan biji-bijian sebagai alat bermain. 

Tidak mau kalah dari Ibu, Ayah saya juga menceritakan permainan yang biasa dimainkan oleh anak laki-laki di tanah Jawa pada generasinya yaitu Permainan Layangan, Permainan ini terbuat dari kertas tipis dan bambu dengan ukuran sebesar lidi untuk dibuat kerangka yang berbentuk macam-macam sesuai keinginan si pembuat. Bentuk pelaksanaan permainannya bersifat hiburan, rekreatif, dan kompetitif. Permainan ini biasanya dilakukan oleh semua anak laki-laki dengan tidak mengenal batas usia dan tidak pandang kaya atau miskin. Lalu Permainan Yoyo, sebuah benda yang terbuat dari kayu dibentuk menyerupai roda berbelah dan berporos di bagian dalam, untuk memainkan alat tersebut dengan bantuan tali yang pada kedua ujungnya disatukan pada kalep dari bahan kulit yang dikaitkan pada poros tersebut. Bentuk permainannya bersifat hiburan dan dimainkan secara tunggal, dan biasanya dilakukan oleh anak laki-laki yang berusia antara 7-15 tahun.

Dan dengan bangga beliau mengatakan bahwa “Anak jaman dulu LEBIH MANDIRI dari anak jaman sekarang!!”. Kalimat tersebut terlontar karena beliau membuat semua mainannya sendiri, sebagai contoh lain yaitu mobil-mobilan dari gedebong pisang atau kulit jeruk bali yang terkadang beliau jual ke pasar untuk menambah uang jajan. 



Cerita lain yang begitu menarik bagi saya yaitu ada sebuah permainan yang dimainkan ketika bulan purnama bernama Nyai Putut (berupa debus atau semacam magic), dimana kita nanti mengarak sebuah boneka (terbuat dari kurungan ayam yang dikenakan baju dari sarung, kemudian kepalanya terbuat dari tempurung batok kepala dan tangannya dari padi) dengan menyanyikan tembang tertentu maka boneka tersebut akan menari-nari, bahkan jika kita bergelantungan di belakangnya ia akan mampu mengangkat kita dan mengajak kita melompat-lompat. Seketika badan saya merinding mendengar cerita Ayah tersebut.

Kesenian Jawa yang mendominasi pada saat itu adalah kesenian wayang orang atau Ludruk dan pencak silat. Tetapi yang sungguh menarik perhatian adalah Kuda Lumping, yaitu Kuda lumping adalah seni tari yang dimainkan dengan properti berupa kuda tiruan, yang terbuat dari anyaman bambu atau kepang. Tarian tradisional Jawa ini menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda. Selain itu, beberapa penampilan kuda lumping juga menyuguhkan atraksi kesurupan, kekebalan, dan kekuatan magis, seperti atraksi memakan beling dan kekebalan tubuh terhadap deraan pecut. Jaran Kepang ini merupakan bagian dari pagelaran tari reog.

*      Religi (Kepercayaan)
Di desa tempat kedua orangtua saya tinggal sebagian besar secara nominal menganut agama Islam. Meskipun kita ketahui agama asal kami orang jawa adalah hindu. Tetapi ada juga yang menganut agama Protestan dan Katolik. Mereka juga terdapat di daerah pedesaan. Penganut agama Buddha dan Hindu juga ditemukan pula di antara masyarakat Jawa. Ada pula agama kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai agama Kejawen. Kepercayaan ini terutama berdasarkan kepercayaan animisme dengan pengaruh Hindu-Buddha yang kuat. Masyarakat Jawa terkenal akan sifat sinkretisme kepercayaannya. Semua budaya luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa sehingga kepercayaan seseorang kadangkala menjadi kabur.

*      Ekonomi
Secara ekonomi mayoritas orang Jawa berprofesi sebagai petani, begitu pula kakek dan nenek saya. Ayah saya bercerita bahwa ketika mereka dulu bersekoah mereka berjalan kaki, bahkan terkadang tanpa mengenakan sepatu. Hal ini terjadi karena ekonomi keluarga minim sekali. Suatu saat pun ketika ada sedikit rejeki untuk membeli sepatu beliau membeli sepatu di rombengan atau loakan. Uang jajan beliau ketika iti pun hanya 50 rupiah, hanya cukup untuk membeli satu buah gorengan, dan dengan terpaksa jika haus beliau minum dari sumur milik orang lain. Namun di perkotaan banyak masyarakat jawa yang pada saat itu menjadi pegawai negeri sipil dan militer. Kami orang Jawa tidak menonjol dalam bidang bisnis dan industri. Bahkan orang Jawa tempo dulu juga banyak yang bekerja di luar negeri, sebagai buruh kasar dan pembantu rumah tangga.


*      Sosial
Kebanyakan masyarakat luar Jawa ketika mendengar ‘orang Jawa’ akan melihat sekelebat gambaran mengenai orang-orang yang sedang mananam padi di sawah, bertingkah laku santun, dan bersikap pasrah dengan keadaan. Kesan ini yang umumnya menjadi sedikit gambaran mengenai orang Jawa. Bahkan Ayah saya bercerita bahwa pada masa penjajahan, pejabat Belanda menganggap orang Jawa sebagai masyarakat yang paling lembek dan loyal sehingga cocok untuk dijadikan tukang kebun ataupun babu pengasuh anak-anak majikan. Masyarakat Jawa juga terkenal akan pembagian golongan-golongan sosialnya. Pakar antropologi Amerika yang ternama, Clifford Geertz, pada tahun 1960-an membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok: kaum santri, abangan dan priyayi. Menurutnya kaum santri adalah penganut agama Islam yang taat, kaum abangan adalah penganut Islam secara nominal atau penganut Kejawen, sedangkan kaum Priyayi adalah kaum bangsawan.

*      Ilmu Pengetahuan (Pendidikan)
Pendidikan di Indonesia dewasa ini bisa dikatakan mahal. Para murid di beberapa sekolah bahkan diwajibkan untuk membeli buku paket (buku sumber bacaan). Hal ini tentunya tidak pernah terjadi di generasi orang tua saya. Jangankan untuk membeli buku paket, terkadang saja satu buah buku tulis digunakan untuk mencatat seluruh mata pelajaran yang dituliskan oleh para pengajar di papan tulis yang masih mengunakan kapur. Yang uniknya karena tidak ada penghapus, maka diujung pensil dililitkan karet gelang (karet sayur) yang fungsinya sama dengan penghapus. Tetapi yang menarik adalah sekolah di masa itu dipenuhi keceriaan anak-anak yang gemar bermain sepak bola dan kasti.

*      Teknologi
Jaman ketika generasi kedua orangtuaku teknologi belum begitu maju seperti sekarang ini. Tidak ada jaringan internet. Tidak ada handphone. Telepon yang ada ketika itu pun tombolnya harus diputar. Bahkan kereta api pada saat itu masih menggunakan bahan bakar dari batu bara, bukan diesel atau KRL. Transportasi yang digemari pun becak, dokar (kereta ditarik kuda) dan cikar (kereta ditarik sapi), bahkan ketika itu mereka cenderung menggunakan sepeda ontel.

Jika sekarang hampir semua anak muda gemar nonton di Bioskop, ternyata begitu juga yang terjadi di generasi orang tua saya mereka pun nonton bioskop, tetapi situasinya berbeda. Gedung tempat diputarnya film terbuka, sehingga mendapat nama ‘misbar’ (gerimis bubar). Cerita ini sungguh sangat membuat saya tertawa terbahak-bahak (hhahaa…) membayangkan situasinya.

Berkaca 
dari cerita di atas,
 saya sungguh sangat BERSYUKUR 
atas HIDUP
dan SEMUA  yang telah diberikan Tuhan kepada saya :D
SEMANGAATT!!

1 komentar: